Sejarah demokrasi

Demokrasi adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan masyarakat/rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama masyarakat, masyarakat berkuasa, pemerintah masyarakat dan oleh masyarakat[1].

Demokrasi sistem politik atau sistem pengambilan keputusan ialah di dalam suatu lembaga, organisasi, atau negara, yang seluruh anggota atau warganya memiliki jatah kekuasaan yang sama besar.[2] Ciri khas demokrasi-demokrasi modern adalah dua keistimewaan yang secara hakiki membedakannya dari bentuk-bentuk pemerintahan yang lahir sebelumnya, yakni kapasitasnya untuk mengintervensi di dalam lingkup masyarakatnya sendiri, dan pengakuan terhadap kedaulatannya oleh suatu kerangka kerja legalistik internasional dari negara-negara berdaulat yang serupa. Pemerintahan demokratis lazimnya ditandingkan dengan pemerintahan oligarkis (pemerintahan yang dikendalikan segelintir warga negara), dan pemerintahan monarkis (pemerintahan yang dikendalikan seorang penguasa tunggal).

Pada umumnya demokrasi dihubung-hubungkan dengan ikhtiar-ikhtiar bangsa Yunani Kuno, yang dipandang sebagai pendiri peradaban Dunia Barat, oleh para cendekiawan abad ke-18 yang mencoba memberdayakan eksperimen-eksperimen demokrasi perdana tersebut menjadi suatu pola dasar baru bagi organisasi politik pascamonarki.[3] Taraf keberhasilan para cendekiawan pembangkit demokrasi abad ke-18 ini dalam mengubah cita-cita demokrasi bangsa Yunani dan Romawi kuno menjadi pranata politik yang paling banyak diterapkan di dunia selama 300 tahun selanjutnya memang sukar untuk dinafikan, meskipun alasan-alasan moral yang kerap mereka gunakan untuk membenarkan upaya tersebut mungkin saja masih dapat diperdebatkan. Meskipun demikian, titik peralihan kritis dalam sejarah, yang dikatalisasi oleh kebangkitan kembali cita-cita dan pranata-pranata demokratis, secara hakiki mentransformasi abad-abad selanjutnya dan telah mendominasi bentang dunia internasional semenjak runtuhnya kekaisaran-kekaisaran yang tersisa seusai Perang Dunia kedua.

Demokrasi perwakilan di zaman modern mencoba menjembatani kesenjangan antara 'fitrah' manusia menurut Thomas Hobbes, dan cengkeraman otoriterianisme, melalui 'kontrak-kontrak sosial' yang melindungi hak-hak warga negara, membatasi kekuasaan negara, dan menjamin terselenggaranya kedaulatan rakyat melalui hak suara.[4]

Zaman Kuno

Asal usul

Para antropolog telah mengidentifikasi bentuk-bentuk protodemokrasi yang diprakarsai oleh sekelompok kecil pemburu dan peramu, jauh sebelum terbentuknya masyarakat-masyarakat yang bertani dan menetap, dan yang masih lestari nyaris tanpa perubahan di dalam kelompok-kelompok masyarakat bumiputra sekarang ini. Dalam kelompok-kelompok yang umumnya terdiri atas 50-100 orang dan lazimnya dipersatukan erat-erat oleh ikatan kekeluargaan ini, pengambilan keputusan dilakukan melalui mufakat atau suara terbanyak, dan sering kali dilakukan tanpa pemimpin khusus.[4] Mengingat bahwa dinamika-dinamika semacam ini masih lestari sampai sekarang, kiranya tidaklah keliru untuk berasumsi bahwa demokrasi dalam satu atau lain bentuk muncul secara alamiah dalam setiap kelompok atau suku yang erat bersatu.

Demokrasi-demokrasi semacam ini umumnya diidentifikasi sebagai tribalisme, atau demokrasi primitif. Dalam lingkup pemahaman ini, demokrasi primitif lazimnya mengejawantah dalam paguyuban-paguyuban atau desa-desa kecil bilamana ada pembahasan-pembahasan dalam bentuk tatap muka secara langsung dalam suatu majelis permusyawaratan desa atau bilamana ada pemimpin yang didukung oleh para tetua desa atau bentuk-bentuk pemerintahan kooperatif lainnya.[5] Kenyataan ini menjadi lebih rumit pada skala yang lebih besar, misalnya bilamana desa atau kota yang bersangkutan ditelaah secara lebih luas sebagai paguyuban-paguyuban politik. Semua bentuk pemerintahan lain – termasuk monarki, tirani, aristokrasi, dan oligarki – telah berkembang di pusat-pusat permukiman yang lebih bersifat perkotaan, sering kali di pusat-pusat permukiman perkotaan dengan populasi-populasi yang terkonsentrasi.[6]

Konsep-konsep (dan nama) demokrasi dan konstitusi sebagai suatu bentuk pemerintahan bermula di Athena kuno sekitar 508 SM. Di Yunani kuno, tempat berdirinya banyak negara kota dengan berbagai macam bentuk pemerintahan, demokrasi ditanding dengan bentuk-bentuk pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir orang terkemuka (aristokrasi), oleh satu orang (monarki), oleh para tiran (tirani), dan lain sebagainya.

Masyarakat-masyarakat protodemokratis

Pada beberapa dasawarsa terakhir, para pengkaji telah menelaah kemungkinan-kemungkinan bahwasanya langkah maju menuju bentuk pemerintahan yang demokratis lebih dahulu terjadi di tempat-tempat lain (di luar Yunani), karena pranata-pranata sosial dan politik yang rumit baru dikembangkan di Yunani lama sesudah kemunculan peradaban-peradaban perdana di Mesir dan Timur Dekat.[7]

Mesopotamia

Loh bertulis wiracarita Gilgames

Dalam kajiannya tentang Mesopotamia pra-Babilonia, pengkaji terkenal, Thorkild Jacobsen, menggunakan wiracarita, mitos, dan catatan-catatan sejarah Sumeria untuk mengidentifikasi apa yang ia sebut sebagai demokrasi primitif. Jacobsen memaknainya sebagai suatu pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan sekumpulan besar warga negara laki-laki yang merdeka, sekalipun "berbagai fungsi pemerintahan sampai dengan saat itu masih kurang terspesialisasi, dan struktur kekuasaan masih renggang". Di Sumer, raja-raja perdana seperti Gilgames tidak memiliki kekuasaan otokratis sebagaimana yang disandang oleh para penguasa Mesopotamia di kemudian hari. Malah negara-negara kota besar dikendalikan oleh majelis-majelis permusyawaratan yang beranggotakan para tetua dan "para pemuda" (mungkin kaum lelaki merdeka yang bersenjata) yang memiliki wewenang politik paripurna, dan wajib dimintai pendapatnya dalam semua perkara besar semisal perang.[8][9]

Meskipun masih bersifat rintisan, kajian ini telah memancing beberapa pembahasan serius dan menuai segelintir penerimaan yang dilakukan secara terbuka. Para pengkaji mengkritik penggunaan kata "demokrasi" dalam konteks tersebut karena bukti-bukti yang sama dapat pula ditafsirkan secara meyakinkan sebagai bukti-bukti dari adanya gejolak persaingan kekuasaan antara monarki primitif dan kaum bangsawan, suatu persaingan yang hanya melibatkan rakyat jelata sebagai bidak belaka, bukan sebagai pemegang kedaulatan dalam bentuk apa pun.[10] Jacobsen telah mengakui bahwa ketaksaan bukti-bukti tersebut memustahilkan pembedaan demokrasi Mesopotamia dari suatu bentuk oligarki primitif.[11]

India

Klaim lain mengenai keberadaan pranata-pranata demokratis perdana datang dari "republik-republik" mandiri di India, yakni pranata sangga dan gana, yang sudah ada semenjak abad ke-6 SM dan bertahan di beberapa kawasan sampai abad ke-4 M. Akan tetapi bukti-buktinya masih berserakan, dan tidak ada sumber rujukan yang murni bersifat sejarah dari kurun waktu tersebut. Selain itu, Diodoros Sikolos—sejarawan Yunani yang menyusun karya tulisnya dua abad sesudah Aleksander Agung menginvasi India—menyebutkan, tanpa memperinci, bahwa ada negara-negara merdeka dan demokratis di India.[12] Para pengkaji modern mencermati bahwa kata demokrasi muncul pada abad ke-3 SM, namun di kemudian hari mengalami degradasi makna sehingga dapat berarti negara otonom mana pun, tanpa memandang seoligarkis apa sifatnya.[13][14]

Agaknya ciri khas utama dari gana adalah terdiri atas seorang kepala monarki yang lazimnya disebut raja, dan suatu majelis permusyawaratan. Majelis ini bersidang secara teratur untuk membahas semua keputusan besar negara. Sekurang-kurangnya di beberapa negara, sidang majelis ini boleh diikuti oleh semua warga laki-laki yang merdeka. Majelis ini juga memiliki kewenangan penuh di bidang keuangan, tadbir, dan kehakiman. Pejabat-pejabat lain, yang jarang disebut-sebut, mematuhi keputusan-keputusan majelis. Kepala monarki, yang dipilih oleh gana, tampaknya selalu berasal dari kalangan bangsawan, yakni Warna Kesatria. Kepala monarki merundingkan kegiatan-kegiatannya dengan majelis permusyawaratan; di beberapa negara, kepala monarki merundingkannya dengan suatu majelis yang beranggotakan bangsawan-bangsawan lain.[15] Suku Licawi memiliki lembaga penyelenggara pemerintahan utama yang terdiri atas 7.077 raja, yakni para kepala keluarga terkemuka. Selain itu, sekitar masa hidup Sang Buddha Gautama, suku Sakya, Koliya, Mala, dan Licawi membuka kesempatan untuk ikut bersidang dalam majelis permusyawaratan bagi semua laki-laki, baik yang kaya maupun yang miskin.[16]

Para pengkaji berbeda pandangan mengenai bentuk pemerintahan ini, dan ketaksaan bukti-bukti yang juga masih berserakan itu membuka peluang bagi timbulnya perbedaan pandangan yang besar. Beberapa pengkaji menitikberatkan peran sentral dari majelis permusyawaratan, sehingga bersikeras bahwa bentuk pemerintahan tersebut adalah demokrasi; pengkaji-pengkaji lain memusatkan perhatiannya pada dominasi golongan-atas dalam kepemimpinan dan peluang besar yang dimiliki golongan tersebut untuk mengendalikan majelis permusyawaratan, sehingga menilai bentuk pemerintahan tersebut sebagai oligarki atau aristokrasi.[17][18] Meskipun majelis permusyawaratan jelas memiliki kekuasaan yang besar, belum dapat dipastikan apakah keanggotaan dan keikutsertaan dalam sidang majelis tersebut sungguh-sungguh bersifat kerakyatan. Hambatan besar yang pertama adalah kurangnya bukti yang menjabarkan tentang kekuasaan rakyat di dalam majelis itu. Kenyataan ini tercermin dalam Artasastra, sebuah kitab rujukan kuno bagi para kepala monarki tentang cara menyelenggarakan pemerintahan secara efisien. Salah satu bab dalam Artasastra membahas tentang cara berurusan dengan sangga, yang mencakup petunjuk-petunjuk untuk memanipulasi para pemimpin dari kalangan bangsawan, namun tidak membahas cara-cara mempengaruhi khalayak ramai warga negara—suatu kekurangan yang mengejutkan jika memang benar bahwa lembaga-lembaga demokratis, bukannya keluarga-keluarga bangsawan, yang secara aktif mengendalikan pemerintahan-pemerintahan republik itu.[19] Isu lainnya adalah kukuhnya sistem penggolongan masyarakat menjadi empat tingkatan Warna.[17] Kewajiban-kewajiban dan hak-hak istimewa warga dari masing-masing kasta—cukup kaku untuk melarang seseorang makan bersama orang-orang dari kasta lain—boleh jadi mempengaruhi peranan-peranan yang diharapkan untuk dimainkan oleh warga di dalam negara, di luar dari formalitas pranata-pranata tersebut. Salah satu asas demokrasi adalah gagasan mengenai pembagian kuasa pengambilan keputusan. Tidak adanya gagasan yang jelas perihal kesetaraan warga negara dalam batasan-batasan sistem kasta ini menjadikan banyak pengkaji menyatakan bahwa pada hakikatnya gana dan sangga tidaklah setaraf dengan pranata-pranata demokratis yang sesungguhnya.[18]

Sparta

Ukiran timbul Likorgos, salah seorang di antara 23 tokoh besar pembuat hukum yang terukir gambarnya di balai sidang Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat

Pada kurun waktu awal keberadaannya, Yunani kuno merupakan sekumpulan renggang negara kota yang disebut polis. Banyak di antaranya berbentuk oligarki.[20] Oligarki Yunani yang terkemuka, sekaligus negara kota yang paling sering dan paling berfaedah jika dibanding-bandingkan dengan Athena yang demokratis, adalah Sparta. Namun Sparta, dengan penolakannya terhadap kemakmuran pribadi sebagai suatu faktor pembeda sosial, merupakan sebuah oligarki yang tidak lazim[21] dan dianggap mirip dengan demokrasi oleh beberapa pengkaji.[22][23][24] Dalam pemerintahan Sparta, kekuasaan politik terbagi ke dalam empat lembaga, yaitu diarki (dua orang dwiprabu Sparta), gerousia (majelis para tetua, termasuk kedua raja), efor (para wakil rakyat yang mengawasi kedua raja), dan apela (majelis rakyat Sparta).

