Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka.[3]
Mazmur ini mempertanyakan mengapa orang fasik tampaknya hidup enak dan terhindar dari penghukuman. Namun, diteruskan dengan pengamatan bahwa kemuliaan orang fasik itu sia-sia dan sebenarnya merupakan salah satu penghukuman.[4] Pemazmur yang melayani Allah dengan setia (Mazmur 73:1,13) telah tawar hati ketika ia membandingkan penderitaannya dengan ketenteraman dan kebahagiaan yang dialami banyak orang fasik (ayat Mazmur 73:2–3). Akan tetapi, keyakinannya kepada Allah dan jalan-jalan-Nya dipulihkan tatkala Allah menyatakan akhir yang menyedihkan dari orang fasik dan berkat sesungguhnya dari orang benar (ayat Mazmur 73:16–28).[5]
Di ayat ini Allah menunjukkan kepada pemazmur nasib orang fasik.
Penyataan ini menempatkan persoalan pemazmur baik dalam segi kekekalan (ayat Mazmur 73:17–20) maupun berkat tertinggi bagi orang percaya (Mazmur 73:25–28). Pada akhirnya semua orang benar akan berhasil dan menang bersama Allah, sedangkan orang fasik akan binasa.
Dalam hidup kita yang singkat ini, jikalau kita menilai hal-hal hanya dari pandangan manusawi yang terbatas, sebatas dunia, maka kita pasti akan menjadi kecewa dan putus asa. Kita harus memiliki Firman Allah yang dinyatakan dan Roh Kudus untuk menyelesaikan perjalanan hidup ini dengan iman dan keyakinan akan kebaikan dan keadilan Allah.[5]
Referensi
^(Indonesia) Marie Claire Barth, B.A. Pareira, Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998.
^(Indonesia) W.S. LaSor, D.A. Hubbard, F.W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama 2, Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1994. ISBN 9789794150431