Foraminifera
Foraminifera, atau disingkat foram, adalah grup besar protista amoeboid dengan pseudopodia.[2] Dalam sains modern, istilah foraminifera digunakan sebagai bentuk tunggal atau jamak dari kelompok ini dan sering kali ditulis dalam lowercase.[3] Cangkang atau kerangka foraminifera merupakan petunjuk dalam pencarian sumber daya minyak, gas alam dan mineral. Pada beberapa genus, cangkang dari foraminifera tersusun dari kitin. Sebagian besar foraminifera hidup di laut, mayoritas hidup di dasar laut (bentos), dan beberapa hidup mengapung di perairan (plankton). Beberapa diketahui hidup di perairan air tawar, dan beberapa spesies diketahui hidup di terestrial dan telah teridentifikasi melalui analisis molekuler dari DNA ribosomal.[4][5] Foraminifera umumnya menghasilkan cangkang (test) yang dapat terdiri dari satu ruang atau lebih, dan beberapa memiliki struktur yang rumit.[6] Cangkang ini umumnya terbuat dari kalsium karbonat (CaCO3) atau partikel sedimen yang teraglutinasi. Lebih dari 50,000 spesies telah diketahui, dengan 10,000 merupakan spesies yang hidup[7] dan 40,000 di antaranya merupakan fosil.[8][9] Foraminifera umumnya berukuran kurang dari 1 mm, tetapi beberapa memiliki ukuran yang lebih besar. Spesies terbesar dari Foraminifera dapat mencapai ukuran hingga 20 cm.[10] HistorisReferensi terawal dari foraminifera diketahui berasal dari Herodotus, yang pada abad ke 5 Sebelum Masehi mencatat foraminifera sebagai pembuat batuan yang membentuk Piramida Agung Giza. Foraminifera tersebut kini dikenal sebagai salah satu dari genus Nummulites. Pada abad ke-1 Sebelum Masehi, Strabo juga mencatat foraminifera yang sama dan menduga bahwa foraminifera tersebut merupakan sisa-sisa kacang-kacangan yang ditinggalkan oleh para pekerja yang membangun piramida.[11] Robert Hooke mengobservasi foraminifera dengan mikroskop dan memberikan deskripsi serta ilustrasi pada bukunya yang diterbitkan tahun 1665, Micrographia
Pada tahu 1700, Antonie van Leeuwenhoek mendeskripsi dan mengilustrasikan cangkang foraminfera sebagai kerang menit; ilustrasinya dikenal sebagai Elphidium[13] Pada awalnya, foraminifera diklasifikasikan di dalam genus Nautilus, karena adanya persamaan dengan beberapa sefalopoda. Kemudian pada tahun 1781, diketahui oleh Lorenz Spengler bahwa foraminifera memiliki suatu lubang dalam septa, sehingga pada akhirnya dibentuk grup foraminfera.[14] Spengler juga mencatat bahwa septa foraminifera berbentuk melengkung berlawanan dari nautili dan foraminifera tidak memiliki tabung saraf.[15] Pada tahun 1826, Alcide d'Orbigny mempertimbangkan foraminifera untuk dikelompokkan sebagai sefalopoda. Dengan morfologi foraminifera yang unik, pseudopodia dari foraminifera diinterpretasikan sebagai tentakel dan mencatat tidak adanya bagian kepala pada foraminifera karena telah tereduksi.[16] Ia menamakan kelompok foraminifera atau "pembawa lubang" ("hole-bearers") sebagai anggota dari grup yang memiliki lubang pada bagian antara kompartmen di cangkangnya, berbeda dengan nautili atau ammonites.[3] Sifat protozoa foraminifera pertama kali dikenali oleh Dujardin pada tahun 1835.[14] Pada tahun 1852, d'Orbigny membuat skema klasifikasi, dengan 72 genus foraminifera yang diklasifikasikan berdasarkan bentuk cangkang (tests). Skema ini menuai kritikan dari para kolega.[13] Pada tahun 1884, monograf yang ditulis oleh H.B. Brady mendeskripsikan penemuan foraminifera pada ekspedisi Challenger. Brady menuliskan 10 famili dengan 29 subfamili, dengan sedikit memperhatikan rentang stratigrafi; taksonomi yang disusun Brady menekankan pada gagasan bahwa karakter yang berbeda harus memisahkan kelompok taksonomi, dan dengan demikian genus foraminifera yang teraglutinasi (agglutinated) dan berkapur (calcareous) ditempatkan dalam relasi yang dekat. Skema klasifikasi ini tetap ada hingga adanya skema dari Cushman pada akhir 1920an. Cushman melihat komposisi dinding sebagai sifat yang paling penting dalam klasifikasi foraminifera. Klasifikasi Cushman kemudian ditermia secara luas, tetapi juga menuai kritik dari koleganya karena "tidak terdengar biologis". Skema Cushman tetap menjadi skema klasifikasi yang dominan hingga munculnya klasifikasi Tappan dan Loeblich pada tahun 1964. Pada klasifikasi ini, foraminifera dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang masih digunakan hingga hari ini, yaitu berdasarkan mikrostruktur dari dinding cangkang.[13] Kelompok-kelompok dalam klasifikasi ini telah mengalami beberapa perpindahan sesuai dengan skema yang berbeda dari klasifikasi tingkat yang lebih tinggi. Sistematika molekular yang digunakan Pawlowski (2013) secara umum telah mengonfirmasi pengelompokkan yang dilakukan Tappan dan Loeblich, dengan beberapa kelompok ditemukan sebagai polifiletik atau parafiletik. Sistematika ini juga mampu mengidentifikasi hubungan tingkat tinggi antara kelompok foraminifera utama.[17] TaksonomiPosisi taksonomi dari Foraminifera telah bervariasi sejak Schultze pada tahun 1854,[18] yang mengacu pada penempatan Foraminiferida sebagai ordo. Loeblich dan Tappan (1992) menempatkan Foraminifera kembali sebagai suatu kelas[19] seperti yang digunakan sekarang.