Kedua raja adalah kepala pemerintahan Sparta. Keduanya memerintah bersama-sama, namun berasal dari dua garis nasab yang berbeda. Kepemimpinan ganda ini memperlemah kekuasaan efektif dari jawatan eksekutif. Kedua raja menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan anggota-anggota gerousia lainnya. Para anggota gerousia harus berumur di atas 60 tahun dan terpilih untuk menjabat seumur hidup. Pada teorinya, setiap warga Sparta yang berusia lebih dari 60 tahun boleh mengajukan diri untuk dipilih, namun pada praktiknya, mereka dipilih dari kalangan bangsawan kaya. Gerousia memiliki kekuasaan inisiatif legislatif yang krusial. Apela, lembaga yang paling demokratis, adalah majelis rakyat Sparta di atas 30 tahun yang memilih anggota-anggota gerousia serta para efor, dan menerima atau menolak proposal-proposal yang diajukan oleh gerousia.[25] Yang terakhir adalah para efor, yakni lima warga Sparta yang dipilih dalam majelis apela untuk memantau sepak terjang raja-raja beserta pejabat-pejabat publik lainnya dan, bila perlu, memakzulkan mereka. Para efor menjabat selama setahun dan tidak dapat terpilih kembali setelah masa jabatannya berakhir. Dari tahun ke tahun, para efor sangat mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri, dan bertindak selaku lembaga eksekutif utama negara. Selain itu, para efor bertanggung jawab penuh atas sistem pendidikan Sparta, yang sangat penting untuk mempertahankan standar-standar tinggi angkatan bersenjata Sparta. Sebagaimana yang dicermati oleh Aristoteles, para efor merupakan lembaga negara yang sangat penting, namun karena dipilih dari segenap lapisan masyarakat yang mengakibatkan jabatan itu sering kali diduki oleh orang-orang termiskin, maka besar pula kemungkinannya mereka gampang disuap.[26][27]

Pencipta tata pemerintahan Sparta adalah sang pemberi hukum legendaris, Likorgos. Ia dikaitkan dengan perombakan-perombakan drastis yang terjadi di Sparta sesudah pemberontakan kaum Heilotes pada paruh kedua abad ke-7 SM. Dengan maksud untuk mencegah terulangnya pemberontakan kaum Heilotes, Likorgos menciptakan tata kemasyarakatan yang sangat bersifat ketentaraan yang menjadi keistimewaan Sparta di antara negara-negara kota Yunani. Semua perombakan tatanan yang dilakukan Likorgos dirahkan pada tiga darma Sparta: kesetaraan (antarwarga), keperwiraan, dan keugaharian. Mungkin pula Likorgos menetapkan batas-batas kewenangan dari dua lembaga pemerintahan Sparta, yakni gerousia dan apela.[28]

Perombakan-perombakan yang dilakukan Likorgos dibukukan menjadi sebuah senarai aturan/hukum yang disebut Retra Agung, sehingga menjadikannya konstitusi tertulis pertama di dunia.[29] Pada abad-abad berikutnya, Sparta menjadi sebuah negara adikuasa, dan tata pemerintahannya dikagumi di seluruh dunia berbudaya Yunani karena kestabilan politiknya.[30] Konsep kesetaraan memainkan peranan yang istimewa dalam masyarakat Sparta. Orang-orang Sparta menyebut diri mereka όμοιοι (homoioi, orang-orang sederajat). Konsep ini juga tercermin dalam tatanan pendidikan umum Sparta, agogi, tempat seluruh warga tanpa pandang bulu mengenyam pendidikan yang sama.[24] Kenyataan ini dikagumi oleh hampir semua orang Yunani kala itu, mulai dari para sejarawan seperti Herodotos dan Ksenofon sampai para filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Selain itu, kaum perempuan Sparta, tidak seperti kaum perempuan Yunani di tempat lain, menikmati "segala macam kenyamanan dan keleluasaan" termasuk hak-hak seperti hak waris, hak milik atas properti, dan hak mengenyam pendidikan umum.[31]

Secara keseluruhan, orang-orang Sparta benar-benar bebas untuk mengkritik raja-rajanya, bahkan boleh memakzulkan dan mengasingkan mereka. Meskipun konstitusi Sparta memuat unsur-unsur demokratis ini, ada dua kritik utama yang menggolongkan Sparta sebagai sebuah oligarki. Yang pertama, kebebasan individu dibatasi, karena Plutarkos mencatat "tak seorang pun dibenarkan untuk menjalani hidup sekehendak hatinya", tetapi sebagaimana dalam sebuah "kamp militer" semua orang dikerahkan untuk bekerja bakti demi kepentingan polisnya. Yang kedua, lembaga gerousia secara efektif mendapat jatah kekuasaan terbesar di antara berbagai lembaga pemerintahan yang ada.[32][33]

Stabilitas politik Sparta juga berarti bahwa tidak ada perubahan berarti yang dilakukan pada konstitusi. Unsur-unsur oligarkis Sparta bahkan semakin menguat, teristimewa setelah negeri itu bergelimang emas dan perak dari pampasan Perang Persia. Selain itu, seusai Perang Persia, Athena tampil menjadi kuasa terdepan di dunia berbudaya Yunani, dan timbul sengketa antara Sparta dan Athena dalam memperebutkan supremasi. Kenyataan ini memicu timbulnya serangkaian perang yang disebut Perang Peloponesos yang berakhir dengan kemenangan Sparta. Meskipun demikian, Perang Peloponesos menguras habis sumber-sumber daya kedua polis yang bertikai, sehingga Sparta pun tidak berdaya ketika diserang oleh Thebai dalam Pertempuran Leuktra pada 371 SM. Pemerintahan polis-polis Yunani akhirnya berakhir beberapa tahun kemudian, manakala Filipos II dari Makedonia meremukkan sisa-sisa kekuatan negara-negara kota yang saling berseteru di sebelah selatan wilayah kerajaannya.

Athena

Akropolis Athena karya Leo von Klenze.

Sekalipun bukan salah satu dari demokrasi Yunani perdana, Athena sering kali dianggap sebagai tempat lahirnya demokrasi dan tetap dijadikan titik rujukan bagi demokrasi.[i]

Sebagaimana banyak polis lain, Athena muncul pada abad ke-7 SM dengan pemerintahan yang didominasi oleh kaum bangsawan.[34] Akan tetapi dominasi kaum bangsawan mengakibatkan terjadinya eksploitasi, menciptakan masalah-masalah besar di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Masalah-masalah ini menjadi kian parah pada awal abad ke-6; dan, karena "orang banyak diperbudak oleh segelintir orang, rakyat pun bangkit menentang para pemuka".[35] Pada saat yang sama, berkobar sejumlah revolusi rakyat yang berhasil menumbangkan kekuasaan turun-temurun kaum bangsawan. Salah satu revolusi rakyat ini terjadi di Sparta pada paruh kedua abad ke-7 SM. Perombakan-perombakan konstitusi yang diperjuangkan oleh Likorgos di Sparta menghasilkan sebuah negara hoplites yang memperlihatkan bahwa pemerintahan-pemerintahan turun-temurun dapat diubah dan menuntun kepada kejayaan militer.[36] Selepas kurun waktu pertentangan antara orang kaya dan orang miskin, warga Athena dari seluruh lapisan masyarakat meminta Solon untuk bertindak selaku penengah di antara golongan-golongan yang saling berseteru, dan mendapatkan solusi bagi masalah-masalah mereka yang memuaskan semua pihak.[37][38]

Solon dan dasar-dasar demokrasi

Patung dada Solon di Museum Nasional Napoli

Solon (ca. 638 – ca. 558 SM), keturunan bangsawan Athena yang tidak begitu kaya ini adalah seorang penyajak lira dan dikemudian hari menjadi seorang pembuat hukum; Plutarkos menyanjungnya sebagai salah seorang dari tujuh begawan dunia kuno.[38] Solon berusaha memuaskan semua pihak dengan cara meringankan penderitaan golongan mayoritas yang miskin tanpa meniadakan hak-hak istimewa golongan minoritas yang kaya.[39] Solon membagi warga Athena menjadi empat golongan masyarakat berdasarkan besar kecilnya penghasilan mereka, dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap golongan. Sebagaimana yang dilakukan Retra di Sparta pada zaman Likorgos, Solon mengesahkan susunan dan fungsi dari lembaga-lembaga pemerintah. Seluruh warga mendapatkan hak untuk menghadiri sidang Eklesia (majelis) dan untuk memberi suara. Pada prinsipnya, Eklesia menjadi lembaga berdaulat yang berwenang meloloskan hukum dan ketetapan, memilih pejabat negara, dan menerima banding dari putusan-putusan terpenting mahkamah.[38] Semua orang kecuali dari golongan termiskin boleh satu kali menjalani masa bakti selama setahun dalam dewan 400 Boule, untuk menyiapkan agenda bagi Eklesia. Jabatan-jabatan pemerintahan tertinggi, yakni jabatan para arkon (magistrat), diperuntukkan bagi para warga dari kedua golongan berpenghasilan tertinggi. Para mantan arkon menjadi anggota Areopagus (Majelis Bukit Ares) yang, sebagaimana Gerousia di Sparta, berwenang memeriksa tindakan-tindakan menyeleweng yang dilakukan oleh lembaga Eklesia yang baru terbentuk dan adikuasa itu. Solon menciptakan suatu sebuah tatanan kelembagaan yang merupakan campuran timokrasi dan demokrasi.[40]

Secara keseluruhan, Solon mereka cipta perombakan-perombakan pada 594 SM untuk mencegah terjadinya kemerosotan politik, ekonomi, dan budi pekerti di Athena kuno, serta mempersembahkan kitab hukum komprehensif yang pertama bagi kota itu. Perombakan-perombakan konstitusi menghasilkan penghapusan perbudakan atas warga Athena oleh warga Athena, menetapkan aturan-aturan untuk menanggulangi secara sah tindakan-tindakan para arkon aristokratis yang melampaui kewenangan mereka, dan menetapkan hak-hak istimewa atas dasar kekayaan produktif bukannya warisan status kebangsawanan yang diperoleh sejak lahir. Beberapa perombakan yang dilakukan Solon mengalami kegagalan dalam jangka pendek, akan tetapi ia sering kali dihargai sebagai peletak dasar-dasar demokrasi Athena.[41][42]

Demokrasi pada zaman Kleistenes dan Perikles

Pniks dengan panggung pembicara, sasana pertemuan warga Athena

Meskipun mengentaskan kedudukan ekonomi warga Athena kelas bawah, penataan ulang konstitusi yang dilakukan Solon tidak melenyapkan dominasi kaum bangsawan atas jabatan arkon, jabatan eksekutif utama di Athena. Peisistratos menjadi Tiran Athena sebanyak tiga kali sejak 561 SM dan memerintah sampai wafat pada 527 SM. Sepeninggal Peisistratos, ia digantikan oleh putra-putranya, Hipias dan Hiparkos.[43]

Sesudah tirani runtuh (510 SM) dan sebelum kurun waktu 508–507 SM berakhir, Kleistenes mengajukan usulan perombakan tatanan pemerintahan, dan akhirnya disetujui oleh Eklesia.[44] Kleistenes menata ulang populasi Athena menjadi sepuluh suku, dengan tujuan mengubah dasar organisasi politik dari keberpihakan pada keluarga menjadi keberpihakan politik,[45] serta memperbaiki organisasi ketentaraan.[46] Ia memperkenalkan pula asas kesetaraan hak bagi semua orang, yakni isonomia,[44] dengan cara memperbesar peluang bagi lebih banyak warga untuk meraih kekuasaan.[47] Pada kurun waktu ini, orang-orang Athena untuk pertama kalinya mulai menggunakan kata "demokrasi" (bahasa Yunani: δημοκρατία, demokratia – "pemerintahan rakyat") sebagai sebutan bagi tatanan pemerintahannya yang baru.[48] Pada generasi berikutnya, Athena memasuki zaman keemasannya, menjadi pusat kesusastraan dan seni rupa.[49] Kemenangan bangsa Yunani dalam Perang Persia (499–449 SM) mendorong warga termiskin Athena (yang ikut serta berjuang dalam perang itu) menuntut hak yang lebih besar untuk dilibatkan dalam tata kelola kota mereka. Pada akhir era 460-an, Efialtes dan Perikles memimpin radikalisasi kekuasaan yang menggeser perimbangan kekuasaan secara mutlak ke sisi golongan termiskin dalam masyarakat, dengan cara mengundang-undangkan hukum-hukum yang benar-benar membatasi kekuasaan majelis Areopagus dan mengizinkan golongan tetes (warga Athena yang tidak berharta) untuk menduduki jabatan-jabatan publik.[50] Perikles tampil menjadi pemimpin demokratis terbesar di Athena, sekalipun didakwa menjalankan sebuah mesin politik. Tukidides meriwayatkan bahwa Perikles membabarkan tatanan pemerintahan Athena dalam pidato upacara pemakaman dengan kalimat-kalimat sebagai berikut:

Penadbirannya berpihak pada orang banyak, bukan segelintir orang saja; itulah sebabnya disebut demokrasi. Jika mengacu pada undang-undang, maka semuanya menjamin kesetaraan bagi semua orang dalam perbedaannya masing-masing; jika tidak ada pembeda-bedaan golongan dalam masyarakat, maka pengajuan diri menjadi pejabat publik bergantung pada reputasi kemampuan, pertimbangan mengenai latar belakang golongan tidak dibenarkan untuk menjegal jasa-jasa; tidak pula kemiskinan dibenarkan untuk dijadikan rintangan, jika seseorang mampu berbakti bagi negara, ia tidak dipersulit oleh ketidakjelasan keadaannya. Kebebasan yang kita kenyam dalam pemerintahan kita juga merasuk sampai ke dalam kehidupan kita sehari-hari.[51]

Patung dada Perikles dengan pelindung kepala khas buatan Korintus. Tulisan pada patung berbunyi "Perikles, putra Ksantipus, orang Athena". Batu pualam, tiruan buatan Romawi dari patung asli buatan Yunani pada ca. 430 SM.

