Srimpi Pandhelori

Srimpi Pandhelori adalah salah satu tari klasik Keraton Yogyakarta yang diperkirakan diciptakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877)[1]. Pandhelori berasal dari istilah pandhe (pembuat perkakas dari besi) dan lori (gada berukuran kecil). Srimpi Pandhelori dibawakan dengan anggun oleh empat penari putri yang mengenakan senjata berupa pistol. Selain pistol digunakan pula jemparing (panah), jebeng (tameng), atau cundrik (keris kecil). Srimpi Pandhelori mengambil cuplikan kisah Serat Menak yang bercerita tentang pertarungan Dewi Kadarwati melawan Dewi Ngumyumadikin. Dalam versi lain, juga disebutkan pertarungan Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupilaeli. Karena keduanya sama-sama kuat, pertarungan yang berlangsung sengit itu berakhir damai.

Naskah Tari

Naskah tari Srimpi Pandhelori dimuat pada Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi. Naskah yang digunakan pada masa kini merupakan naskah yang disalin pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Naskah tari tersebut memuat teks sindhenan (lirik vokal) yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian bedhaya atau srimpi di Keraton Yogyakarta. Naskah tersebut dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan disimpan di perpustakaan KHP Kridamardhawa.

Musik Pengiring

Srimpi Pandhelori mengambil nama dari gendhing pengiringnya, Gendhing Pandhelori. Gendhing Pandhelori dibawakan dengan seperangkat gamelan dan tambahan instrumen musik barat. Instrumen musik barat yang digunakan diantaranya biola, terompet, trombon dan tambur. Instrumen tersebut dimainkan untuk mengiringi bagian Kapang-kapang Srimpi, saat penari berbaris masuk dan keluar dari ruang pementasan.

Ragam Gerak

Srimpi Pandhelori dibawakan dengan 22 ragam gerak. Ragam gerak tersebut terdiri dari kapang-kapang maju gawang, sila panggung, sendi panggel, jangkung miling, sendi gedruk, dhuduk wuluh, lampah sekar tawang, pendapan nyangkol udet, pudak mekar, tinting encot-encot, tasikan kengser, gajah oleng, ngunduh sekar, sendi gedruk, kicat mandhe udhet, ulap-ulap cathok, encot-encot, ndawah, kicat boyong, nggurdho jengkeng, nglayang, dan kapang-kapang mundur gawang.

Tiap ragam gerak mencerminkan makna simbolis, misalnya sila panggung menunjukkan sikap siap seorang penari saat berada di ruang pementasan. Lampah sekar tawang menampilkan seorang penari yang berjalan dengan indah. Tinting menggambarkan penari yang tengah berlari. Tasikan kengser menggambarkan seorang penari yang tengah bersolek. Gajah oleng menggambarkan seekor gajah yang berguling-guling sembari memainkan belalai. Ulap-ulap menggambarkan melihat lawan dari kejauhan. Nglayang menggambarkan sikap rendah hati.

Tata Busana dan Rias

Tata busana dan riasan penari Srimpi Pandhelori awalnya mengacu pada busana paes ageng seperti yang diterapkan pada pengantin putri lengkap dengan gelung bokor dan paes prada. Adapun busana yang sering digunakan saat ini berupa baju rompi dengan sulam bordir keemasan, ditambah dengan aksesoris berupa jamang dengan hiasan bulu burung kasuari, kelat bahu, sabuk, dan sinjang pola seredan. Penari menggunakan rias jaitan dengan sanggul gelung sinyong yang diberi motif hiasan bunga melati.

Perkembangan

Srimpi Pandhelori cukup populer karena digunakan sebagai bahan ajar penari putri saat tari keraton mulai diajarkan di luar lingkup istana pada awal abad ke-20. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988), seni pertunjukan keraton banyak mengalami penyederhanaan. Srimpi Pandhelori yang dahulunya digelar dengan durasi waktu lebih dari satu jam dipadatkan hingga 30 menit. Srimpi Pandhelori yang semula hanya dipentaskan pada saat tertentu dan untuk kalangan terbatas, kemudian menjadi lebih terbuka bagi masyarakat umum.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-05-29.