Foraminifera biasanya dikelompokkan dalam Protozoa,[20][21][22] pada kingdom Protist.[23][24] Bukti kuat dari pengelompokkan ini adalah berdasarkan pada filogenetik molekuler, di mana foraminifera termasuk dalam kelompok utama dalam Protozoa yang dikenal sebagai Rhizaria.[20] Sebelum diketahui memiliki hubungan evolusioner dengan anggota Rhizaria, Foraminifera secara umum dikelompokkan bersama dengan amoeboid lain sebagai filum Rhizopodea (atau Sarcodina) dalam kelas Granuloreticulosa. Terdapat beberapa permasalahan dalam pengelompokkan Rhizaria, karena kelompok ini sering disebut sebagai "supergroup" dibandingkan tingkatan taksonomi yang sudah ada seperti filum. Cavalier-Smith mendefinisikan Rhizaria sebagai infra-kingdom di dalam kingdom Protozoa.[20] Beberapa taksonomi menempatkan Foraminifera pada suatu filum tersendiri dan setara dengan amoeboid Sarcodina di mana mereka ditempatkan sebelumnya. Walaupun belum didukung dengan korelasi morfologi, data molekuler sangat menyarankan bahwa Foraminifera berhubungan dekat dengan Cercozoa dan Radiolaria, keduanya juga termasuk dalam amoeboid yang memiliki cangkang yang kompleks; ketiga kelompok ini membentuk Rhizaria.[21] Namun, hubungan yang tepat dari foram-foram tersebut dengan kelompok lain dan hubungan satu sama lain belum sepenuhnya jelas. Foraminifera berhubungan dekat dengan amuba testat.[25] AnatomiAspek paling mencolok dari foraminifera adalah cangkangnya yang keras, yang disebut sebagai test. Test dapat terdiri dari beberapa ruang, dan dapat tersusun dari protein, sedimen, partikel, kalsit, aragonit, atau silika.[19] Namun terdapat pula beberapa foraminifera yang tidak memiliki test secara keseluruhan.[26] Tidak seperti organisme penghasil cangkang yang lain, misalnya moluska atau koral, test yang dimiliki foraminifera terletak di dalam membran sel, di dalam protoplasma, Organel sel foraminifera terletak di dalam kompartmen dari test dan dengan adanya lubang dari test, maka dapat terjadi transfer materi dari pseudopodia ke sel internal dan sebaliknya.[27] Sel foraminifera dibagi menjadi endoplasma granular dan ektoplasma transparan tempat jaring pseudopodial muncul melalui lubang atau melalui banyak perforasi dalam test. Karakteristik dari individu pseudopod yaitu memiliki granula-granula yang kecil dan mengalir di kedua arah.[28] Karakteristik lain yang unik dari foraminifera adalah memiliki granuloreticulose pseudopodia; yaitu pseudopodia yang berbentuk granular pada mikroskop; pseudopodia ini sering melakukan pemanjangan dan dapat terpisah lalu tergabung kembali satu sama lain. Granuloreticulose pseudopodia dapat diperpanjang dan ditarik kembali agar sesuai dengan kebutuhan sel. Pseudopod digunakan untuk lokomosi, penahan, eksresi, pembentukan test, dan penangkapan makanan, yang merupakan organisme kecil seperti diatom atau bakteri.[27][29] Selain dengan test, sel foraminifera juga didukung dengan sitoskeleton dari mikrotubulus, yang disusun secara longgar tanpa struktur yang terlihat pada amoeboid lainnya. Foram telah mengembangkan mekanisme seluler khusus untuk merakit dan membongkar mikrotubulus dengan cepat, sehingga memungkinkan pembentukan dan retraksi yang cepat dari pseudopedia yang memanjang.[19] Pada bentuk gamont (bentuk seksual), secara umum foraminifera memiliki satu nuklues, sedangkan agamont (bentuk aseksual) cenderung memiliki beberapa nukleus. Pada beberapa spesies, nukleus bersifat dimorfik, dengan nukleus somatik mengandung protein dan RNA tiga kali lebih banyak dibandingkan nukleus generatif. Namun, anatomi dari nukleus foraminifera sangat beragam.[30] Nukleus tidak selalu terbatas di satu ruang pada spesies yang memiliki banyak ruang. Nukleus dapat berbentuk bulat atau memiliki banyak lobus. Umumnya nukleus berdiameter 30-50 µm.[31] Beberapa spesies foraminifera memiliki beberapa vakuola kosong yang besar. Kegunaan dari vakuola ini belum jelas, tetapi diduga berfungsi sebagai reservoir dari nitrat.[31] Mitokondria terdistribusi merata di seluruh sel, walaupun pada beberapa spesies mitokondria ini terkonsentrasi di bawah pori-pori dan sektiar tepi eksternal dari sel. Kondisi ini telah dihipotesiskan sebagai bentuk dari adaptasi pada lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah.[31] Beberapa spesies dari Xenophyophore telah ditemukan memiliki isotop radioaktif dalam selnya dengan konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan sel eukaryot yang lain. Kegunaakn dari isotop radioaktif yang berkonsentrasi tinggi ini masih belum diketahui.[32] EkologiForaminifera modern umumnya merupakan organisme laut, namun individu foraminifera yang hidup juga telah ditemukan di air payau, sungai[28] dan bahkan habitat terestrial.[5] Sebagian besar dari spesies foraminifera hidup sebagai bentos, dan 40 morfospesies hidup sebagai plankton.[29] Hasil perhitungan ini bisa saja hanya merepresentasikan sedikit dari diversitas sesungguhnya, karena banyak spesies yang berbeda secara genetik namun tidak dapat dibedakan secara morfologi.[33] Foraminifera bentos umumnya ditemukan di sedimen berbutir halus, di mana mereka secara aktif berpindah di antara lapisan sedimen; namun banyak juga foraminifera bentos yang ditemukan pada permukaan batu yang keras, menempel pada rumput laut, atau duduk di atas permukaan sedimen.[13] Sebagian besar foraminifera plankton yang ditemukan merupakan Globigerinina, suatu garis keturunan dalam Rotaliida.[17] Namun, sedikitnya terdapat satu garis keturunan Rotaliid lain yang masih ada, yaitu Neogallitellia, yang kemungkinan secara independen berevolusi sehingga memiliki gaya hidup planktonik.[34][35] Lebih lanjut, telah diduga bahwa beberapa fosil Jurassic dari foraminifera telah berevolusi secara independen sehingga memiliki gaya hidup planktonik, dan diperkirakan merupakan anggota dari Robertinida.