Demokrasi Athena pada zaman Kleistenes dan Perikles didasarkan pada kebebasan (hasil dari perombakan-perombakan yang dilakukan Solon) dan kesetaraan (isonomia) - yang diperkenalkan oleh Kleistenes dan di kemudian hari diperluas oleh Efialtes dan Perikles. Demi melestarikan asas-asas ini, orang-orang Athena membuang undi untuk memilih pejabat-pejabatnya. Cara ini digunakan guna memastikan bahwa tiap-tiap warga memiliki peluang yang sama untuk menduduki jabatan pemerintahan. Untuk menghindari segala macam kecurangan, digunakan mesin-mesin pengundian.[52] Selain itu, sebagian besar dari jabatan yang diperebutkan melalui pengundian itu hanya boleh diduduki oleh warga Athena selama satu kali masa jabatan. Warga Athena yang sudah pernah menjabat tidak boleh dipilih kembali, sehingga tidak ada yang berkesempatan untuk memperbesar kekuasaan pribadi dengan cara memegang suatu jabatan tertentu dalam waktu yang lama.[53]

Mahkamah merupakan lembaga politik lainnya yang penting di Athena. Lembaga ini beranggotakan sejumlah besar juri dan tanpa hakim. Para juri dipilih melalui pengundian harian atas nama-nama warga yang telah terpilih melalui pengundian tahunan. Mahkamah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas untuk mengendalikan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya berikut pemimpin-pemimpin politiknya.[6] Warga yang telah terpilih diwajibkan untuk menerima jabatan dan menjalankan tugasnya,[54] dan ada pemberian sedikit dana kompensasi bagi para warga yang mata pencahariannya terganggu akibat terpilih menjadi pejabat. Pejabat-pejabat yang terpilih melalui seleksi langsung, satu orang dari masing-masing suku, hanyalah para "strategoi" (panglima perang) dan para "bendahara". Jabatan srategos memang harus dipegang oleh orang yang memiliki pengetahuan militer, dan jabatan bendahara memang harus dipegang oleh seorang hartawan, karena setiap keping uang dari perbendaharaan negara yang terbukti diselewengkan harus diganti dengan jumlah yang sama dari pundi-pundi pribadi si bendahara. Setiap warga bebas untuk mengemukakan pendapatnya dalam pertemuan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan diputuskan dengan suara terbanyak oleh sidang lembaga Eklesia (bdk. demokrasi langsung) yang terbuka bagi semua warga laki-laki (dalam beberapa kasus, keputusan baru dianggap sah jika sidang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 6000 warga laki-laki). Keputusan-keputusan sidang lembaga Eklesia dilaksanakan oleh Boule 500, yakni lembaga yang memilih dan mengajukan rencana kebijakan untuk dibahas dan diputuskan oleh lembaga Eklesia. Anggota Boule Athena dipilih dengan undi setiap tahun,[55] dan tidak seorang pun diperkenankan menjabat lebih dari dua kali.[56]

Secara keseluruhan, demokrasi Athena tidak saja bersifat langsung dalam arti bahwa keputusan-keputusan diambil oleh sidang majelis rakyat, tetapi juga bersifat sangat langsung dalam arti bahwa rakyat melalui sidang majelis, boule, dan mahkamah peradilan mengendalikan seluruh proses politik, dan sebagian besar dari rakyat turut terlibat dalam urusan-urusan umum.[57] Dan bahkan sekalipun hak-hak perseorangan (kemungkinan besar) tidak dijamin oleh konstitusi Athena menurut pemahaman modern,[ii] warga Athena tetap mengenyam kemerdekaan, bukan merdeka dalam arti leluasa untuk menentang pemerintah, melainkan merdeka karena hidup di sebuah negara kota yang tidak tunduk pada kuasa asing, dan merdeka karena tidak tunduk di bawah kuasa warga lain.[48]

Lahirnya filsafat politik

Di lingkungan Athena yang demokratis, banyak filsuf dari seluruh alam Yunani berhimpun guna mengembangkan teori-teori mereka. Sokrates (470-399 SM) adalah filsuf pertama yang mencetuskan pertanyaan, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh muridnya, Plato (wafat 348/347 SM), tentang hubungan/posisi seorang individu dalam komunitas. Aristoteles (384–322 SM) melanjutkan kajian gurunya, Plato, dan menetapkan asas-asas filsafat politik. Filsafat politik, menurut Peter Hall, berkembang di Athena "dalam suatu bentuk yang sangat paripurna sampai-sampai orang sukar sekali menambahkan apa-apa padanya selama lebih dari satu milenium".[58] Aristoteles secara sistematis menelaah berbagai macam tatanan pemerintahan dari berbagai negara kota Yunani dan menggolong-golongkannya menjadi tiga kategori berdasarkan seberapa banyak orang yang memerintah, yakni banyak orang (demokrasi/politeia), segelintir orang (oligarki/aristokrasi), dan satu orang (tirani, atau sekarang ini: autokrasi/monarki). Bagi Aristoteles, asas-asas yang melandasi demokrasi adalah sebagaimana yang tampak dalam karya tulisnya, Politiká:

Jadi salah satu asas dari konstitusi demokratis adalah kemerdekaan—sebagaimana lazimnya dikemukakan orang, yang menyiratkan bahwa hanya di bawah konstitusi semacam inilah orang boleh ikut serta mengenyam kemerdekaan, karena kemerdekaan mereka kemukakan sebagai sasaran dari setiap demokrasi. Akan tetapi salah satu faktor dari kemerdekaan adalah memerintah dan sebaliknya juga diperintah; karena asas umum dari keadilan adalah memiliki kesetaraan berdasarkan jumlah, bukan berdasarkan kelayakan, dan jika asas keadilan semacam ini yang berlaku, maka orang banyak perlu berdaulat dan keputusan orang banyak haruslah paripurna dan harus merupakan keadilan, karena mereka katakan bahwa tiap-tiap warga harus mendapat jatah yang sama besarnya; sehingga hasilnya adalah dalam demokrasi-demokrasi orang-orang miskin lebih berkuasa daripada orang-orang kaya, karena jumlah mereka lebih banyak dan apa saja yang diputuskan oleh orang banyak itulah keputusan yang berdaulat. Maka inilah salah satu tanda dari kemerdekaan yang oleh semua demokrat dijadikan asas konstitusi. Dan tanda itu adalah orang hidup seturut kehendaknya; karena mereka katakan bahwa inilah gunanya kemerdekaan, selama orang hidup tidak seturut kehendaknya maka itulah hidup seorang budak belian. Inilah asas kedua dari demokrasi, dan dari asas inilah datangnya tuntutan untuk tidak diperintah, lebih baik lagi jika tidak diperintah oleh siapa-siapa, atau jika tidak mungkin demikian, maka untuk memerintah dan sebaliknya juga diperintah; dan dengan cara inilah asas kedua bersumbangsih bagi kemerdekaan orang-orang yang setara derajatnya.[59]

Kemerosotan, kebangkitan, dan kritik

Demokrasi Athena, sepanjang dua abad riwayatnya, pernah dua kali memutuskan melalui pemungutan suara untuk menentang konstitusi demokratisnya sendiri (kedua-duanya terjadi semasa krisis pada akhir Perang Poloponesos 431–404 SM). Pemungutan suara kali pertama pembentukan rezim Empat Ratus Pemimpin (pada 411 SM), dan pemungutan suara kali kedua menghasilkan pembentukan rezim boneka Sparta, yakni kepemimpinan Tiga Puluh Tiran (pada 404 SM). Kedua pemungutan suara ini berlangsung di bawah manipulasi dan tekanan, namun demokrasi akhirnya dipulihkan kurang dari setahun setelah penyelenggaraan pemungutan suara, baik kali pertama maupun kali kedua. Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan seiring pemulihan demokrasi selepas tumbangnya rezim Tiga Puluh Tiran merenggut sebagian besar wewenang pembuatan hukum dari majelis rakyat, dan membebankan wewenang ini kepada para juri yang dipilih secara acak yang disebut para "nomotetai". Athena memulihkan konstitusi demokratisnya seperti sediakala setelah Yunani berhasil dipersatukan oleh Raja Makedonia, Filipos II (memerintah 359-336 BCE), dan di kemudian hari oleh Aleksander Agung (memerintah 336–323 SM), namun pamor demokrasi Athena tak tampak menonjol di bawah bayang-bayang kejayaan kekaisaran-kekaisaran Yunani Makedonia itu. Demokrasi Athena akhirnya dibatasi ruang lingkupnya menjadi sistem pemerintahan daerah Athena sendiri sesudah Yunani ditaklukkan oleh bangsa Romawi pada 146 SM.

Kemerosotan demokrasi Athena tidak semata-mata disebabkan oleh tekanan dari pihak luar, tetapi juga oleh ulah warganya sendiri, misalnya Plato dan muridnya, Aristoteles. Akibat dari karya-karya tulis mereka yang begitu berpengaruh, sesudah minat untuk mengkaji karya-karya tulis Abad Kuno kembali marak pada Abad Pembaharuan, stabilitas politik Sparta justru dipuji-puji orang,[60][61][62] sementara demokrasi ala Perikles digambarkan sebagai sistem pemerintahan yang tidak dirancang secara matang, pemerintahan yang digerakkan oleh sekumpulan orang banyak (selaku sekumpulan besar tiran), atau pemerintahan yang dikuasai oleh golongan-golongan masyarakat miskin.[48] Berabad-abad kemudian, sesudah A History of Greece (Sebuah Sejarah Negeri Yunani) karya George Grote diterbitkan sejak 1846, barulah para pemikir politik modern mulai memandang demokrasi Athena ala Perikles secara positif.[63] Menjelang akhir abad ke-20, para ahli mengkaji kembali sistem pemerintahan Athena sebagai sebuah contoh pemberdayaan warga negara dan suatu keteladanan bagi komunitas-komunitas maupun organisasi-organisasi.[64]

Roma

Meskipun Roma digolongkan sebagai republik, bukannya demokrasi, sejarahnya telah membantu melestarikan konsep demokrasi selama berabad-abad. Orang Romawi mencetuskan konsep kajian karya-karya tulis klasik dan melestarikan banyak karya-karya tulis peninggalan Yunani Kuno.[65] Selain itu, tata pemerintahan Romawi telah mengilhami banyak pemikir politik selama berabad-abad,[66] dan demokrasi-demokrasi (perwakilan) modern yang ada saat ini lebih banyak meniru pola pemerintahan Romawi daripada pola pemerintahan Yunani.[67]

Republik Roma

Penggambaran sebuah sidang senat Romawi: Sisero menyerang Katilina, dari sebuah fresko abad ke-19.

