Pajegan
Pajegan adalah suatu istilah di dalam bahasa Bali yang berasal dari kata pajeg dan ditambah dengan sufik "an" menjadi "pajegan" yang berarti borongan. Sebutan lengkapnya ialah Topeng[1] Pajegan. Dalam hubungannya dengan kata topeng, Pajegan adalah seorang penari topeng membarong tapel dalam jumlah yang banyak untuk dipentaskan sendiri.[2] Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, dengan fungsinya yaitu untuk upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang[3] Lemah (Wayang Upacara) serta dilakukan tepat pada waktu para Selinggih (penghulu agama) melakukan upacara. Salah satu tapel topeng yang mutlak ada untuk dipergunakan dalam Topeng Pajegan yaitu Topeng Sidakarya. Sidakarya terdiri dari kata sidha (berhasil) dan karya (upacara), dilihat nama dari topeng ini maka ialah menentukan sidha-nya (berhasilnya) karya (upacara) dan tanpa kehadiran tokoh itu karya dianggap belum selesai. Untuk menjadi penari Topeng Pajegan Bali dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang mumpuni. Pertunjukan[4] ini tak hanya sekadar menghibur, tapi sarat akan makna. Di dalamnya terselip banyak pelajaran moral yang bisa diambil sebagai pedoman hidup. SejarahAdapun cerita singkat terjadinya Topeng Sidhakarya sebagai yang termuat di dalam lontar Sidhakarya sebagai berikut: Pada masa Dalem Waturenggong memerintah di Geigel, ketika beliau mengadakan upacara atau Karya Nanggluk Merana di Besakih datanglah Brahmana (Walaka) dari Keling Beliau mencari saudara ke Bali dan yang diakui saudaranya adalah Dalem Waturenggong. Sudah tentu Brahmana ini dianggap gila oleh para pengayah dan segera diusir. Karena bersikeras ingin bertemu dengan saudaranya, maka dengan paksa (keras) para pembantu karya mengusirnya. Brahmana menggerutu sambil mengutuk agar rakyat diserang gering sejagat pulau Bali. Keadaannya benar demikian hingga karya tak bisa dilaksanakan karena pengayah semuanya sakit. Atas petunjuk Sunia atau Sang Hyang Widhi diperintahkan oleh Dalem untuk mencari Brahmana Kellog tersebut, di bandana negara dan untuk dibawa menghadap Dalem di Besakih. Dalem memohon belas kasihan Brahmana Kellog agar kesempurnaan pulau Bali dapat dikembalikan dan karya bisa terlaksana, dengan janji bila keadaan dapat dikembalikan sebagai sediakala, Dalem menerima Brahmana sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidhakarya. Brahmana Keling meminta saksi pituhu yang membenarkan segala yang diucapkan. Ayam ini putih harus dijawab putih dan benar-benar ayam itu menjadi putih. Pohon kelapa ini berubah dan benar-benarlah pohon kelapa yang tadinya tidak berbuat menjadi berbuah. Karya bisa dilaksanakan (sidha-karya). Dalem Waturenggong menepati janji beliau memberi gelar Dalem Sidhakarya kepada Sang Brahmana Keling. Selanjutnya Dalem Sidhakarya mengaku sebagai Dewa segala merana (tikus, walangsangit dan lain-lainnya). Dalem menitahkan pula untuk sidha-nya setiap upacara/upakara di Bali agar memohon jatukarya ke pura Dalem Sidhakarya yang berupa catur wija dan panca taro serta dinasihatkan pula agar rakyat jangan memaki hama-hama/merana. Demikianlah penjelasan sejarah Topeng Sidhakarya yang termuat dalam lontar Sidhakarya. Tempat yang dibutuhkan untuk pertunjukan Topeng Pajegan tidak luas. Iringan musiknya berupa gamelan gong. Penari meletakkan sebuah keranjang berisi topeng-topeng di atas meja di balik layar pentas gantung. Setelah sembahyang, pertunjukan dimulai dengan menampilkan tiga tokoh pertama yang berbeda watak. Penari melakukannya tanpa berkata-kata, hanya bahasa isyarat, dalam tarian yang relatif panjang.[5] Akhir-akhir ini, banyak penari menyusun naskah cerita pada siang hari dan menampilkan drama tersebut pada malam harinya. Pada Desember 2015, Tari Topeng Pajegan menjadi salah satu dari sembilan tarian Bali yang ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.[6] Rujukan
|