[36] Sejumlah foram memiliki alga uniseluler sebagai endosimbion, dari berbagai garis keturunan seperti alga hijau, alga merah, alga coklat, diatom, dan dinoflagelata.[29] Foraminifera miksotrofik ini sangat umum ditemukan di perairan laut yang memiliki kadar nutrisi yang rendah.[37] Beberapa foram merupakan kleptoplastik, mempertahankan kloroplas dari alga endosimbion yang tertelan untuk melakukan fotosintesis.[38] Sebagian besar foraminifera merupakan heterotrof, mengonsumsi organisme lebih kecil dan senyawa organik; beberapa spesies yang lebih kecil merupakan predator dari fitodetritus, sedangkan beberapa yang lain merupakan predator diatom. Beberapa foram bentos membentuk kista khusus untuk makan, dengan menggunakan pseudopodia untuk membentuk kista secara mandiri di dalam sedimen dan partikel organik.[13] Foraminifera tertentu memangsa hewan kecil seperti copepod atau cumacean; beberapa foram bahkan memangsa foram lain dengan membuat suatu lubang pada test dari mangsanya.[39] Kelompok Xenophyophores diduga memangsa bakteri dengan test mereka.[40] Umumnya dalam kelompok ini juga terdapat foraminifera yang makan dengan menyaring partikel makanan yang tersuspensi di perairan (suspension feeding), dan terdapat beberapa spesies yang mengambil keuntungan dari karbon organik terlarut di perairan.[13] Beberapa spesies foram merupakan parasit, menginfeksi spons, moluska, koral, atau foraminifera lain. Strategi parasit dari foraminifera dapat bervariasi; beberapa merupakan ektoparasit, menggunakan pseudopodia untuk mencuri makanan dari inang, sementara beberapa menggali melalui cangkang atau dinding tubuh inangnya untuk mekakan jaringan lunaknya.[13] Foraminifera merupakan mangsa bagi organisme yang berukuran lebih besar, seperti invertebrata, ikan, burung pantai, dan foraminifera lainnya. Telah diduga bahwa pada beberapa kasus predasi, predator dapat lebih tertarik dengan kalsium dari cangkang foram dibandingkan organisme foram sendiri. Beberapa spesies siput akuatik diketahui memangsa foraminifera secara selektif, bahkan sering kali lebih memilih spesies individu.[41] Foraminifera bentos tertentu telah ditemukan mampu bertahan hidup pada kondisi tanpa oksigen selama lebih dari 24 jam, mengindikasikan bahwa mereka mampu melakukan respirasi anaerobik selektif. Kondisi ini diinterpretasikan sebagai suatu adaptasi untuk bertahan hidup pada kondisi perubahan kadar oksigen yang berada di dekat antarmuka air-sedimen.[42] Foraminifera ditemukan di bagian terdalam dari samudra seperti Palung Mariana, termasuk Kedalaman Challenger, bagian terdalam yang diketahui. Pada kedalaman ini, di bawah kedalaman laut di mana laju tersedianya kalsium karbonat lebih lambat dibandingkan laju pelarutannya, sehingga tidak ada kalsium karbonat yang tersedia di kedalaman ini. (carbonate compensation depth), sehingga kalsium karbonat pada test menjadi larut dalam air karena adnaya tekanan yang ekstrim. Foraminifera yang ditemukan di Kedalaman Challenger tidak memiliki karbonat pada test, tetapi memiliki dua materi organik.[43] ReproduksiSiklus hidup foraminifera secara umum melibatkan pergantian antara generasi haploid dan diploid, walaupun sebagian besar keduanya memiliki bentuk yang serupa.[18][44] Haploid atau gamont awalnya memiliki nukleus tunggal, dan mengalami pembelahan untuk menghasilkan sejumlah gamet yang umumnya memiliki dua flagela. Diploid atau agamont memiliki lebih dari satu nukleus atau disebut sebagai multinucleate, dan kemudian melalui peristiwa meiosis terjadi pembelahan untuk menghasilkan gamont baru. Beberapa ronde reproduksi aseksual antara generasi seksual tidak jarang terjadi dalam bentuk bentik.[28] Foraminifera menunjukkan dimorfisme morfologi yang terkait dengan siklus reproduksinya. Gamont, atau bentuk haploid yang bereproduksi secara seksual, merupaakn megalosfer — yaitu prolokulusnya, atau ruang(bilik) pertamanya, berukuran besar secara proporsional. Gamont juga dapat disebut sebagai bentuk A. Gamont walaupun umumnya memiliki prolokulus yang besar, umumnya juga memiliki diameter test yang kecil secara kesulurhan dibandingkan dengan agamont. Setelah dewasa, gamont membelah melalui mitosis untuk menghasilkan ribuan gamet yang juga merupakan haploid. Semua gamet ini memiliki satu set lengkap organel, dan dikeluarkan dari test ke lingkungan dan meninggalkan test tanpa kerusakan. Gamet tidak terdiferensiasi menjadi sel sperma dan sel telur, dan dua gamet dari suatu spesies umumnya dapat membuahi satu sama lain. Ketika dua gamet bersatu, mereka membentuk suatu sel diploid, suatu sel multi-nukleus yang dikenal sebagai agamont atau disebut juga sebagai bentuk B. Berbeda dengan agamont, agamont berukuran microspheric, dengan ukuran ruang(bilik) pertamanya secara proporsi berukuran kecil, tetapi secara umum berdiameter lebih besar dengan lebih banyak ruang. Agamont adalah fasa reproduksi aseksual dari foraminifera; setelah mencapai usia dewasa, protoplasma secara menyeluruh mengosongkan test dan membelah sitoplasmanya secara meiosis melalui beberapa fisi untuk membentuk sejumlah keturunan haploid. Keturunan ini kemudian mulai membentuk ruang pertama megalosfer sebelum menyebar. Pada beberapa kasus, haploid muda dapat menjadi dewasa dalam bentuk megalosfer yang kemudian bereproduksi secara aseksual untuk membentuk megalosfer yang lain, keturunan haploid. Pada kasus ini, bentuk megalosfer pertama disebut sebagai bentuk schizont atau bentuk A1, sementara bentuk kedua disebut sebagai bentuk gamont atau bentuk A2. Maturasi dan reproduksi terjadi lebih lambat pada air yang lebih sejuk dan lebih dalam; kondisi ini juga menyebabkan forman tumbuh lebih besar. Bentuk A selalu terlihat lebih banyak dibandingkan bentuk B, kemungkinan karena berkurangnya kemungkinan dua gamet bertemu satu sama lain dan berhasil bergabung.