Roma adalah sebuah negara kota di Italia, bertetangga dengan negara-negara kota lain yang tangguh; orang Etruska telah mendirikan negara-negara kota di seluruh kawasan tengah Italia semenjak abad ke-13 SM, sementara di kawasan selatan Italia terdapat daerah-daerah koloni Yunani. Sebagaimana negara-negara kota lainnya, Roma diperintah oleh seorang raja. Meskipun demikian, desakan huru-hara dalam masyarakat serta tekanan ancaman dari pihak luar mengakibatkan Raja Roma yang terakhir dimakzulkan pada 510 SM oleh sekelompok bangsawan di bawah pimpinan Lusius Yunius Brutus.[68][69] Sebuah konstitusi baru disusun, namun sengketa di antara kalangan ningrat (bahasa Latin: patricius, jamak: patricii) dan rakyat jelata (bahasa Latin: plebs) terus berlanjut. Kaum plebs menuntut diundangkannya hukum-hukum yang definitif, tertulis, dan sekuler. Imam-imam dari kalangan patricius, yang merupakan para pencatat dan penafsir statuta, memanfaatkan monopoli mereka di bidang hukum untuk menentang perubahan sosial dengan cara merahasiakan catatan-catatan mereka. Setelah cukup lama membendung tuntutan-tuntutan baru yang bermunculan, senat Roma membentuk dan mengutus panitia yang terdiri atas tiga orang patricii ke Yunani pada 454 SM untuk mempelajari dan menyusun laporan tentang pembuatan undang-undang yang dilakukan oleh Solon dan tokoh-tokoh pembuat hukum lainnya.[68][69] Sepulangnya mereka dari Yunani, sidang umum pada 451 SM memilih sepuluh orang pria – panitia dasawira (bahasa Latin: decemviri) – untuk menyusun sebuah himpunan undang-undang yang baru, dan memberi mereka kuasa pemerintahan tertinggi di Roma selama dua tahun. Di bawah pengawasan Apius Klaudius, seorang tokoh penentang pembaharuan yang berwatak tegas, panitia ini mengubah hukum adat Roma lama menjadi sebuah rancangan undang-undang yang dituliskan pada dua belas loh dan mengajukannya kepada sidang umum. Rancangan undang-undang ini diloloskan dengan sejumlah perubahan, dan dipajang di Forum (alun-alun) agar dapat dibaca oleh setiap orang yang melek aksara. Undang-undang Dua Belas Loh ini mengatur mengenai hak-hak tertentu, dan pada abad ke-4 SM, kaum plebs diberi hak untuk mencalonkan diri menjadi konsul dan pejabat-pejabat utama lainnya di Roma.

Tatanan politik sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Romawi ini mencerminkan suatu konstitusi campuran,[70] dan bagian-bagian konstituennya serupa dengan yang ada dalam konstitusi Sparta, yakni dua orang konsul selaku kepala monarki, lembaga senat selaku majelis kaum bangsawan, dan khalayak ramai melalui sidang-sidang umum.[71] Para konsul adalah hakim-hakim biasa dari jenjang kepangkatan tertinggi.[72] Para konsul memiliki kewenangan dalam urusan-urusan sipil maupun militer. Bilamana berada di kota Roma, para konsul merupakan kepala pemerintahan Roma yang berwenang memimpin sidang-sidang senat maupun sidang-sidang umum yang dihadiri segenap warga Roma. Bilamana berada di luar Roma, masing-masing konsul membawahi sepasukan bala tentara. Senat berwenang mengeluarkan fatwa tertulis yang disebut senatus consultum (fatwa senat) dan yang merupakan petuah resmi kepada hakim. Meskipun disebut fatwa, pada praktiknya hakim sukar mengabaikan fatwa senat.[72] Senat Roma secara langsung memerhatikan kebijakan luar negeri Roma. Meskipun secara teknis tidak memiliki peran resmi dalam penanganan konflik militer, senat merupakan lembaga yang memantau urusan-urusan semacam itu. Senat juga mengurus penadbiran sipil Kota Roma. Syarat-syarat menjadi senator (anggota senat) antara lain memiliki tanah yang bernilai paling sedikit 100.000 keping denarius, terlahir sebagai putra keluarga patricius (bangsawan), dan sekurang-kurangnya pernah satu kali menduduki jabatan pamong praja. Senator-senator baru harus disetujui oleh senator-senator yang sedang menjabat.[72] Melalui sidang-sidang umum, warga Roma merupakan pihak yang paling berwenang untuk memberi putusan akhir sehubungan dengan pemilihan hakim-hakim, pemberlakuan hukum-hukum baru, pelaksanaan hukuman mati, pemakluman perang dan damai, serta pembentukan dan pembubaran persekutuan dengan negara lain. Meskipun jelas-jelas memiliki kewenangan yang besar, pada praktiknya sidang umum merupakan lembaga yang paling lemah di antara lembaga-lembaga negara Kota Roma. Sidang umum hanya sah jika diselenggarakan atas seruan seorang hakim,[72] dan dibatasi untuk tidak mengajukan usulan hukum atau mengajukan sanggahan. Bahkan sehubungan dengan dengan calon-calon pamong praja, Livius meriwayatkan dalam karya tulisnya bahwa "jenjang jabatan dirancang sedemikian rupa sehingga tak seorang pun tampak terkecualikan dari ajang pemilihan, akan tetapi seluruh kekuasaan berada di dalam genggaman para pemimpin terkemuka".[73] Selain itu, ketidakseimbangan bobot hak suara membuat praktik meminta dukungan suara dari golongan-golongan terendah dalam masyarakat jarang dilakukan.[73][74]

Stabilitas Roma, menurut penilaian Polibios, merupakan hasil dari praktik saling periksa antarlembaga negara. Sebagai contoh, seorang konsul dalam peperangan memerlukan kerja sama dari senat dan warga jika ingin meraih kemenangan serta kemuliaan, dan tidak dapat menentang kehendak mereka. Akan tetapi adanya praktik saling periksa ini bukan berarti ada perimbangan kekuasaan dalam segala hal. Menurut pengamatan Polibios, keunggulan konstitusi Roma dibanding konstitusi Kartago (juga sebuah konstitusi campuran) yang tampak semasa berkobarnya Perang Hanibal adalah akibat dari lebih condongnya konstitusi Kartago ke arah demokrasi ketimbang aristokrasi.[75] Selain itu, usaha-usaha mutakhir untuk menciptakan kebebasan perorangan di Roma menurut pemahaman Yunani – eleuteria: jalani hidup sesuka hatimu – justru ditentang keras, karena eleuteria (yang merupakan sebuah ideologi dan cara hidup di Athena yang demokratis[76]) merupakan anatema (haram) dalam pandangan orang Romawi.[77] Nilai-nilai yang diluhurkan di Roma meliputi ketertiban, hierarki, disiplin, dan ketaatan. Nilai-nilai ini dimasyarakatkan melalui hukum-hukum yang mengatur kehidupan pribadi warganya. Hukum-hukum ini secara khusus diterapkan pada golongan-golongan atas dalam masyarakat, karena golongan-golongan ini merupakan suri teladan bagi warga Roma dalam hal akhlak dan budi pekerti.

Roma menjadi penguasa kekaisaran besar di kawasan Laut Tengah. Provinsi-provinsi baru mendatangkan kemakmuran ke Italia, dan kekayaan dihasilkan melalui konsesi-konsesi pertambangan mineral dan kawasan-kawasan pertanian raksasa yang dikelola melalui pemanfaatan tenaga budak belian. Budak-budak belian yang didatangkan ke Italia dalam waktu singkat sudah laris dibeli tuan-tuan tanah kaya yang memanfaatkannya untuk menggantikan tenaga petani pribumi. Pada penghujung abad ke-2, keadaan ini membangkitkan kembali konflik antara warga kaya dan warga miskin, serta mendorong warga miskin untuk menuntut pembaharuan konstitusi. Keresahan masyarakat dan ketidakmampuan konstitusi republik tradisional untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan dari kekaisaran yang terus berkembang ini mengakibatkan munculnya panglima-panglima adikuasa yang hadir silih berganti membela kepentingan warga kaya atau warga miskin pada abad terakhir menjelang permulaan tarikh Masehi.

Peralihan menuju kekaisaran

Sisa-sisa dari sebuah patung perunggu buatan abad pertama tarikh Masehi yang menampilkan Kaisar Romawi, Agustus, sebagai seorang eques (kesatria).

Selama beberapa ratus tahun kemudian, panglima demi panglima bangkit menggulingkan senat dengan berbagai alasan, kebanyakan mengaku demi menghentikan ketidakadilan, baik ketidakadilan terhadap pribadi mereka maupun ketidakadilan terhadap rakyat termiskin atau para prajurit. Salah seorang di antara panglima-panglima semacam ini adalah Yulius Kaisar, yang mengerahkan bala tentaranya ke Roma untuk merebut kekuasaan tertinggi di negara kota republik itu. Karier politik Yulius Kaisar berakhir dengan pembunuhan atas dirinya di Roma pada 44 SM oleh sekelompok senator, termasuk Markus Yunius Brutus. Dalam situasi kekosongan pemerintahan akibat terbunuhnya Yulius Kaisar, sahabat sekaligus wakil utamanya, Markus Antonius, dan kemenakan sekaligus anak angkatnya, Oktavianus, kian menonjol di tengah masyarakat Roma. Gabungan kekuatan keduanya menjadikan triwira berkuasa mutlak. Meskipun demikian, kedua tokoh ini akhirnya saling memerangi pada 31 SM. Pertarungan akhir di antara kedua belah pihak berlangsung pada 2 September 31 SM dalam Pertempuran Actium. Dalam pertempuran laut ini, armada Oktavianus di bawah pimpinan Agripa berhasil mengepung armada Markus Antonius. Pada akhirnya, tak seorang pun di seluruh negara kota Republik Roma yang berani maupun mampu bertahan menentang Oktavianus, dan anak angkat Yulius Kaisar ini pun berkuasa mutlak. Oktavianus membiarkan sebagian besar lembaga negara peninggalan Republik Roma tetap berjalan sebagaimana mestinya, namun segala kegiatan lembaga-lembaga itu ia kendalikan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi, dan keputusan akhir tetap berada di tangannya berkat dukungan kekuatan militer yang siap sedia dikerahkan demi mempertahankan pemerintahannya. Pada 27 SM, peralihan dari bentuk republik menjadi kekaisaran, yang dilakukan dengan diam-diam dan sangat cerdik, dengan mengandalkan kekuasaan pribadi Oktavianus atas lembaga-lembaga negara, akhirnya rampung. Pada tahun itu, Oktavianus menawarkan untuk menyerahkan kembali seluruh kekuasaan yang dipegangnya kepada senat, dan dengan lagak yang sudah dirancang dengan cermat terlebih dahulu, senat menolak tawaran itu dan memberi gelar "augustus" (yang patut dijunjung) kepada Oktavianus. Ia senantiasa berhati-hati untuk tidak menggunakan gelar "rex" (raja), dan hanya menggunakan gelar "princeps" (penghulu, pemuka, warga nomor satu) serta gelar "imperator" (pemberi perintah), yakni gelar yang diberikan oleh bala tentara Romawi kepada panglima-panglima mereka yang berjaya memenangkan pertempuran.

Kekaisaran Romawi dan Akhir Abad Kuno

Kekaisaran Romawi telah lahir. Begitu Oktavianus menetapkan Tiberius menjadi ahli warisnya, semua orang langsung paham bahwa pemerintahan republik tidak mungkin lagi dapat ditegakkan kembali seperti sediakala. Kemungkinan besar sewaktu Kaisar Agustus mangkat, sudah tidak ada lagi orang yang pernah hidup pada kurun waktu ketika Roma belum diperintah oleh kaisar (imperator). Republik Roma telah berubah menjadi sebuah rezim despotis, yang bilamana dipimpin oleh kaisar yang cakap dan kuat dapat saja mencapai supremasi militer, kemakmuran ekonomi, dan keadaan damai yang sesungguhnya, namun jika dipimpin oleh kaisar yang lemah dan tidak cakap, maka mungkin saja kemuliaannya akan ternoda oleh kekejaman, kekalahan militer, pemberontakan, dan perang saudara.

Kekaisaran Romawi pada akhirnya terbagi menjadi Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur. Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada 476 M, sementara Kekaisaran Romawi Timur, yang juga disebut Kekaisaran Bizantin, bertahan sampai dengan jatuhnya Konstantinopel pada 1453 SM.

  • Sidang-sidang suku bangsa Jermanik yang disebut ding atau alþing digambarkan oleh Tacitus dalam karya tulisnya, Germania.
  • Sampai memasuki abad ke-6 M, umat Kristen memilih uskup-uskupnya melalui mufakat khalayak ramai.
  • Collegia pada zaman Romawi, yakni perhimpunan-perhimpunan dalam berbagai bidang seperti kemasyarakatan, ekonomi, agama, upacara pemakaman, dan bahkan di bidang olahraga, menyelenggarakan pemilihan dewan pengurusnya pada setiap tahun, sering kali meniru tatanan senat Roma.

Lembaga-lembaga pada Abad Pertengahan

Þorgnýr lögmaðr mewejangi Raja Swedia, Olof Skötkonung, bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, 1018, Uppsala, karya C. Krogh.

Sebagian besar dari prosedur-prosedur yang digunakan oleh demokrasi-demokrasi modern sudah sangat tua usianya. Hampir semua peradaban pernah dipimpin oleh tokoh-tokoh pemimpin yang disetujui, atau sekurang-kurangnya diterima, oleh rakyat; dan pernah mengubah hukum-hukumnya hanya sesudah terlebih dahulu berunding dengan khalayak ramai atau pemimpin-pemimpinannya. Lembaga-lembaga semacam ini sudah ada sebelum zaman Ilias maupun Odisea, dan demokrasi-demokrasi modern sering kali diturunkan dari, atau terilhami oleh, lembaga-lembaga ini maupun sisa-sisanya.

