Bedhaya Tejanata Pakualam adalah sebuah cerita Kanjeng Gusti ke-7 yang keberadaannya menjadi penanda penting dari tari-tarian klasik di Pura Pakualam. Keindahan gerakan tarian yang memancarkan wibawa aura makna.
Bedhaya Tejanata dapat diartikan sebagai berikut;(1) penanda budaya dalam perkawinan dua kerajaan di tanah jawa; (2) penanda persentuhan dua kekuatan besar gaya tarik klasik jawa, Yogyakarta dan Surakarta; (3) penanda adanya keragaman budaya internal jawa.
Bedhaya Tejanata sudah mengalami beberapa perubahan. Penarinya kebanyakan wanita yang berjumlah sembilan orang. Tarian ini menjadi tarian sakral yang suci karena bersifat religius. Tarian kebesaran ini dipertunjukkan ketika penobatan seorang raja dan sebagai simbol kewibawaan seorang raja. Di samping itu, Bedhaya Tejanata berperan sebagai budaya yang berkarakter dan memiliki identitas yang khas Pakualam dalam khasanah kekayaan budaya, yang memberikan kontribusi kepada masyarakat pengguna dan pendukungnya.[1]
Rujukan
- ^ Dwiari Ratnawati, Iien (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. hlm. XX.
|
---|
|
|
|
|
|
|
---|
Arfak | |
---|
Asmat | |
---|
Biak | |
---|
Dani | |
---|
Fakfak | |
---|
Isirawa | |
---|
Mimika (Kamoro) | |
---|
Kep. Maluku Tengah dan Selatan | |
---|
Kep. Maluku Utara | |
---|
Moi | |
---|
Sentani | |
---|
Serui dan Waropen | |
---|
|
|
|
|