[27][45] Variasi mode reproduksiTerdapat keragaman yang sangat tinggi dari strategi reproduksi pada beberapa kelompok foraminifera yang berbeda. Pada spesies unilokuler, masih terdapat bentuk A dan bentuk B. Seperti dalam morfologi mikrosferik dari foram multilokuler, bentuk B yang bereproduksi secara aseksual berukuran lebih besar dibandingkan bentuk A yang bereproduksi secara seksual. Foram pada famili Sprillinidae memiliki gamet amoeboid dan tidak berflagela. Aspek lain dari reproduksi pada kelompok ini secara umum serupa dengan kelompok foram lainnya. Patelilna corrugata yang merupakan spirilinid berkapur memiliki sedikit perbedaan pada strategi reproduksi dibandingkan foraminifera lain. Bentuk B yang bereproduksi secara aseksual menghasilkan kista yang mengelilingi keseluruhan sel; kemudian membelah di dalam kista tersebut dan sel anakan mengkanibal kalsit dari test induk untuk membentuk ruang pertama dari test mereka sendiri. Bentuk A ini, setelah dewasa, berkumpul menjadi kelompok-kelompok hingga sembilan individu; mereka kemudian membentuk kista pelindung di sekitar seluruh kelompok. Gametogenesis terjadi di dalam kista ini, menghasilkan sedikit gamet. Larva bentuk B dihasilkan di dalam kista, setiap inti yang tidak terikat ke sel dikonsumsi sebagai makanan bagi larva yang sedang berkembang. Pattelina pada bentuk A bersifat dioseus, yaitu memiliki bentuk "jantan" dan "betina" yang berbeda, dengan jenis kelamin mengarah pada "plus" dan "minus"; jenis kelamin ini berbeda dalam jumlah nukleus, dengan bentuk "plus" membentuk tiga nukleus dan bentuk "minus" memiliki empat nukleus. Bentuk B lebih besar dibandingkan bentuk A.[27][39][45] TestsTest foraminifera berfungsi untuk melindungi organisme di dalamnya. Karena konstruksinya yang umumnya keras dan tahan lama (dibandingkan dengan protista lainnya), test dari foraminifera merupakan sumber utama dari pengetahuan ilmiah tentang kelompok tersebut. Pada test terdapat suatu bukaan yang memungkinkan sitoplasma meluas keluar, disebut sebagai apertur.[46] Apertur primer, yang mengarah ke luar, mengambil banyak bentuk yang berbeda pada spesies yang berbeda, termasuk bentuk bulat, bulan sabit, celah, berkerudung, dan radiate (berbentuk bintang), dan dendritik (bercabang). Namun bentuk-bentuk tersebut tidak terbatas hanya pada bentuk-bentuk ini saja. Beberapa foraminifera memiliki apertur "bergigi", bergelang, atau berbibir. Mungkin hanya ada satu apertur primer atau lebih dari satu; ketika terdapat lebih dari satu apertur, mereka dapat terkumpul membentuk klaster atau ekuator. Selain apertur primer, banyak foraminifera memiliki apertur tambahan. Apertur tambahan ini dapat terbentuk sebagai apertur relik (apertur primer sebelumnya dari tahap pertumbuhan) atau sebagai struktur unik. Bentuk test memiliki keragaman yang sangat tinggi di antara foraminfera yang berbeda; mereka dapat berbentuk beruang tunggal (unilokuler) atau beruang banyak (multilokuler). Pada bentuk multilokuler, ruang baru ditambahkan ketika organisme bertumbuh. Variasi yang luas dari dari morfologi test ditemukan pada bentuk unilokuler dan multilokuler, antara lain spiral, serial, dan miliolin.[27] Banyak foraminifera menunjukkan dimorfisme pada test mereka, dengan individu megalosfer dan mikrosfer. Penamaan megalosfer dan mikrosfer ini tidak digunakan mengarah pada ukuran dari organisme utuh; namun mengarah pada ukuran dari ruang pertama, atau disebut sebagai prolokulus. Test sebagai fosil diketahui sejak zaman Ediacaran[47] dan banyak sedimen laut yang sebagian besar terdiri dari fosil test. Milsanya, batu gamping yang membuat piramida Mesir tersusun hampir seluruhnya dari Foraminifera bentik nummulitik.[48] Diperkirakan bahwa karang Foraminifera menghasilkan sekitar 43 juta ton kalsium karbonat per tahun.[49] Studi genetik telah mengidentifikasi amoeba telanjang Reticulomyxa dan Xenophyophores yang khas sebagai foraminifera tanpa test. Beberapa amoeboid lainnya menghasilkan pseudopodia retikulosa, dan sebelumnya diklasifikasikan dalam foram sebagai Granuloreticulosa, tetapi pengklasifikasian ini tidak lagi dianggap sebagai kelompok alami, dan kini sebagian besar ditempatkan di atnara Cercozoa.[50] KomposisiBentuk dan komposisi dari test merupakan sarana utama untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi foram. Sebagian besar foraminifera memiliki test berkapur, tersusun dari kalsium karbonat.[28] Test berkapur dapat tersusun dari aragonit atau kalsit bergantung pada spesies; di antara spesies yang memiliki test kalsit, test dapat mengandung fraksi subsitusi magnesium yang tinggi atau rendah. Test tersebut mengandung matriks organik, yang terkadang dapat diperoleh kembali dari sampel fosil.[13] Beberapa studi menunjukkan adanya homoplasi dalam jumlah yang tinggi pada foraminifera, dan foraminifera yang teraglutinasi maupun berkapur tidak membentuk pengelompokan monofiletik dalam pohon filogenetik.[17] HalusPada beberapa foram, test dapat tersusun dari materi organik, umumnya merupakan protein tectin. Dinding tectin dapat memiliki partikel sedimen yang melekat secara longgar pada permukaan.