Meskipun demikian, tidak selamanya turunan langsung dari lembaga-lembaga kuno ini adalah demokrasi. Seringkali justru berupa oligarki terbatas, misalnya di Venesia, atau bahkan berupa monarki mutlak, misalnya di Firenze, pada Abad Pembaharuan; namun pada Abad Pertengahan, demokrasi-demokrasi gilda memang berkembang.

Lembaga-lembaga perdana ini meliputi:

  • Kelanjutan dari ding suku-suku Jermanik kuno:
    • Witenagemot (folkmoot) di Inggris pada Awal Abad Pertengahanan, yakni dewan penasihat raja-raja di kerajaan-kerajaan kecil bangsa Angli-Saksen dan di negara kesatuan Inggris sebelum ditaklukkan oleh bangsa Norman.
    • Adat Märzfeld atau "Padang Mars" (rapat umum tahunan bala tentara Franka) dalam masyarakat Franka.[78]
    • Menurut adat-istiadatnya, masyarakat Portugis, Leon, Kastila, Aragon, Katala, dan Valensia di Semenanjung Iberia secara berkala menggelar cortes (muktamar) guna membahas urusan-urusan negeri mereka.
    • Tynwald, di Isle of Man, merupakan parlemen berkelanjutan tertua di dunia. Parlemen ini pertama kali terbentuk pada 979, meskipun cikal bakalnya sudah ada semenjak akhir abad ke-9. Tynwald juga merupakan tempat pertama yang memberlakukan hal suara universal pada 1893.
    • Althing, parlemen Persemakmuran Islandia, dibentuk pada 930. Parlemen ini mula-mula beranggotakan 39 orang, dan di kemudian hari menjadi 55 orang, goðar; masing-masing adalah pemilik sebuah goðarð; dan masing-masing goði turun-temurun gigih mempertahankan keanggotaannya yang pada prinsipnya boleh disewakan maupun dijual. Sebagai contoh, ketika anak tiri Burnt Njal ingin masuk menjadi anggota Althing, Njal harus bersusah payah membujuk Althing agar bersedia menambah jumlah keanggotaan sehingga tersedia satu kursi kosong untuk ditempati anggota baru. Akan tetapi karena setiap petani merdeka di negeri itu bebas memilih goði mana yang boleh mewakilinya, maka sistem ini dapat diakui sebagai salah satu bentuk awal dari demokrasi. Alþing telah berdiri nyaris tanpa jeda sampai sekarang. Althing didahului oleh lembaga-lembaga yang lebih sederhana, yakni "ding" (sidang), yang terdapat di seluruh kawasan utara Eropa.[79]
    • Ding segenap orang Swedia, yang setiap tahun diselenggarakan di Uppsala pada akhir bulan Februari atau pada awal bulan Maret. Sama seperti di Islandia, sidang ding dipimpin oleh juru bicara hukum, tetapi Raja Swedialah yang bertindak selaku hakim. Salah satu sidang ding yang termasyhur berlangsung sekitar tahun 1018, manakala Raja Olof Skötkonung bersikeras hendak memerangi Norwegia meskipun bertentangan dengan kehendak rakyat. Þorgnýr Sang Juru Bicara Hukum secara panjang lebar memperingatkan Sang Raja dalam pidatonya bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat Swedia, bukan di tangan rajanya. Sang raja akhirnya menyerah setelah mendengar para peserta ding membentur-benturkan pedang pada perisai mereka sebagai tanda setuju pada perkataan Þorgnýr. Adam dari Bremen menulis bahwa lazimnya rakyat hanya taat kepada raja bilamana pandangan-pandangan raja dapat mereka terima, sekalipun raja berkuasa mutlak pada masa perang.
    • Penyelenggaraan Landsgemeinde di Swiss.
  • Pemilihan Usman pada zaman Khulafaur Rasyidin (abad ke-7).
  • Pemilihan Gopala di Kemaharajaan Pala (abad ke-8).
  • Sistem túatha di Irlandia pada Awal Abad Pertengahan. Para tuan tanah dan para empu profesi atau keterampilan menjadi anggota badan musyawarah lokal yang disebut túath. Tiap-tiap túath bersidang setahun sekali untuk menyepakati segala macam kebijakan umum, memaklumkan perang atau perdamaian terhadap tuatha lain, dan menerima "raja" yang baru terpilih; biasanya selagi raja yang lama masih hidup, sebagai tanist (putra mahkota). Raja yang baru sekurang-kurangnya harus masih terhitung sebagai keturunan generasi keempat dari raja sebelumnya, dengan demikian tatanan suksesi semacam ini pada praktiknya merupakan jabatan penguasa turun-temurun; sekalipun jabatan ini pernah beberapa kali beralih ke tangan orang-orang dari garis nasab sepupu raja. Kurang lebih ada 80 sampai 100 túatha di Irlandia dari masa ke masa. Masing-masing túath menguasai beberapa bidang tanah yang saling berdekatan sehingga dapat dilindungi dari aksi penjarahan ternak. Bidang-bidang tanah ini dibagi-bagi kepada para anggotanya.
  • Kaum Ibadi di Oman, golongan minoritas di kalangan umat Muslim yang berbeda dari Sunni maupun Syiah, memiliki tradisi memilih pemimpin melalui penyelenggaran pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota kaum. Tradisi ini bermula pada abad ke-8.[80][81] Kaum Ibadi sejak semula tampil beda karena percaya bahwa pemimpin memerlukan persetujuan dari yang dipimpin.[82] Pemimpin kaum Ibadi merupakan pemimpin dalam urusan agama maupun urusan duniawi.[81]
  • Gilda-gilda pada kurun waktu akhir Abad Pertengahan, baik di bidang ekonomi, kemasyarakatan, maupun keagamaan, memilih pejabat-pejabat dengan masa jabatan satu tahun.
  • Negara-negara kota (republik-republik) di Italia pada Abad Pertengahan, semisal Venesia dan Firenze, serta negara-negara kota serupa di Swiss, Flandria, dan Liga Hansa belum merupakan sistem demokrasi modern melainkan sistem gilda yang demokratis. Kota-kota di Italia pada pertengahan kurun waktu Abad Pertengahan memiliki demokrasi "perang lobi" tanpa sistem penjamin yang sudah terlembagakan (perimabgan kekuasaan yang sudah berkembang sempurna). Pada kurun waktu Akhir Abad Pertengahan dan renaisans, Venesia menjadi negara oligarki, sementara negara-negara kota lainnya menjadi negara-negara "Signoria" (pertuanan). Dalam berbagai bentuknya, negara-negara Akhir Abad Pertengahan ini tidak sedemokratis negara-negara kora Yunani kuno yang dipengaruhi Athena, tetapi menjadi pusat-pusat penyebaran demokrasi modern perdana.
  • Veche, Wiec – rapat umum di negara-negara Slavia. Di Polandia, wiece dikembangkan menjadi Sejm (parlemen Polandia) pada tahun 1182. Veche merupakan lembaga legislatif dan yudikatif tertinggi di Republik Novgorod sampai tahun 1478, dan di Republik Pskov sampai tahun 1510.
  • Sistem elizate di Negeri Baski, di mana para pemilik lahan usaha tani di daerah-daerah pedesaan, yang terkait dengan gereja tertentu, bersidang untuk menuntaskan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat, dan untuk memilih wakil-wakil mereka yang akan diutus menghadiri sidang Batzar Nagusiak/Juntos Generales di tingkat provinsi.[83]
  • Munculnya parlemen-parlemen demokratis di Inggris dan Skotlandia: Magna Carta (1215) membatasi kewenangan pemegang kedaulatan; parlemen perwakilan yang pertama (1265).[84][85] Magna Carta secara implisit mendukung apa yang di kemudian hari menjadi habeas corpus Inggris, yang melindungi kebebasan individu dari tindakan pemenjaraan secara tidak sah disertai hak untuk mengajukan banding. Kemunculan pengajuan petisi pada abad ke-13 adalah sebagian dari bukti-bukti tertua yang menunjukkan bahwa parlemen ini difungsikan sebagai sebuah forum untuk menanggapi keluhan-keluhan rakyat jelata.

Masyarakat pribumi Amerika

Sejarawan Jack Weatherford pernah mengemukakan bahwa gagasan-gagasan yang bermuara pada Konstitusi Amerika Serikat dan demokrasi bersumber dari berbagai macam suku bangsa pribumi Amerika, antara lain suku Iroquois. Weatherford mengklaim bahwa demokrasi ini terbentuk antara tahun 1000–1450, kemudian berjalan selama beberapa ratus tahun, dan bahwasanya sistem demokrasi Amerika Serikat terus-menerus berubah dan diperbaiki dengan pengaruh dari masyarakat pribumi Amerika di seluruh Amerika Utara.[86]

Elizabeth Tooker, profesor antropologi Temple University yang juga seorang pakar budaya dan sejarah Iroquois Utara, telah meninjau kembali pernyataan-pernyataan ini dan menyimpulkan bahwa semuanya lebih bersifat mitos ketimbang fakta. Gagasan bahwa orang-orang Indian Amerika Utara memiliki budaya demokratis sudah berabad-abad umurnya, tetapi lazimnya diungkapkan dalam lingkup sastra sejarah. Keterkaitan antara Liga Iroquois dan Konstitusi Amerika Serikat didasarkan pada sebagian dari isi sepucuk surat yang ditulis oleh Benjamin Franklin dan isi pidato yang disampaikan oleh kepala suku Iroquois, Canasatego, pada tahun 1744. Elizabeth Tooker menyimpulkan bahwa dokumen-dokumen ini hanya mengindikasikan bahwa segolongan masyarakat Iroquois dan kaum pendatang kulit putih menyadari manfaat-manfaat konfederasi, dan pada akhirnya hanya ada sedikit saja bukti yang mendukung gagasan bahwa kaum pendatang kulit putih pada abad ke-18 benar-benar paham tentang sistem pemerintahan Iroquois.[87]

Sedikit bukti yang berkaitan dengan sistem ini menunjukkan bahwa para pemimpin dari suku-suku yang berbeda diizinkan mengutus perwakilannya untuk menghadiri sidang Liga Iroquois, dan hak untuk mewakili suku ini diwariskan turun-temurun. Sidang itu sendiri tidak mempraktikkan pemerintahan perwakilan, dan tidak pernah menggelar pemilihan; penganti kepala suku yang sudah wafat dipilih oleh perempuan tertua dari garis nasab pemimpin turun-temurun setelah berunding bersama perempuan-perempuan lain dalam puaknya. Pengambilan keputusan dilakukan sesudah melewati diskusi panjang, dan keputusannya merupakan kesepakatan bersama seluruh hadirin, sementara pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas bersama-sama diajukan oleh satu suku saja. Elizabeth Tooker menyimpulkan bahwa, "...nyaris tidak ada bukti para pendiri bangsa meminjam gagasan ini dari masyarakat Iroquois" dan mitos yang mengatakan demikian hanyalah hasil dari tindakan melebih-lebihkan dan kesalahpaman terhadap sebuah pernyataan yang dicetuskan oleh ahli bahasa dan penulis etnografi Iroquois, J.N.B. Hewitt, sesudah kematiannya pada tahun 1937.[87]

Bangsa Aztek juga mempraktikkan pemilihan umum, namun para pejabat yang terpilih melalui pemilihan umum ini hanya berwenang memilih seorang juru bicara tertinggi, bukan memilih seorang penguasa.[86]

Munculnya demokrasi dalam pemerintahan nasional modern

Tonggak-tonggak sejarah pada Awal Zaman Modern

Pemilihan Raja August II di Wola, luar kota Warsawa, negara Persemakmuran Polandia-Lituania, pada 1697. Lukisan karya Bernardo Bellotto.

