Tari Inai adalah salah satu jenis pertunjukan seni tari dari daerah-daerah yang ada di Provinsi Kepulauan Riau. [1] Namun, pada perkembangan penyebarannya, tarian sakral ini bisa ditemukan dalam pelaksanaan upacara pernikahan masyarakat Melayu tidak hanya di Kepulauan Riau, tetapi juga Jambi dan daerah Melayu lainnya.
Tari inai dibawakan penari yang tampil menggunakan perlengkapan berupa lilin. Tari inai antara daerah Melayu satu dan lainnya dapat dibedakan, baik ragam, gerak, hingga perlengkapan yang digunakan.
Tari inai di Jambi dibawakan berpasang-pasangan. Walaupun demikian, ada pula yang dibawakan secara tunggal. Biasanya tarian ini dimainkan pada malam hari, tepatnya setelah Shalat Isya. Tari inai menjadi bagian penting dalam acara memberi tanda kepada pengantin. Gerak dalam tari inai bersumber dari gerakan silat.
Para penarinya adalah laki-laki dan maksimal berjumlah tiga orang. Kesenian ini masih hidup dalam keseharian masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Masyarakat di sana, khususnya masyarakat Melayu Lingga dan Pulau Singkep, biasanya melangsungkan upacara pernikahan sesudah Lebaran. Bulan setelah Idulfitri dianggap bulan baik untuk melakukan acara pernikahan.
Selain pengobatan tradisional bejenjang, tari inai ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia 2017.[2]
Referensi
|
---|
|
|
|
|
|
|
---|
Arfak | |
---|
Asmat | |
---|
Biak | |
---|
Dani | |
---|
Fakfak | |
---|
Isirawa | |
---|
Mimika (Kamoro) | |
---|
Kep. Maluku Tengah dan Selatan | |
---|
Kep. Maluku Utara | |
---|
Moi | |
---|
Sentani | |
---|
Serui dan Waropen | |
---|
|
|
|
|