[27] Foram Reticulomyxa secara keseluruhan tidak memiliki test, hanya memiliki dinding membran sel.[26] Foram dengan dinding organik secara tradisional dikelompokkan sebagai "allogromiids"; akan tetapi, studi genetik telah menemukan bahwa kelompok ini bukan merupakan kelompok alami.[17] TeraglutinasiForam lain memiliki test yang terbuat dari potongan kecil sedimen yang teraglutinasi dengan protein (kemungkinan berkaitan dengan kolagen), kalsium karbonat, atau iron(III) oksida.[27][51] Sebelumnya ketiga bentuk ini dikelompokkan bersama sebagai "astrorhizids" yang beruang tunggal dan textulariids yang beruang banyak. Namun, studi genetik terbaru menunjukkan bahwa "astrorhizids" tidak membuat pengelompokkan yang alami, melainkan membentuk dasar yang luas dari pohon filogenetik foram.[17] Tidak seperti anggota yang hidup dari globothalamea, foraminifera textulariid memiliki test teraglutinasi; namun butiran dalam test ini disemen dengan semen kalsit. Semen klasit ini terbuat dari butiran nano berbentuk globular yang berukuran kecil (< 100 nm), serupa dengan globothalameans yang lain. Test ini juga dapat memiliki banyak pori, fitur lain yang menyatukan mereka dengan kelompok globothalamea.[36] Foraminifera teraglutinasi mungkin selektif mengenai partikel apa yang dapat masuk ke cangkangnya. Beberapa spesies lebih menyukai ukuran dan jenis partikel batuan tertentu; spesies lain lebih menyukai materi biologis tertentu. Spesies tertentu dari foraminifera diketahui memiliki coccolith yang diaglutinasi secara istimewa untuk membentuk test mereka; spesies lain lebih suka menggunakan pelat dari echinodermata, diatom, atau bahkan test foraminifera lainnya.[52] Formanifera Spiculosiphon lebih memilih untuk mengaglutinasi silika dari spikula spons menggunakan semen organik; foraminifera ini menunjukkan selektivitas yang kuat terhadap bentuk, menggunakan spikula yang memanjang pada "tangkai" dan yang pendek pada "batang". Diperkirakan spikula digunakan sebagai alat untuk mengangkat dirinya sendiri dari dasar laut serta untuk memperpanjang jangkuan pseudopodia untuk menangkap mangsa.[51] Test yang teraglutinasi dari xenophyophores merupakan test terbesar dari foraminifera, dengan diameter mencapai hingga 20 cm. Nama "xenophyophore" memilki arti "pembawa benda asing", mengarah pada sifat mengalutinasi ini. Xenophyophores secara selektif mengambil butiran sedimen antara 63 dan 500 µm, menghindari kerikil besar dan lumpur yang halus; jenis sedimen yang tampaknya menjadi faktorkuat di mana partikel diaglutinasi, karena jenis partikel yang lebih disukai terdiri dari sulfida, oksida, kaca vulkanik, dan terutama test dari foraminifera yang lebih kecil. Xenophyophores dengan diameter berukuran 1.5 cm telah tercatat bersifat telanjang, tanpa test apapun.[53] BerkapurPada foraminifera dengan test berkapur, terdapat beberapa struktur yang berbeda pada kristal kalsit. Dinding dengan porselen ditemukan pada Miliolida. Dinding ini tersusun dari magnesium kalsit yang tinggi yang diatur dengan susunan lapisan kalsit luar dan dalam ("ekstrados" dan "intrados") dan kristal kalsit berbentuk jarum yang diorientasikan secara acak membentuk lapisan tenah yang tebal ("porselen"). Lapisan dalam organik juga ditemukan. Permukaan luar dapat memiliki struktur berlubang, tetapi tidak terperforasi dengan lubang. Miliolid "Cornuspirid" tampaknya tidak memiliki ekstrados.[36][54][55] Suatu struktur test "monocrsytaline" secara tradisional telah dideskripsikan untuk Spirillinida. Namun, test tersebut masih kurang dipahami dan masih dijelaskan dengan buruk. Beberapa menduga spirllinid "monocrystaline" yang telah ditemukan sebenarnya memiliki test yang terdiri dari mosaik kristal kecil ketika diamati dengan mikroskop elektron. Pengamatan SEM dari Patellina sp. menunjukkan bahwa test "monocrystalline" yang sejati mungkin memang ada, dan menampilkan pemotongan yang tampak jelas.[36] Test Lagenid tersusun dari "bundel serat" yang dapat mencapai panjang puluhan mikrometer; setiap "bundel" terbentuk dari kristal kalsit tunggal, berbentuk segitiga di penampang, dan memiliki pori di tengahnya (dianggap sebagai artefak dari deposisi test). Terdapat juga lapisan organik internal yang melekat pada struktur kerucut dari bundel serat. Karena struktur kristal bervariasi secara signifikan dari foraminifera berkapur, struktur ini diduga merepresentasikan evolusi terpisah dari test berkapur. Proses mineralisasi lagenid yang tepat masih belum diketahui secara pasti.[55] Test rotaliid dideskripsikan sebagai "hialin". Test ini tersusun dari butiran nano magnesium kalsit yang rendah hingga tinggi, diposisikan dengan sumbu C tegak lurus dengan permukaan luar dari test. Selanjutna, butiran nano ini dapat memiliki struktur tingkat yang lebih tinggi, seperti baris, kolom, atau bundel.[36] Dinding test memiliki karakteristik bilamellar (dua lapis) dan berlubang dengan pori kecil. Lapisan luar kalsit dari dinding test disebut sebagai "lamina luar" sedangkan lapisan dalam dari kalsit disebut sebagai "lapisan dalam"; lapisan ini tidak disamakan dengan lapisan dalam organik yang ada di bawah test. Terdapat "lapisan median" yang diapit lamina luar dan lapisan dalam, yaitu suatu lapisan protein yang memisahkan dua lapisan tersebut. Lapisan median cukup bervariasi; bergantung pada spesiesnya, lapisan ini mungkin terdefinisi dengan baik sementara pada spesies ain mungkin tidak tergambar dengan taja,. Beberapa genus dapat mengandung partikel sedimen di dalam lapisan median.