Tonggak-tonggak sejarah abad ke-18 dan ke-19

Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara disetujui oleh Sidang Kebangsaan Prancis, 26 Agustus 1789.
  • 1707: Parlemen Britania Raya yang pertama dibentuk selepas penggabungan Kerajaan Inggris dan Kerajaan Skotlandia dengan Undang-Undang Persatuan 1707. Sejak sekitar 1721–1742, Robert Walpole, yang dianggap sebagai perdana menteri Britania Raya yang pertama, memimpin rapat-rapat kabinet, mengangkat semua menteri lain, dan mengembangkan doktrin solidaritas kabinet.[94][95]
  • 1755: Republik Korsika dipimpin oleh Pasquale Paoli dengan Konstitusi Bangsa Korsika
  • Mulai dari akhir era 1770-an: Konstitusi-konstitusi dan berbagai undang-undang baru secara terang-terangan menjabarkan dan membatasi kewenangan dari pihak-pihak yang berkewenangan. Banyak di antara konstitusi dan undang-undang baru ini didasarkan pada Undang-Undang Hak Warga Negara Inggris tahun 1689. Sejarawan Norman Davies menyebut Konstitusi Persemakmuran Polandia Lituania tahun 1791 sebagai "konstitusi yang pertama di antara konstitusi-konstitusi sejenisnya di Eropa".[96]
  • Amerika Serikat: Para Bapak Pendiri Negara Amerika Serikat menolak definisi 'demokrasi' menurut pemahaman bangsa Yunani, dan justru lebih condong pada 'semacam aristokrasi alamiah', di mana hanya para pemilik tanah yang berhak mendapatkan kursi di majelis kongres.[97][98][99][100][101] Sebagaimana bangsa Inggris, orang-orang Amerika meniru bentuk pemerintahan Republik Romawi, di mana hanya kaum ningrat yang terlibat dalam pemerintahan negara.[102][103][104]
    • 1776: Deklarasi Hak-Hak Warga Negara di Virginia
    • Konstitusi Amerika Serikat diratifikasi pada tahun 1788. Konstitusi ini menjadi dasar pembentukan badan legislatif bikameral, yang terdiri atas Dewan Perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat di beberapa negara bagian, dan Dewan Senat yang anggota-anggotanya dipilih oleh badan legislatif negara bagian. Konstitusi ini mula-mula tidak mengatur tentang siapa saja yang memiliki hak suara, sehingga keputusan terkait perkara ini terpulang pada negara-negara bagian, yang sebagian besar menetapkan bahwa hanya tuan tanah laki-laki dewasa berkulit putih saja yang memiliki hak suara.[105]
    • 1791: Undang-Undang Hak Warga Negara Amerika Serikat diratifikasi
    • 1790-an: Sistem Partai Pertama diberlakukan di Amerika Serikat. Sistem ini meliputi pembentukan partai-partai politik berakar lokal di Amerika Serikat; jaringan surat kabar partai; teknik-teknik kampanye blusukan yang baru; pemanfaatan kaukus untuk menentukan kandidat; nama-nama partai yang tetap; kesetiaan terhadap partai; platform partai (Jefferson 1799);
    • 1800: Transisi damai antarpartai
  • 1780-an: Tumbuhnya gerakan-gerakan sosial yang menyebut dirinya 'demokrasi': Pertentangan politik antara 'kaum aristokrat' dan 'kaum demokrat' di negara-negara Beneluks mengubah makna semi-negatif dari kata 'demokrasi' di Eropa, yang sampai dengan saat itu dianggap sinonim dengan anarki, menjadi makna yang lebih positif, yakni sebagai lawan dari 'aristokrasi'.
  • 1789–1799: Revolusi Prancis
    • Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara yang diadopsi pada tanggal 26 Agustus 1789, menyatakan bahwa "manusia terlahir dan untuk selamanya merdeka serta setara dalam hak" dan mempermaklumkan hakikat kesejagatan dari hak-hak manusia.
    • Hak pilih universal bagi laki-laki ditetapkan dalam rangka pemilihan anggota Konvensi Nasional pada bulan September 1792, tetapi dicabut lagi oleh Direktorat Prancis pada tahun 1795.
    • Perbudakan dihapuskan di negeri-negeri jajahan Prancis oleh Konvensi Nasional pada tanggal 4 Februari 1794, dengan menyetarakan orang-orang kulit hitam dengan orang-orang kulit putih ("semua manusia, tanpa pandang warna kulit, yang berdiam di negeri-negeri jajahan adalah warga negara Prancis, dan memiliki semua hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi").[106] Perbudakan dimunculkan kembali oleh Napoleon pada tahun 1802.
Penetapan Hak pilih universal bagi laki-laki di Prancis pada tahun 1848 adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah demokrasi.
  • 1791: Revolusi Haiti, revolusi budak belian yang berhasil mengalahkan kaum majikan dan membentuk sebuah negara republik yang merdeka.
  • Kerajaan Inggris Raya
    • 1807: Undang-Undang Perdagangan Budak melarang kegiatan perdagangan budak di seluruh wilayah Imperium Britania. Setelah undang-undang ini diberlakukan, Kerajaan Inggris Raya melaksanakan aksi Blokade Afrika dan penerapan perjanjian-perjanjian internasional untuk memberantas perdagangan budak yang dilakukan negara-negara asing.
    • 1832: Diloloskannya Undang-Undang Pembaharuan, yang memberi lebih banyak kursi bagi wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah perkotaan yang sebelumnya sedikit sekali terwakili di Parlemen Kerajaan Inggris Raya, dan memberi hak suara bagi lebih banyak lapisan masyarakat.
    • 1833: Undang-Undang Penghapusan Perbudakan disahkan, dan diberlakukan di seluruh wilayah Imperium Britania mulai tanggal 1 Agustus 1834
  • 1820: Cortes Gerais pertama kali terbentuk di Portugal berdasarkan Piagam Konstitusi
  • 1835: Serbia menghasilkan konstitusi modernnya yang pertama
  • 1848: Hak suara universal untuk kaum pria dipulihkan di Prancis pada bulan Maret 1848, menjelang meletusnya Revolusi Prancis 1848.[107]
  • 1848: Revolusi 1848 meletus menyusul revolusi yang terjadi di Prancis. Meskipun sering kali dipadamkan dengan kekerasan, Revolusi 1848 menghasilkan konstitusi demokratis di sejumlah negara Eropa lainnya, antara lain Denmark dan Belanda.
  • 1850-an: Pengenalan pemungutan suara secara rahasia di Australia. Sitem ini baru diperkenalkan di Britania Raya pada tahun 1872, dan di Amerika Serikat pada tahun 1892.
  • 1853: Warga Afrika berkulit gelap diberi hak suara untuk pertama kalinya di Afrika Selatan, yakni di Provinsi Cape yang dikuasai oleh warga keturunan Inggris.
  • 1856: Syarat-syarat yang membatasi hak suara bagi warga negara yang memiliki properti saja dihapuskan di seluruh negara bagian Amerika Serikat, sehingga hampir seluruh pria dewasa kulit putih diberi hak suara. Meskipun demikian, syarat-syarat yang membatasi hak suara bagi warga negara yang membayar pajak saja tetap dipertahankan di lima negara bagian sampai tahun 1860, dan di dua negara bagian sampai abad ke-20.[108]
  • 1870: Amendemen ke-15 atas Konstitusi Amerika Serikat, melarang diskriminasi hak suara berdasarkan ras, warna kulit, atau pernah tidaknya seseorang menjadi budak belian.
  • 1878-1880: Kampanye Midlothian diselenggarakan oleh William Ewart Gladstone di Britania Raya dan menjadi cikal bakal kampanye politik modern.[109][110]
  • 1893: Selandia Baru menjadi negara pertama yang memberlakukan hak suara universal dengan memberi hak suara kepada kaum perempuan (hak suara universal bagi kaum lelaki sudah diberlakukan sejak tahun 1879).
  • 1905: Revolusi Konstitusional Persia, sistem parlementer pertama di Timur Tengah.

Pemungutan suara secara rahasia

Lembaran kertas suara yang pernah digunakan di Inggris, 1880

Pemungutan suara secara rahasia, yang menjamin hak pemilih untuk merahasiakan pilihannya, dirasakan sebagai hal yang lumrah sekarang ini hanya karena dianggap sudah sepatutnya demikian. Meskipun demikian, praktik pemungutan suara semacam ini sangat kontroversial pada abad ke-19, karena menurut pandangan umum kala itu, orang tidak akan merahasiakan pilihannya kecuali jika merasa malu akan pilihannya itu.

Dua sistem tertua yang pernah digunakan adalah metode Victoria dan metode Australia Selatan. Kedua-duanya diperkenalkan pada tahun 1856 kepada para pemilih di Victoria dan Australia Selatan. Dalam metode Victoria, pemilih menyilang semua calon pada kertas suara selain calon pilihannya. Metode Australia Selatan lebih mirip dengan sistem kini diterapkan oleh sebagaian besar negara demokrasi, yakni pemilih menandai kotak calon pilihannya pada kertas suara. Metode Victoria juga tidak sepenuhnya rahasia, karena masih dapat ditelusuri melalui angka khusus.

Menurut keterangan yang terpahat pada prasasti batu di sebuah kuil, pemilihan dengan cara pemungutan suara pernah diselenggarakan di India Selatan dengan menggunakan sebuah metode yang disebut sistem Kudavolai. Kudavolai berarti lembaran daun yang dimasukkan secara rahasia ke dalam sebuah bejana gerabah yang disebut "kudam". Perincian pelaksanaannya terpahat pada dinding balai musyawarah desa. Balai yang dulunya digunakan sebagai tempat warga desa bermusyawarah ini sekarang telah menjadi bangunan kuil. Perincian pelaksanaan ini menunjukkan bahwa desa yang bersangkutan pernah memiliki sistem pemilihan dengan pemungutan suara secara rahasia dan sebuah konstitusi tertulis yang memuat tata cara pelaksanaannya.

Gelombang-gelombang demokrasi pada abad ke-20

Ketiga gelombang demokrasi abad ke-20, berdasarkan jumlah negara 1800–2003 yang mencapai angka 8 ke atas pada skala Polity IV, salah satu tolok ukur demokrasi yang banyak dipergunakan.

Perang Dunia I berakhir dengan kemenangan sementara bagi demokrasi di Eropa, karena demokrasi masih lestari di Prancis dan sempat pula meluas sampai ke Jerman. Pada 1906, hak-hak demokratis modern yang seutuhnya, yakni hak suara universal bagi seluruh warga negara diimplementasikan secara konstitusional di Finlandia, demikian pula perwakilan proporsional dengan sistem daftar terbuka. Revolusi Februari di Rusia pada 1917 juga menjadi awal dari demokrasi liberal yang bertahan selama beberapa bulan di bawah pimpinan Aleksander Kerensky sampai Lenin mengambil alih pemerintahan Rusia pada bulan Oktober. Depresi besar-besaran, yang berdampak sangat buruk terhadap perekonomian, menghantam keras kekuatan-kekuatan demokrasi di banyak negara. Era 1930-an menjadi kurun waktu merajalelanya para diktator di Eropa dan Amerika Latin.

Undang-Undang Kewarganegaraan Orang Indian tahun 1924 mengatur tentang pemberian hak kewarganegaraan Amerika Serikat yang sepenuhnya kepada masyarakat pribumi Amerika yang disebut "orang Indian" dalam undang-undang ini (Amendemen Keempat Belas menjamin hak kewarganegaraan bagi orang-orang yang lahir di Amerika Serikat, namun hanya jika yang bersangkutan "terikat pada yurisdiksi Amerika Serikat"; klausa ini mengecualikan masyarakat pribumi Amerika). Undang-undang ini disahkan menjadi hukum dengan ditandatangani oleh Presiden Calvin Coolidge, pada 2 Juni 1924. Undang-undang ini juga mengatur tentang pemberian hak suara kepada orang-orang yang berdiam di dalam lingkup wilayah Amerika Serikat.

Pasca-Perang Dunia II

Perang Dunia II pada akhirnya menjadi kemenangan bagi demokrasi di kawasan barat Eropa, tempat negara-negara membentuk pemerintahan perwakilan yang mencerminkan kehendak umum dari warganya. Meskipun demikian, banyak negara di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa menjadi negara-negara satelit Uni Soviet yang tidak demokratis. Di kawasan selatan Eropa, sejumlah kediktatoran otoriter berhaluan kanan (terutama di Spanyol dan Portugal) terus bertahan.

  • MaxRange data telah mendefinisikan dan mengategorikan tingkatan jenis demokrasi dan rezim politik untuk seluruh negara setiap bulan mulai tahun 1789 sampai sekarang dan masih terus dimutakhirkan. MaxRange memperlihatkan suatu ekspansi demokrasi yang dramatis, teristimewa sejak 1989. Gelombang demokrasi ketiga telah berlangsung dengan sukses dan melanda sebagian besar kawasan yang dulunya merupakan kawasan otokratis. MaxRange dapat memperlihatkan perincian kolerasi antara keberhasilan demokrasi dan banyak variabel yang relevan, misalnya riwayat demokrasi sebelumnya, tahap peralihan, dan pemilihan sistem politik kelembagaan. Meskipun jumlah negara demokratis terus bertambah semenjak 2006, demokrasi elektoral yang lebih lemah juga telah meningkat secara signifikan. Inilah faktor penyebab utama di balik demokrasi-demokrasi yang rapuh.[111]

Jepang bergerak menuju demokrasi pada Zaman Taishō yang berlangsung pada era 1920-an, namun secara efektif dikendalikan oleh rezim militer pada tahun-tahun menjelang dan selama Perang Dunia II. Jepang mengadopsi sebuah konstitusi baru pada masa pendudukan pascaperang oleh tentara Sekutu, dan pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum pada 1946.

Dekolonisasi dan gerakan hak sipil

Perang Dunia II juga menyemai benih-benih demokrasi di luar Eropa dan Jepang, karena perang besar ini telah melemahkan semua kekuatan kolonial lama dan memperkuat sentimen antipenjajahan di seluruh dunia, kecuali di Uni Soviet dan Amerika Serikat. Banyak koloni/tanah jajahan yang resah dijanjikan kemerdekaan sebagai ganti dukungan mereka dalam perang melawan kekuatan-kekuatan kolonial selama berlangsungnya Perang Dunia II.

