Tari Golek Menak (bahasa Jawa: Beksan Golèk Menak) merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide Sri Sultan Hamengkubuwono IX setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksan Golek Menak atau Beksan Menak, yang mengandung arti menarikan wayang Golek Menak.
Penciptaan
Karena sangat mencintai budaya wayang orang, Sultan Hamengkubuwana IX merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide tersebut, pada tahun 1941 Sultan memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat, Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja, K.R.T. Mertodipuro, R.W. Hendramardawa, R.B. Kuswaraga dan R.W. Larassumbaga.
Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton Yogyakarta Hadiningrat pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun Sultan. Bentuknya masih belum sempurna, karena tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan Sultan tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu:
- Tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli
- Tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal
- Tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta
Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan (tarian), yaitu perang antara Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.
Penyempurnaan
Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara Sultan dengan para seniman dan seniwati, maka Sultan Hamengkubuwana IX membentuk suatu tim penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim tersebut terdiri dari enam lembaga; Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Keenam lembaga tersebut setelah menyatakan kesanggupannya untuk menyempurnakan tari Golek Menak pada 1 Juni 1988, kemudian menyelenggarakan lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil garapannya.
Oleh siswa Among Beksa
Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988. Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan R.M. Dinusatama diawali dengan pagelaran fragmen lakon Kelaswara, dengan menampilkan 12 tipe karakter, yaitu:
- Alus impur (tokoh Mental, Ruslan dan Jayakusuma)
- Alus impur (tokoh Jayengrana)
- Alur kalang kinantang (Perganji)
- Gagah kalang kinantang (Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan dan Gajah Biher)
- Gagah kambeng (Lamdahur)
- Gagah bapang (tokoh Umarmaya)
- Gagah bapang (Umarmadi dan Bestak)
- Raseksa (Jamum)
- Puteri (Adaninggar seorang Puteri Cina)
- Puteri impur (Sudarawerti dan Sirtupelaeli)
- Puteri kinantang (Ambarsirat, Tasik Wulan Manik Lungit dan Kelaswara)
- Raseksi (Mardawa dan Mardawi)
Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa bagongan. Busana yang dikenakan para penari mengacu pada busana wayang golek Menak Kayu, semua tokoh berbaju lengan panjang, sedangkan cara berkain menerapkan cara rampekan, kampuhan, cincingan, serta seredan disesuaikan dengan tokoh yang dibawakan.
Oleh Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja
Giliran kedua jatuh pada Pusat Latihan tari Bagong Kussudiardja diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kusssudiardja sendiri. Bentuk-bentuk tari yang ditampilkan merupakan garapan baru yang bersumber dari Golek Menak, dengan mempergunakan ragam tari yang pernah dipelajari dari kakaknya, yaitu Kuswaji Kawindrasusanta (seorang peraga Golek Menak pada saat proses penciptaan tari oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX).
Beberapa tipe karakter yang ditampilkan antara alain: puteri luruh, puteri Cina, gagah bapang untuk tokoh Umarmaya, gagah kinantang untuk tokoh Umarmadi. Disamping itu ditampilkan pula sebuah garapan kelompok dari tipe gagah kinantang yang diberi nama tari Perabot Desa, dengan gendhing-gendhing yang digarap sesuai keperluan gerak tari sebagai pengiringnya.
Oleh Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
Giliran ketiga jatuh pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta, dipimpin oleh Sunartama dan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli 1988. SMKI menitik beratkan pada penggarapan ragam gerak yang merupakan dasar pokok dari tipe-tipe karakter dari Golek Menak dan memperhatikan gendhing-gendhing yang mengiringi tari agar penampilan tipe-tipe karakter bisa lebih kuat. Penyajian dari SMKI menampilkan tipe karakter dengan 14 ragam gerak berbentuk demonstrasi, tanpa menggunakan lakon, tata busana, tata rias, antawecana, swerta kandha tidak digarap.
Oleh Mardawa Budaya
Giliran keempat jatuh pada Mardawa Budaya yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 9 Agustus 1988 dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa. Mardawa Budaya menampilkan sebuah fragmen singkat, tetapi padat dengan lakon Kelaswara Palakrama. Dalam penampilannya, Mardawa Budaya menampilkan 14 tipe karakter.
Oleh Surya Kencana
Giliran kelima adalah Surya Kencana pimpinan Raden Mas Ywanjana, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Agustus 1988. Surya Kencana memilih bentuk demonstrasi dan menampilkan 16 tipe karakter, serta berupaya memasukkan gerak pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang disesuaikan dengan rasa gerak Jawa.
Oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Giliran keenam atau terakhir jatuh pada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 22 Agustus 1988. Lokakarya bertempat di Fakultas Kesenian di kampus utara, dipimpin oleh Bambang Prahendra Pujaswara, dengan menampilkan 15 tipe karakter dalam demonstrasinya. Demonstrasi tipe-tipe karakter kemudian disusul dengan penampilan sebuah fragmen pendek dengan lakok Geger Mukadam dipetik dari Serat Rengganis.
Para penggarap tari dari ISI Yogyakarta menitikberatkan pada garapan geraknya, iringan tari, tata busana, tata rias serta antawecana. Gerak pencak kembang dari Sumatera barat juga telah dimasukkan, bukan hanya pada adegan perang saja, tetapi juga pada ragam-ragam geraknya. Bahasa yang dipergunakan untuk antawecana atau dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.
Hasil akhir
Pada pertemuan pada tanggal 16 September 1988 di Anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan menyatakan kegembiraannya, bahwa enam lembaga tari di Daerah Istimewa Yogyakarta telah menanggapi dengan baik permintaan Sultan. Karena hasil lokakarya itu baru merupakan hasil awal dari proses penyempurnaan tari Golek Menak, Sultan mengharapkan agar segmen disusul dengan rencana kerja kedua, yaitu pada bulan Maret 1989.
Tetapi sebelum Sultan sempat menyaksikan kerja kedua dari Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak yang akan jatuh pada bulan Maret 1989, Sultan wafat di Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988. Beberapa minggu kemudian seluruh anggota Tim sepakat untuk meneruskan penyempurnaan tari Golek Menak, meskipun Sultan telah tiada. Maka dalam pagelaran hasil penyempurnaan tari Golek Menak tanggal 17 Maret 1989 itu ditampilkan demonstrasi wayang golek Menak serta fragmen drama-tari Golek Menak dengan cerita yang sama, yaitu Kelaswara Palakrama atau perkawinan antara Kelaswara dengan Wong Agung Jayengrana.
Tim penyempurnaan tari Golek Menak bekerja sesuai dengan petunjuk-petunjuk Sultan. Tetapi karena perancangan tata busana seperti yang diinginkan sultan menuntut biaya yang besar, maka tata busana untuk pagelaran itu masih menggunakan busana yang telah ada dengan tambahan serta modifikasi seperlunya.
|
---|
|
|
|
|
|
|
---|
Arfak | |
---|
Asmat | |
---|
Biak | |
---|
Dani | |
---|
Fakfak | |
---|
Isirawa | |
---|
Mimika (Kamoro) | |
---|
Kep. Maluku Tengah dan Selatan | |
---|
Kep. Maluku Utara | |
---|
Moi | |
---|
Sentani | |
---|
Serui dan Waropen | |
---|
|
|
|
|