[27][55][56] Carterinids, termasuk dalam genera Carterina dan Zaninettia, memiliki struktur kristalin pada test yang unik, yang telah lama memperumit klasifikasi mereka. Test pada genus ini terdiri dari spikula dari magnesium kalsit yang rendah, terikat bersama dengan matriks organik dan mengandung "bleb" bahan organik. Hal ini membuat para peneliti untuk menyimpulkan bahwa test teraglutinasi. Namun, studi tidak dapat menemukan aglutinasi, dan faktanya genus ini telah ditemukan pada substrat buatan di mana partikel sedimen tidak dapat berakumulasi.[57] Sebuah studi genetik pada tahun 2014 menemukan carterinid sebagai garis keturunan independen dalam Globothalamea dan mendukung gagasan spikula dihasilkan sebagai spkula yang berbeda bentuk secara konsisten antara spesimen dari Carterina dan Zaninettia yang dikumpulkan dari lokasi yang sama (berbentuk bulat telur pada Carterina, berbentuk bulat-persegi panjang pada Zaninettia).[58] Fusulinid yang sekarang sudah punah secara tradisional dianggap unik karena memiliki test dengan kristal berbutiran kecil (mikrogranular) dan homogen tanpa orientasi tertentu dan hampir tanpa semen. Namun, sebuah studi pada tahun 2017 menemukan bahwa struktur mikrogranular yang seharusnya sebenarnya merupakan hasi dari diagenesis fosil, dan test fusulinid yang tidak berubah malah menjadi struktur hialin. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ini berafiliasi dengan kelompok Globothalamea.[59] Robertinids memiliki test aragonitik dengan perforasi; test ini mirip dengan test dari rotaliids karena mereka terbentuk dari butiran nano (nanograins), namun, mereka berbeda dalam komposisi dan memiliki domain kolom yang terorganisir dengan baik. Karena foram planktonik paling awal memiliki test aragonitik, telah diduga bahwa test ini dapat merepresentasikan evolusi terpisah dari gaya hidup planktonik Robertinida, dibandingkan berkerabat dekat dengan Globigerinans.[36] Hialin pada test aragonitik juga terdapat di Involutinida.[55] SilicateSatu genus, Miliamellus, memiliki test yang tidak terperforasi yang terbuat dari silika opaline. Bentuk dan struktur test ini serupa dengan miliolid pada umumnya; test tersusun dari lapisan organik internal dan eksternal, serta lapisan silika tengah yang terbuat dari batang yang memanjang. Lapisan silika ini selanjutnya dibagi menjadi subunit luar, tengah, dan dalam; subunit luar dan dalam masing-masing memiliki ketebalan sektiar 0,2 μm dan terdiri dari lembaran batang silika yang subparallel dengan sumbu panjangnya sejajar dengan permukaan test. Subunit tengah memiliki ketebalan sekitar 18 μm dan terdiri dari kisi batang silika tiga dimensi tanpa komponen organik di ruang terbuka. Ultrastruktur berbeda dari miliolid karena batangnya lebih dari dua kali lebih panjang dan rata-rata ketebalannya dua kali lebih tebal, dalam hal ini batang Miliamellus berlubang dan memiliki test tersusun dari silika dan bukan kalsit.[60] Konstruksi dinding testKetika terdapat test yang dihasilkan, dinding dari test foraminfera dapat berupa nonlamellar atau lamellar. Dinding nonlamellar ditemukan di beberapa foraminifera, seperti Carterinida, Spirillinida, dan Miliolida. Pada bentuk ini, dihasilkannya ruang baru tidak berasosiasi dengan deposisi lebih lanjut dari ruang sebelumnya. Karena itu, tidak ada pelapisan lapisan kalsit yang berkaitan pada test.[56] Pada foraminifera dengan dinding lamellar, deposisi dari ruang baru disertai dengan pengendapan lapisan di atas ruang yang terbentuk sebelumnya. Lapisan ini mungkin menutupi semua ruang yang sebelumnya, atau dapat menutupi hanya beberapa dari ruang tersebut. Lapisan ini diketahui sebagai lamellae sekunder. Foraminifera dengan dinding lamellar selanjutnya dapat dipecah menjadi dinding monolamellar dan dinding bilamellar. Foraminifera monolamellar mengeluarkan dinding test yang terdiri dari lapisan tunggal, sementara foraminifera bilamellar berlapis ganda dengan lapisan median yang organik, terkadang mengandung partikel sedimen. Pada foraminifera bilamellar, lapisan luar disebut sebagai "lamella luar" sedangkan lapisan dalam disebut sebagai "lapisan dalam". Foraminifera monolamellar termasuk Lagenida, sementara foraminifera bilamellar termasuk Rotaliida (termausk subkelompok planktonik utama, Globigerinina).[56] Dinding test bilamellar dapat dibagi lagi menjadi dinding yang memiliki penutup septum (lapisan dinding test yang menutupi septum yang disekresi sebelumnya) dan yang tidak memiliki penutup septum. Penutup septum tidak diketahui terdapat di foraminifera selain yang memiliki dinding bilamellar. Adanya penutup septum sering kali, walaupun tidak selalu, berasosiasi dengan keberadaan ruang interlokuler. Sesuai dengan namanya, ruang ini merupakan ruang kecil yang terdapat di antara ruang; ruang ini dapat terbuka dan membentuk bagian dari permukaan luar test, atau dapat tertutup untuk membentuk kekosongan. Lapisan yang menutupi ruang hampa dibentuk dari bagian berbeda dari lamellae pada genus yang berbeda, menunjukkan evolusi independen dari ruang interlokuler yang tertutup untuk memperkuat test.[56] Sejarah evolusiJam molekuler mengindikasikan bahwa kelompok mahkota dari foraminifera kemungkinan besar telah berevolusi selama Neoproterozoikum, antara 900 dan 650 juta tahun yang lalu; waktu ini konsisten dengan fosil Neoproterozoikum yang berhubungan dekat dengan amoeba filosa. Karena fosil foraminifera belum ditemukan sebelum akhir Zaman Ediacaran, kemungkinan sbeagian besar bentuk Proterozoikum ini tidak memiliki cangkang test yang keras.