Kesudahan Perang Dunia II juga berdampak pada keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memecah wilayah Mandat Inggris menjadi dua negara, satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Pada 14 Mei 1948, negara Israel memaklumkan kemerdekaannya, dan dengan demikian lahirlah negara demokrasi penuh yang pertama di Timur Tengah. Israel adalah negara demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer dan hak suara universal.[112][113]

India menjadi negara republik demokratis pada 1950 setelah mendapatkan kemerdekaan dari Britania Raya pada 1947. Setelah menyelenggarakan pemilihan umum nasional pertamanya pada 1952, India mencapai status sebagai negara demokrasi liberal terbesar di dunia dengan hak suara universal. Status ini masih dipegang India sampai sekarang. Sejumlah besar wilayah jajahan Britania dan Prancis merdeka pada 1965, dan sekurang-kurangnya pada awal kemerdekaannya bersifat demokratis; negara-negara bekas jajahan Imperium Britania sering kali mengadopsi sistem parlementer Westminster.[114] Proses dekolonisasi menimbulkan banyak pergolakan politik di Afrika dan berbagai negara di Asia. Beberapa negara di antaranya mengalami perubahan-perubahan mendadak menuju maupun meninggalkan bentuk pemerintahan demokratis atau bentuk-bentuk pemerintahan lainnya.

Di Amerika Serikat, Undang-Undang Hak Suara 1965 dan Undang-Undang Hak Sipil memperkukuh Amendemen ke-15. Amendemen ke-24 mengakhiri pemungutan pajak per kapita dengan menghapus segala macam pajak yang berkenaan dengan hak suara, yang kala itu merupakan salah satu teknik yang lazim digunakan untuk membatasi hak suara warga Afrika Amerika. Undang-Undang Hak Suara juga memberikan hak suara bagi seluruh warga pribumi Amerika tanpa membedakan negara bagian tempat tinggalnya. Batas umur pemilih terendah diturunkan menjadi 18 tahun melalui Amendemen ke-26 pada 1971.

Pascaperang Dingin

Gelombang-gelombang baru demokrasi menyapu kawasan selatan Eropa pada era 1970-an, manakala sejumlah rezim diktator nasionalis ditumbangkan. Selanjutnya pada akhir era 1980-an di kawasan tengah dan timur Eropa, negara-negara komunis di dalam mandala pengaruh Uni Soviet juga berubah menjadi negara-negara demokrasi liberal.

Banyak negara Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Timur, dan Asia Tenggara, serta sejumlah negara Arab, Asia Tengah, Afrika, dan Otoritas Palestina yang belum bernegara bergerak menuju demokrasi yang lebih liberal pada era 1990-an dan 2000-an.

Negara-negara yang ditonjolkan dengan warna biru digolongkan sebagai negara "demokrasi elektoral" dalam laporan survei "Freedom in the World" (kebebasan di dunia) tahun 2017 yang disusun oleh lembaga Freedom House, berisi data tahun 2016.[115]

Salah satu hasil kajian dari lembaga Freedom House yang didanai oleh Pemerintah Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak ada satu pun demokrasi liberal di dunia pada 1900 dengan hak suara universal, namun pada 2000, 120 dari 192 negara yang ada, atau 62% negara di dunia sudah memberlakukannya. Menurut hasil kajian lembaga ini, ada 25 negara, atau 13% negara di dunia dengan "praktik demokrasi terbatas" pada 1900, dan sekarang ini tinggal 16 negara, atau 8% negara di dunia yang masih memberlakukannya. Pada 1900, ada 19 monarki konstitusional, yakni 14% negara di dunia, dengan konstitusi yang membatasi kekuasaan kepala monarki serta mengalihkan sejumlah kewenangan kepada dewan legislatif terpilih, dan sekarang ini tidak ada lagi negara yang demikian. Di antara negara-negara selebihnya, ada yang pernah dan ada pula yang masih memiliki pemerintahan yang tidak demokratis dalam berbagai bentuknya.[116] Meskipun kajian tentang negara-negara tertentu masih dapat diperdebatkan (misalnya, Selandia Baru memberlakukan hak suara universal pada 1893, namun tidak diperhitungkan sebagai negara yang memberlakukannya karena ketiadaan hak berdaulat penuh dan adanya batasan-batasan tertentu atas hak suara orang Māori), jumlah-jumlah dalam hasil kajian ini menunjukkan perluasan demokrasi pada abad ke-20.

Demokrasi pada abad ke-21

Pada abad ke-21, gerakan-gerakan demokrasi marak terjadi di berbagai belahan dunia. Di dunia Arab, serangkaian aksi protes besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya dilakukan oleh khalayak ramai di negara Mesir, Tunisia, Bahrain, Yaman, Yordania, Suriah, dan negara-negara lain di seluruh kawasan MENA (Middle East and North Africa, Timur Tengah dan Afrika Utara), guna menuntut hak-hak berdemokrasi. Gelombang revolusi ini diistilahkan dengan sebutan Efek Tunisia dan juga Musim Semi Arab. Otoritas Palestina juga mengambil tindakan sehubungan dengan permasalahan hak-hak berdemokrasi.

Di Iran, seusai pemilihan presiden yang bermasalah karena melibatkan korupsi, rakyat Iran menggelar serangkaian aksi protes secara besar-besaran untuk menuntut dilakukannya perubahan dan diberi hak-hak berdemokrasi (lihat aksi protes terhadap hasil pemilihan umum Iran 2009–2010 dan Aksi protes rakyat Iran 2011). Aksi invasi atas Irak yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada 2003 bermuara pada penggulingan Saddam Hussein dan pembentukan sebuah konstitusi baru yang menjamin terselenggaranya pemilihan umum secara bebas dan terbuka.

Di Asia, negara Birma (atau Myanmar) sejak lama diperintah oleh junta militer; akan tetapi pada 2011, pemerintah mengubah sikapnya dengan mengizinkan hak-hak untuk melakukan pemungutan suara tertentu dan membebaskan pemimpin demokrasi, Aung San Suu Kyi, dari tahanan rumah. Meskipun demikian, Birma belum juga mengizinkan Suu Kyi untuk ikut serta dalam pemilihan dan masih menanggung permasalahan-permasalahan besar di bidang hak asasi manusia serta belum mengizinkan hak-hak demokratis penuh. Pada bulan Desember 2005, Raja Bhutan ke-4, Jigme Singye Wangchuck, mengumumkan bahwa pemilihan umum pertama di negara itu akan diselenggarakan pada tahun 2008, dan bahwasanya ia akan turun takhta demi memberikan kesempatan kepada putra sulungnya untuk memerintah negara. Kini Bhutan sedang mengalami perubahan-perubahan lebih lanjut menuju terwujudnya suatu monarki konstitusional. Di Maladewa, aksi-aksi protes dan tekanan politik mendorong negara itu melakukan reformasi pemerintahan yang menjamin hak-hak demokrasi dan memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan pemilihan presiden pada 2008.

Meskipun demikian, tidak semua perkembangan mutakhir berpihak pada demokrasi. Di Polandia dan Hungaria justru muncul 'demokrasi iliberal'. Menurut pandangan Uni Eropa dan masyarakat sipil, partai-partai politik yang menguasai pemerintahan di kedua negara ini berusaha menggerogoti dasar-dasar pemerintahan yang demokratis. Selain itu di Eropa, pemerintah Spanyol menolak penyelenggaraan pemungutan suara demokratis sehubungan dengan masa depan Katalunya. Keputusan ini menimbulkan guncangan stabilitas di kawasan Katalunya selama berbulan-bulan. Sementara itu di Muangthai, junta militer sudah dua kali menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis dan telah mengubah konstitusi negara demi memperbesar kekuasaannya sendiri. Di berbagai pelosok dunia seperti Tiongkok, Rusia, Asia Tengah, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan sebagian besar Afrika, pemerintahan otoriter justru semakin kuat, bukannya melemah.

Perkembangan mutakhir

Di bawah pengaruh teori demokrasi deliberatif, muncul sejumlah eksperimen semenjak awal milenium baru yang disebut fora deliberatif, yakni ruang-ruang (dalam kehidupan nyata atau dunia maya) yang diciptakan bagi rakyat dan wakil-wakil mereka untuk bersidang dan saling bertukar pikiran. Salah satu jenis forum deliberatif ini disebut minpublik, yakni suatu badan beranggotakan warga negara yang dipilih secara acak atau dipilah secara aktif untuk mewakili keseluruhan warga. Penggunaan cara pemilihan secara acak untuk membentuk sebuah badan perwakilan yang deliberatif disebut sortisi, contohnya adalah muktamar warga dan mahkamah warga. Muktamar-muktamar warga telah digunakan di Kanada (2004, 2006) dan Belanda (2006) untuk memperdebatkan reformasi pemilihan umum, dan di Islandia (2009 dan 2010) untuk membicarakan perubahan konstitusi yang lebih luas lagi.

Lihat pula

Dokumen-dokumen dan tonggak-tonggak sejarah penting

Tokoh-tokoh penting dalam sejarah demokrasi

Keterangan

^ i:  Khazanah pustaka terkait demokrasi Athena berisi karya-karya tulis yang muncul dalam rentang waktu berabad-abad lamanya. Karya-karya tulis perdana yang dihasilkan adalah Politeia karya Plato dan Politika karya Aristoteles, berlanjut dengan Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio karya Niccolò Machiavelli. Karya-karya tulis termutakhir, tercantum pada bagian Rujukan, meliputi karya-karya tulis yang dihasilkan oleh para pakar seperti J. Dunn, J. Ober, T. Buckley, J. Thorley, dan E. W. Robinson, yang menelaah asal mula dan alasan-alasan mengapa Athena adalah tempat pertama[22][48][62][117][118][119] yang mengembangkan suatu sistem pemerintahan canggih yang kini disebut demokrasi. Meskipun memiliki berbagai cacat (perbudakan, ketiadaan hak perempuan), bentuk pemerintahan Athena kerap dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling dekat dengan demokrasi ideal dan disebut sebagai demokrasi klasik. Demokrasi Athena sering kali dibandingkan dengan demokrasi-demokrasi (perwakilan) modern.[120][121]
^ ii:  Bangsa Yunani kuno tidak memiliki kata untuk "hak".[122]
^ iii:  Amerika Serikat dulu dan kini adalah sebuah republik, bukan sebuah demokrasi langsung. Demokrasi langsung dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana rakyat memutuskan perkara-perkara secara langsung, contoh terbaik dari demokrasi langsung adalah demokrasi Athena. Republik demokratis adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan suatu badan warga negara yang memiliki hak suara dan diselenggarakan oleh pejabat-pejabat dan wakil-wakil terpilih yang bertanggung jawab kepada badan warga negara tersebut dan menyelenggarakan pemerintahan menurut hukum. Para utusan yang menyusun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat merasa khawatir dengan sistem demokrasi langsung; sebagaimana yang diungkapkan oleh James Madison: "Demokrasi senantiasa menjadi pergelaran kericuhan dan perbantahan: senantiasa tidak dapat dirukunkan dengan keamanan pribadi atau hak-hak properti: dan pada umumnya senantiasa berumur pendek dan berakhir dengan kekerasan."[123] Meskipun demikian, para perancang Undang-Undang Dasar Amerika Serikat mengakui bahwa rakyat wajib menerapkan pengawasan terhadap pemerintah; sebagaimana yang diungkapkan oleh James Madison: "yang bergantung pada rakyat, tak dapat dinafikan lagi, adalah kendali utama atas pemerintah".[124]

Akan tetapi dalam makna populernya, kata "demokrasi" diartikan sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana pemerintah mendapatkan kekuasaannya dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat atas penggunaan kekuasaan tersebut. Dalam lingkup pemahaman ini, Amerika Serikat dapat disebut sebagai sebuah republik demokratis. Banyak negara yang memperbolehkan persoalan-persoalan kebijakan diputuskan secara langsung oleh rakyat dengan cara memberikan suaranya dalam inisiatif-inisiatif pemungutan suara atau referendum-referendum (inisiatif berasal dari atau digagas oleh rakyat, sementara referendum berasal dari atau diajukan kepada rakyat oleh suatu badan legislatif negara).

