Paku ekor kuda merujuk pada segolongan kecil tumbuhan (sekitar 20 spesies) yang umumnya terna kecil dan semua masuk dalam genus Equisetum (dari equus yang berarti "kuda" dan setum yang berarti "rambut tebal" dalam bahasa Latin). Anggota-anggotanya dapat dijumpai di seluruh dunia kecuali Antartika. Di kawasan Asia Tenggara (Indonesia termasuk di dalamnya) hanya dijumpai satu spesies alami saja, E. ramosissimum subsp. debile,[1] yang dikenal sebagai rumput betung dalam bahasa Melayu, tataropongan dalam bahasa Sunda, atau petongan dalam bahasa Jawa. Kalangan taksonomi masih memperdebatkan apakah kelompok ekor kuda merupakan divisio tersendiri, sebagai Equisetophyta (atau Sphenophyta), atau suatu kelas dari tumbuhan paku, sebagai Equisetopsida (atau Sphenopsida). Hasil analisis molekular menunjukkan kedekatan hubungan dengan Marattiopsida dan paku sejati (Polypodiopsida).[2]
Semua anggota paku ekor kuda berusia tahunan, terna berukuran kecil (tinggi 0.2-1.5 m), meskipun beberapa anggotanya (yang hidup di Amerika Tropik bisa tumbuh mencapai 6–8 m (E. giganteum dan E. myriochaetum).
Batang tumbuhan ini berwarna hijau, beruas-ruas, berlubang di tengahnya, berperan sebagai organ fotosintetik menggantikan daun. Batangnya dapat bercabang. Cabang duduk mengitari batang utama. Batang ini banyak mengandung silika. Ada kelompok yang batangnya bercabang-cabang dalam posisi berkarang dan ada yang bercabang tunggal. Daun pada semua anggota tumbuhan ini tidak berkembang baik, hanya menyerupai sisik yang duduk berkarang menutupi ruas.
Spora tersimpan pada struktur berbentuk gada yang disebut strobilus (jamak strobili) yang terletak pada ujung batang (apical). Pada banyak spesies (misalnya E. arvense), batang penyangga strobilus tidak bercabang dan tidak berfotosintesis (tidak berwarna hijau) serta hanya muncul segera setelah musim salju berakhir. Jenis-jenis lain tidak memiliki perbedaan ini (batang steril mirip dengan batang pendukung strobilus), misalnya E. palustre dan E. debile.
Spora yang dihasilkan paku ekor kuda umumnya hanya satu macam (homospor) meskipun spora yang lebih kecil pada E. arvense tumbuh menjadi protalium jantan. Spora keluar dari sporangium yang tersusun pada strobilus. Sporanya berbeda dengan spora paku-pakuan karena memiliki empat "rambut" yang disebut elater. Elater berfungsi sebagai pegas untuk membantu pemencaran spora.
Gametofit ekor kuda bersifat thalloid (serupa thallus) dan tidak memiliki klorofil, sehingga kehidupannya tergantung pada asosiasi dengan cendawan tanah dalam bentuk mikoriza. Ukurannya kecil sehingga biasanya diamati dengan mikroskop. Bentuknya tidak menyerupai lembaran seperti pada paku sejati melainkan menyerupai tangkai memanjang, menghasilkan anteridium dan arkegonium.
Paku ekor kuda menyukai tanah yang basah, baik berpasir maupun berlempung, beberapa bahkan tumbuh di air (batang yang berongga membantu adaptasi pada lingkungan ini). E.arvense dapat tumbuh menjadi gulma di ladang karena rimpangnya yang sangat dalam dan menyebar luas di tanah. Herbisida pun sering tidak berhasil mematikannya. Di Indonesia, rumput betung (E. debile) digunakan sebagai sikat untuk mencuci dan campuran obat.
Pada masa lalu, kira-kira pada zaman Karbon, paku ekor kuda purba dan kerabatnya (Calamites, dari divisio yang sama, sekarang sudah punah) mendominasi hutan-hutan di bumi. Beberapa spesies dapat tumbuh sangat besar, mencapai 30 m, seperti ditunjukkan pada fosil-fosil yang ditemukan pada deposit batu bara. Batu bara dianggap sebagai pengerasan sisa-sisa serasah dari hutan purba ini.
(Inggris) Pryer, K. M., Schuettpelz, E., Wolf, P. G., Schneider, H., Smith, A. R., and Cranfill, R. (2004). Phylogeny and evolution of ferns (monilophytes) with a focus on the early leptosporangiate divergences. American Journal of Botany 91: 1582-1598 (tersedia di onlineDiarsipkan 2007-09-26 di Wayback Machine.; pdf file).