[61][62] Karena memiliki test yang tidak termineralisasi, "allogromiida" tidak memiliki catatan fosil.[61] Vendozoan misterius pada periode Ediacaran telah diduga merepresentasikan fosil xenophyophores.[63] Namun, penemuan sterol C27 yang diubah secara diagenesis dan berkaitan dengan sisa-sisa Dickinsonia menimbulkan keraguan pada identifikasi ini dan menduga bahwa vendozoan itu mungkin merupakan hewan.[64] Peneliti lain telah menduga bahwa jejak fosil Paleodictyon yang sulit dipahami dan kerabatnya mungkin mewakili fosil xenophyophore.[65] dan mencatat kemiripan dari xenophyophore Occultammina yang masih ada dengan fosil tersebut.[66] Namun, contoh modern dari Paleodictyon belum mampu memperjelas isu tersebut dan jejak tersebut secara bergantian mewakili liang atau spons kaca.[67] Hal yang mendukung gagasan ini adalah habitat xenophyophores yang serupa dengan habitat yang disimpulkan dari penelitian fosil graphoglyptods; namun, ukuran besar dan keteraturan banyak graphoglyptids serta tidak adanya xenophyae pada fosil tersebut mengindikasikan adanya keraguan pada kemunkinan tersebut.[66] Sampai tahun 2017 tidak ada fosil xenofiofor yang pasti yang telah ditemukan.[68] Foraminifera pembawa test memiliki catatan fosil yang baik sepanjang eon Fanerozoikum. Foraminifera paling awal muncul dalam catatan fosil yang mengarah pada akhir dari Ediacaran; di mana foraminifera awal ini semuanya memiliki bentuk test teraglutinasi dan unilokuler. Ini termasuk dalam bentuk seperti Platysolenites dan Spirosolenites.[47][69] Foraminifera dengan ruang tunggal melanjutkan keanekaragaman selama Kambrium. Beberapa bentuk yang biasa ditemukan antara lain Ammodiscus, Glomospira, Psammosphera, dan Turitellela; spesies-spesies ini memiliki test teraglutinasi. Mereka membuat bagian dari Ammodiscina, garis keturunan spirllinid yang masih mengandung bentuk-bentuk modern.[17][70] Spirilinid kemudian mengembangkan test multilokuer dan mengandung kalsit, dengan bentuk pertama yang muncul selama periode Trias; kelompok tersebut melihat sedikit efek pada keanekaragaman karena kepunahan K-pg.[71] Foraminifera dengan lebih dari satu ruang merupakan spesies teraglutinasi, dan muncul pada catatan fosil selama pertengahan periode Kambrium. Karena preservasi yang buruk, mereka tidak dapat ditempatkan di kelompok foram utama manapun.[70] Foraminifera dengan dinding berkapur yang paling pertama diketahui adalah Fusulinids, yang muncul pada catatan fosil selama zaman Llandoverian pada awal Silurian. Foraminifera paling awal ini berukuran mikroskopis, melingkar secara planispiral, dan berevolusi; kemudian bentuk selanjutnya mengembangkan keragaman bentuk seperti letikular, bulat, dan mungkin yang paling terkenal, berbentuk beras memanjang. Kemudian spesies dari Fusulinids tumbuh hingga ukuran yang lebih besar, dengan beberapa bentuk mencapai panjang 5 cm; beberapa spesimen mencapai ukuran panjang 14 cm, membuat mereka sebagai foraminifera terbesar yang pernah ada atau sudah punah. Fusulinid adalah garis keturunan paling awal dari foraminifera yang diduga telah berevolusi dengan bersimbiosis bersama organisme fotosintetik. Fosil fusulinid telah ditemukan di semua benua kecuali Antarktika; mereka mencapai keanekargaman terbesar selama zaman Visean dari Carboniferous. Kelompok ini secara bertahap menurun dalam keanekaragaman hingga akhirnya punah selama peristiwa kepunahan Permo-Triassic.[27][71][72] Selama zaman Tournaisian dari Carboniferous, foraminifera Miliolid pertama kali muncul dalam catatan fosil, setelah menyimpang dari spillinid dalam Tubothalamea. Miliolid menderita sekitar 50% korban selama kepunahan Permo-Triassic dan K-Pg tetapi bertahan hingga hari ini. Beberapa fosil miliolid berdiameter hingga 2 cm.[71] Fosil Lagenid paling awal yang diketahui muncul selama zaman Moscovian dari Carboniferous. Adanya efek yang kecil dari kepunahan Permo-Triassic atau K-Pg, kelompok ini berdiversifikasi sepanjang waktu. Taksa unilokuler sekunder berevolusi selama masa Jurassic dan Cretaceous. Fosil Involutinid terawal muncul selama zaman Permian; garis keturunan ini berdiversifikasi sepanjang periode Mesozoikum dari Eurasia sebelum tampaknya menghilang dari catatan fosil setelah Peristiwa Anoksik Laut Cenomanian-Turonian. Kelompok planisprillinidae yang masih ada telah disebut sebagai involutinida, tetapi hal ini masih menjadi bahan perdebatan.[71][73] Robertinida pertama kali muncul pada catatan fosil selama periode Anisian dari Triassic. Kelompok ini memiliki keragaman yang rendah sepanjang sejarah fosilnya, semua perwakilan yang hidup merupakan Robertinidae, yang pertama klai muncul selama Paleosen.[71] Fosil Rotalid yang pertama tidak muncul dalam catatan fosil hingga zaman Pliensbachian dari Jurassic, setelah peristiwa Trias-Jurassic.[74] Keragaman dari kelompok ini tetap rendah sampai setelah peristiwa Cenomanian-Turonian, setelah itu kelompik ini teramati terdapat diversifikasi yang cepat. Pada kelompok ini, Globigerinina yang bersifat planktonik — kelompok foram pertama yang planktonik — pertama kali muncul setelah Perputaran Toarcian; kelompok ini teramati mengalami kerugain besar selama kepunahan K-Pg dan kepunahan Eosen-Oligosen, tetapi tetap ada dan beragam hingga hari ini.[71] Suatu evolusi tambahan dari gaya hidup planktonik terjadi pada Miosen atau Pliosen, ketika rotaliid Neogallitellia secara independen berevolusi menjadi gaya hidup planktonik.