Catatan kaki

  1. ^ http://eprints.uad.ac.id/9437/1/DEMOKRASI%20dwi.pdf
  2. ^ "democracy, n". OED Online. Oxford University Press. Diakses tanggal 28 November 2014. 
  3. ^ Morris I. The Measure Of Civilization: How Social Development Decides The Fate Of Nations [buku elektronik]. Princeton: Princeton University Press; 2013. Tersedia di: eBook Academic Collection (EBSCOhost), Ipswich, MA. Diakses 18 Mei 2017.
  4. ^ a b Olson, M. (1993). Dictatorship, Democracy, and Development. American Political Science Review, 87(03), 567-576.
  5. ^ Sistem Politik Encyclopædia Britannica Daring
  6. ^ a b Demokrasi Encyclopædia Britannica Daring
  7. ^ Robinson, 1997, hlmn. 16–17
  8. ^ Jacobsen, 1943, hlmn. 159–172
  9. ^ Isakhan, B. (2007). Engaging "Primitive Democracy," Mideast Roots of Collective Governance. Middle East Policy, 14(3), 97–117.
  10. ^ Bailkey, 1967, hlmn. 1211–1236
  11. ^ Robinson, 1997, hlm. 20
  12. ^ Diodoros 2.39
  13. ^ Larsen, 1973, hlmn. 45–46
  14. ^ de Sainte, 2006, hlmn. 321–3
  15. ^ Robinson, 1997, hlm. 22
  16. ^ Robinson, 1997, hlm. 23
  17. ^ a b Bongard-Levin, 1996, hlmn. 61–106
  18. ^ a b Sharma 1968, hlmn. 109–22
  19. ^ Trautmann T. R., Kautilya and the Arthra' shastra, Leiden 1971
  20. ^ Ostwald 2000, hlmn. 21–25
  21. ^ Cartledge 2001, hlm. xii, 276
  22. ^ a b Dunn, 1994, hlm. 2
  23. ^ Plato, Laws, 712e-d
  24. ^ a b Aristoteles, Politiká, 1294b
  25. ^ Pomeroy, 1999, hlmn. 149–153
  26. ^ Buckley, 1996, hlm. 76
  27. ^ Rhodes 1981, hlmn. 498–502
  28. ^ Likorgos Encyclopædia Britannica Daring
  29. ^ Raaflaub 2007, hlm. 37
  30. ^ Buckley, 1996, hlmn. 65–85
  31. ^ Pomeroy, 1999, hlm. 143
  32. ^ Pomeroy, 1999, hlm. 152
  33. ^ Raaflaub 2007, hlmn. 40–1
  34. ^ Pomeroy, 1999, hlmn. 159–164
  35. ^ Raaflaud, 2007, hlm. 50
  36. ^ Raaflaud, 2007, hlm. 51
  37. ^ Pomeroy, 1999, hlmn. 164–5
  38. ^ a b c Solon, Encyclopædia Britannica Daring
  39. ^ Robinson, 2003, hlmn. 54–55, 76–98
  40. ^ Raaflaud, 2007, hlmn. 60–68
  41. ^ Robinson, 2003, hlm. 76
  42. ^ Raaflaud, 2007, hlmn. 67–72
  43. ^ Peisistratos Encyclopædia Britannica Daring
  44. ^ a b Kleistenes dari Athena Encyclopædia Britannica Daring
  45. ^ Buckley, 1996, hlmn. 138–140
  46. ^ Raaflaud, 2007, hlm. 77
  47. ^ Raaflaud, 2007 hlmn. 144–149
  48. ^ a b c d Clarke, 2001, hlmn. 194–201
  49. ^ Ober, 2008, hlm. 63
  50. ^ Raaflaub, 2008, hlm. 140
  51. ^ Tukidides, Sejarah Perang Peloponesos, 2.37.2–3
  52. ^ M. H. Hansen, J. A. Crook, The Athenian democracy in the age of Demosthenes, University of Oklahoma Press, 1999, ISBN 0-8061-3143-8, Tautan Google Books
  53. ^ L. Carson, B. Martin, Random Selection in Politics, Greenwood Publishing Group, 1999, ISBN 0-275-96702-6, Google Books link
  54. ^ kecuali Boule of 500; warga miskin boleh menolak jabatan sebagai anggota Boule jika terpilih.
  55. ^ Boule (Muktamar Yunani Kuno) Encyclopædia Britannica Daring
  56. ^ Powell, 2001, hlmn. 300–304
  57. ^ Raafaub, 2007, hlm. 5
  58. ^ Hall, Peter (1999). Cities in Civilisation. London: Orion. hlm. 24. ISBN 9780753808153. 
  59. ^ Aristoteles, Politiká.1317b (Book 6, Part II)
  60. ^ Plato, Politeia
  61. ^ Aristoteles, Politiká
  62. ^ a b Catatan-catatan seminar oleh Prof. Paul Cartledge di Universitas Cambridge, The Socratics' Sparta And Rousseau's Diarsipkan 28 June 2006 di Wayback Machine. Institut Penelitian Sejarah (Institute of Historical Research)
  63. ^ Hansen, (1992), hlmn. 14–30
  64. ^ Ober, 1996, hlmn. 15–6
  65. ^ Watson, 2005, hlm. 285
  66. ^ Livy, 2002, hlm. 34
  67. ^ Watson, 2005, hlm. 271
  68. ^ a b Livy, 2002, hlm. 23
  69. ^ a b Durant, 1942, hlm. 23
  70. ^ Pandangan ini sudah sangat tua umurnya manakala Polibius membawanya ke Roma untuk dipergunakan (Walbank 2002: 281).
  71. ^ Balot, 2009, hlm. 194
  72. ^ a b c d Balot, 2009, hlm. 216
  73. ^ a b Liv 1.43.11
  74. ^ Dion. Ant. Rom. 4.20.5
  75. ^ Polyb. 6.51
  76. ^ Balot, 2009, hlmn. 164–165
  77. ^ Balot, 2009, hlm. 176
  78. ^ Gibbon The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, bab XLIX, LII; hlmn. 1685,1857 edisi Heritage Club (1946). Untuk pandangan mutakhir, lihat David Nicolle; Carolingian cavalryman, AD 768–987, hlm. 45 ff. Sumber-sumber menengah cenderung diwarnai meme "lembaga-lembaga bebas dari para leluhur Jermanik kita".
  79. ^ Burnt Njal's Saga, Magnus Magnusson (penerjemah), prakata.
  80. ^ JRC Carter, Tribes in Oman, hlm. 103. London: Peninsular Publishers, 1982. ISBN 0907151027
  81. ^ a b A Country Study: Oman, bab 6 Oman – Government and Politics, bagian: Historical Patterns of Governance. Perpustakaan Kongres Amerika Serikat, 1993. Diakses 2006-10-28
  82. ^ Donald Hawley, Oman, hlm. 201. Edisi Yubileum. Kensington: Stacey International, 1995. ISBN 0905743636
  83. ^ Kasper, M. Baskische Geschichte Primus: 1997
  84. ^ "Origins and growth of Parliament". The National Archives. Diakses tanggal 2013-11-17. 
  85. ^ "Citizen or Subject?". The National Archives. Diakses tanggal 2013-11-17. 
  86. ^ a b Weatherford, J. McIver (1988). Indian givers: how the Indians of the Americas transformed the world. New York: Fawcett Columbine. hlm. 133. ISBN 0-449-90496-2. 
  87. ^ a b Tooker E (1990). "The United States Constitution and the Iroquois League". Dalam Clifton JA. The Invented Indian: cultural fictions and government policies. New Brunswick, N.J., U.S.A: Transaction Publishers. hlm. 107–128. ISBN 1-56000-745-1. 
  88. ^ Professor Norman Davies on the Polish Lithuanian Commonwealth – the Noble Democracy, which deliberately wanted to avoid an Emperor
  89. ^ Sebagai contoh, lihat bab 1–2 dalam Maciej Janowski, Polish Liberal Thought Before 1918: Before 1918, Central European University Press, 2004, ISBN 963-9241-18-0
  90. ^ "From legal document to public myth: Magna Carta in the 17th century". The British Library. Diakses tanggal 2017-10-16 ; "Magna Carta: Magna Carta in the 17th Century". The Society of Antiquaries of London. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-25. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  91. ^ "Charles I and the Petition of Right". UK Parliament. 
  92. ^ "Britain's unwritten constitution". British Library. Diakses tanggal 27 November 2015. Hal yang paling penting adalah Undang-Undang Hak Warga Negara tahun 1689, yang menjadikan kedudukan Parlemen lebih tinggi daripada kedudukan raja.... Dengan demikian Undang-Undang Hak Warga Negara tahun 1689 menjadikan Parlemen sebagai lembaga yang mengatasi hak-hak istimewa kepala monarki, sehingga parlemen dapat bersidang secara teratur, rakyat jelata mendapatkan hak pilih secara bebas, para peserta debat-debat parlemen dijamin kebebasannya untuk mengutarakan pendapat, sejumlah hak asasi manusia terjamin, yang paling terkenal adalah terjaminnya kebebasan dari ‘hukuman kejam atau hukuman luar biasa’. 
  93. ^ "Citizenship 1625-1789". The National Archives. Diakses tanggal 2013-11-17. 
  94. ^ Dr Andrew Blick and Professor George Jones — No 10 guest historian series, Prime Ministers and No. 10 (1 January 2012). "The Institution of Prime Minister". Government of the United Kingdom: History of Government Blog. Diakses tanggal 15 April 2016. 
  95. ^ Carter, Byrum E. (2015) [1955]. "The Historical Development of the Office of Prime Minister". Office of the Prime Minister. Princeton University Press. hlm. 22–25. ISBN 9781400878260. 
  96. ^ Davies, Norman (1996). Europe: A History. Oxford University Press. hlm. 699. ISBN 0-19-820171-0. 
  97. ^ Hoppe, Hans-Hermann (2011-12-31). DemocracyThe God That Failed: The Economics and Politics of Monarchy, Democracy, and Natural Order. Transaction Publishers. hlm. 103. ISBN 9781412815291. 
  98. ^ Weir, Robert E. (2007). Class in America: H-P (dalam bahasa Inggris). Greenwood Publishing Group. hlm. 566. ISBN 9780313337215. 
  99. ^ "'Natural Aristocracy' and the U.S. Constitution". National Review. Diakses tanggal 2018-01-17. 
  100. ^ "Equality: John Adams to Thomas Jefferson". press-pubs.uchicago.edu. Diakses tanggal 2016-08-04. 
  101. ^ "Jefferson, Adams, and the Natural Aristocracy". First Things. Diakses tanggal 2018-01-17. 
  102. ^ Aughey, Arthur; Jones, Greta; Riches, William Terence Martin (1992). The Conservative Political Tradition in Britain and the United States. Fairleigh Dickinson Univ Press. hlm. 114. ISBN 9780838635001. 
  103. ^ Johnston, Douglas M.; Reisman, W. Michael (2008). The Historical Foundations of World Order. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 544. ISBN 9047423933. 
  104. ^ "Democracy and the Founding Fathers". Dynamic Doingness. Diakses tanggal 2018-01-17. 
  105. ^ "Expansion of Rights and Liberties - The Right of Suffrage". Online Exhibit: The Charters of Freedom. National Archives. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Juli 2016. Diakses tanggal 21 April 2015. 
  106. ^ Center for History and New Media, George Mason University. "Decree of the National Convention of 4 February 1794, Abolishing Slavery in all the Colonies". Diakses tanggal 2009-09-26. 
  107. ^ French National Assembly. "1848 " Désormais le bulletin de vote doit remplacer le fusil "" (dalam bahasa Prancis). Diakses tanggal 2009-09-26. 
  108. ^ Stanley L. Engerman, University of Rochester and NBER; Kenneth L. Sokoloff, University of California, Los Angeles and NBER (February 2005). "The Evolution of Suffrage Institutions in the New World" (PDF): 16, 35. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-11-11. Diakses tanggal 2018-02-07. Pada tahun 1840, hanya tiga negara bagian yang masih mempertahankan syarat memiliki properti, yakni North Carolina (untuk beberapa jabatan bertaraf negara bagian saja), Rhode Island, dan Virginia. Pada tahun 1856, North Carolina menjadi negara bagian terakhir yang mengakhiri praktik ini. Syarat-syarat membayar pajak juga dihapuskan di seluruh negara bagian kecuali di segelintir negara bagian pada saat berlangsungnya Perang Saudara Amerika Serikat, tetapi bertahan sampai memasuki abad ke-20 di Pennsylvania dan Rhode Island. 
  109. ^ Wiesner-Hanks, Merry E.; Evans, Andrew D.; Wheeler, William Bruce; Ruff, Julius (2014). Discovering the Western Past, Jilid II: Since 1500. Cengage Learning. hlm. 336. ISBN 1111837171. 
  110. ^ Price, Richard (1999). British Society 1680-1880: Dynamism, Containment and Change (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 289. ISBN 9780521657013. 
  111. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-17. Diakses tanggal 2018-02-07. 
  112. ^ Rummel 1997, hlm. 257. "A current list of liberal democracies includes: Andorra, Argentina, ..., Cyprus, ..., Israel, ..."
  113. ^ "Global Survey 2006: Middle East Progress Amid Global Gains in Freedom". Freedom House (2005-12-19). Diakses pada 1 Juli 2007.
  114. ^ "How the Westminster Parliamentary System was exported around the World". University of Cambridge. 2 Desember 2013. Diakses tanggal 16 Desember 2013. 
  115. ^ Freedom in The World report, 2017 (PDF)
  116. ^ Freedom House. 1999. "Democracy’s Century: A Survey of Global Political Change in the 20th Century." Diarsipkan 2000-08-18 di Wayback Machine.
  117. ^ Robinson, 1997, hlmn. 24–5
  118. ^ Thorley, 1996, hlm. 2
  119. ^ Dunn, 2006, hlm. 13
  120. ^ Strauss, 1994, hlm. 32
  121. ^ Cartledge, 1994, hlm. 27
  122. ^ Ober, 1996, hlm. 107
  123. ^ The Federalist No. 10
  124. ^ The Federalist No. 51

Rujukan

Sumber Rujukan Utama
Karya Cetak
Jurnal

Bacaan lebih lanjut

Pranala luar