[34][35] Aplikasi paleontologiForaminifera planktonik yang akan mati terus-menerus menghujani dasar laut dalam jumlah yang sangat banyak, test foraminifera tersebut yang telah termineralisasi terawetkan sebagai fosil dalam sedimen yang terakumulasi. Dimulai pada tahun 1960an dan sebagian besar di bawah naungan Projek Pengeboran Laut Dalam (Deep Sea Drilling), Pengeboran Laut (Ocean Drilling), dan Pengeboran Laut Internasional (International Ocean Drilling Programmes), serta untuk keperluan eksplorasi minyak, teknik pengeboran laut dalam yang canggih telah berhasil membawa inti sedimen yang mengandung fosil Foraminifera.[75] Pasokan yang tidak terbatas secara efektif dari fosil test ini dan model pengatur usia dengan presisi yang relatif tinggi tersedia untuk inti telah menghasilkan catatan fosil Foraminifera planktonik berkualitas tinggi yang berasal dari pertengahan Jurassic, dan menyajikan catatan tak tertandingi untuk pengujian saintis dan dokumentasi proses evolusi.[75] Kualitas luar biasa dari catatan fosil telah memungkinkan gambaran rinci yang mengesankan tentang hubungan antar spesies untuk dikembangkan berdasarkan fosil, dalam banyak kasus kemudian divalidasi secara independen melalui studi genetika molekuler pada spesimen yang masih ada.[76] Karena beberapa jenis foraminifera tertentu hanya ditemukan di lingkungan tertentu, fosil dapat digunakan untuk mengetahui jenis lingkungan tempat sedimen laut purba diendapkan, kondisi seperti salinitas, kedalaamn, kondisi oksigen, dan kondisi cahaya dapat ditentukan dari preferensi habitat yang berbeda dari berbagai spesies foram. Hal ini memungkinkan pekerja untuk melacak perubahan iklim dan kondisi lingkungan dari waktu ke waktu dengan mengumpulkan informasi terkati keberadaan foraminifera.[77] Pada beberapa kasus lain, proporsi relatif dari fosil foraminifera planktonik terhadap foraminifera benthos yang ditemukan di batuan dapat digunakan sebagai proksi untuk kedalaman suatu lokasi tertetnu ketika batuan tersebut diendapkan.[78] Foraminifera memilki aplikasi yang signifikan di bidang biostratigrafi. Karena ukurannya yang kecil dan cangkangnya yang keras, foraminifera dapat dipreservasi dalam jumlah yang besar dengan kualitas preservasi yang tinggi; karena morfologinya yang kompleks, spesies individu menjadi mudah dikenali. Spesies foraminifera dalam catatan fosil memiliki batas jangkauan antara evolusi pertama spesies dan kepunahannya; ahli stratigrafi telah mengerjakan perubahan-perubahan yang berturut-turut dalam kumpulan foram di sebagian besar masa Fanerozoikum. Dengan demikian, kumpulan foraminifera dalam suatu lokasi tertetnu dapat dianalisis dan dibandingkan dengan tanggal kemunculan dan hilangnya yang diketahui untuk mempersempit usia batuan. Hal ini memungkinkan ahli paleontologi untuk menafsirkan usia batuan sedimen ketika penanggalan radiometrik tidak berlaku.[79] Aplikasi foraminifera ini telah ditemukan oleh Alva C. Ellisor pada tahun 1920.[80] Fosil foraminifera bekapur terbentuk dari unsur-unsur yang ditemukan di laut purba tempat mereka hidup. Dengan demikian, foraminifera sangat berguna dalam paleoklimatologi dan paleoseanografi. Foraminifera dapat digunakan sebagai proksi iklim, untuk merekonstruksi iklim masa lalu dengan memeriksa rasio isotop stabil dan dengan melacak kandungan unsur dari cangkangnya, yaitu test. Temperatur global dan volume es dapat diungkapkan oleh isotop oksigen, dan sejarah siklus karbon dan produktivitas samudera dapat diprediksi dengan memeriksa rasio isotop karbon yang stabil[81] Konsentrasi unsur jejak, seperti magnesium (Mg),[82] lithium (Li),[83] dan boron (B),[84] juga menyimpan banyak informasi tentang siklus suhu global, pelapukan benua, dan peran laut dalam siklus karbon global. Pola geografis yang terlihat dalam catatan fosil foraminifera planktonik juga dapat digunakan untuk merekonstruksi arus laut purba. KegunaanIndustri minyak sangat bergantung pada mikrofosil seperti foram untuk menemukan potensi deposit dari hidrokarbon.[85] Foraminifera berguna sebagai penanda biostratigrafi yang berguna, kumpulan foraminiferal yang hidup juga digunakan sebagai bioindikator di lingkungan pesisir, termasuk indikator kesehatan terumbu kerang. Karena kalsium karbonat bersifat rentan terhadap pelarutan dalam kondisi asam, foraminifera dapat sangat terpengaruh oleh perubahan iklim dan pengasaman laut. Foraminifera memiliki banyak kegunaan di eksplorasi minyak bumi dan digunakan secara rutin untuk menafsirkan umur dan lingkungan terjadinya proses geologi berupa pengendapan batuan (paleoenvironment) dari lapisan sedimen di sumur minyak.[86] Fosil foraminifera yang teraglutinasi terkubur dalam di cekungan sedimen dan dapat digunakan untuk mengestimasi kematangan termal, yang merupakan faktor kunci untuk pembentukan minyak bumi. Foraminiferal Colouration Index[87] (FCI) digunakan untuk menguantifikasi perubahan warna dan mengestimasi temperatur penguburan. Data FCI secara khusus berguna pada tahap awal dari pembentukan minyak bumi (sekitar 100 °C). Foraminifera juga dapat digunakan dalam arkeologi dalam pembuktian beberapa jenis bahan baku batu. Beberapa tipe batu, seperti batu gamping, umumnya ditemukan mengandung foraminifera yang membatu. Jenis dan konsentrasi dari fosil-fosil dalam sampel batu dapat digunakan untuk menyesuaikan sampel tersebut pada sumber yang diketahui memiliki "tanda fosil" yang sama.[88] Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Foraminifera.
|