Gempa bumi Sumatra 1933
Gempa bumi Sumatra 1933 atau Gempa bumi Liwa terjadi di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, Indonesia. Gempa besar ini terjadi pada pagi hari pukul 04:54 WIB, tanggal 25 Juni. Gempa tersebut diperkirakan berkekuatan sebesar 7,5 (Mw) pada kedalaman dangkal 20 km. Gempa ini berpusat di daratan, dan menghancurkan kota Liwa. Setidaknya 788 orang dilaporkan tewas, meski beberapa sumber mengatakan jumlah korban tewas mencapai ribuan. Getaran gempa bahkan dirasakan kuat di wilayah Jakarta, Bandung dan Palembang. Gempa susulan banyak terjadi, termasuk gempa yang cukup kuat hingga menimbulkan korban jiwa tambahan. Guncangan utama juga memicu letusan Gunung Suoh, dua minggu kemudian, menewaskan beberapa orang. Gempa ini disebabkan oleh pergeseran Sesar Semangko. Latar belakangSumatra dikenal dengan gempa bumi kuatnya. Pesisir barat Sumatra didominasi oleh Zona subduksi Selat Sunda; batas konvergen sepanjang 5.500 km tempat Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Burma dan Lempeng Sunda dengan kecepatan 60 milimeter (2,4 in) per tahun. Konvergensi di sepanjang batas lempeng ini sangat miring, sehingga menyebabkan deformasi besar pada Lempeng Sunda yang berada di atasnya, yang diakomodasi oleh gerakan mendatar di sepanjang Patahan Semangko. Sesar Semangko adalah sistem sesar mendatar sepanjang 1.900 kilometer (1.200 mil) yang terletak di pulau Sumatera. Sesar tersebut terbagi menjadi sekitar 20 segmen. Sesar Semangko merupakan sumber gempa bumi Liwa 1994 dan gempa bumi Kerinci 1995. Patahan ini menghasilkan gempa terbesar selama rangkaian yaitu gempa bumi Alahan Panjang 1943. DampakKerusakan besar terjadi di sepanjang wilayah yang luas, terbentang dari Danau Ranau hingga Gunung Suoh (perkiraan panjang pecahnya Patahan Semangko segmen Kumering). Gempa tersebut memiliki Skala intensitas Mercalli yang dimodifikasi maksimum VIII–IX. Banyak bangunan dan infrastruktur lainnya di bagian barat Sumatra Selatan yang rusak berat. Retakan besar dan penurunan permukaan tanah dilaporkan; dampak ini diamati dari Kota Agung hingga Makaka. Kerusakan yang terjadi di Sebarus, sebuah desa di Lampung, begitu parah hingga seluruh warganya mengungsi. Di Pasirah, semua rumah dan sawah hancur. Di Liwa dan Banding Agung, gempa meluluhlantahkan seluruh bangunan. Tanah longsor banyak terjadi di Pegunungan Barisan. Gempa susulan pada tanggal 26 Juni menyebabkan beberapa korban jiwa di Bengkulu.[3] Sekitar 424 orang tewas di wilayah Bengkulu Selatan, sedangkan 364 orang lainnya tewas di Liwa. Sedikitnya 50 orang terluka parah dan 600 lainnya luka ringan. Jumlah total korban jiwa tidak diketahui secara pasti, mungkin beberapa ratus atau ribuan, meskipun database gempa Pusat Data Geofisika Nasional hanya menyebutkan 76 kematian dalam peristiwa tersebut. Pernyataan awal oleh Reuters mengatakan setidaknya 20 warga Eropa termasuk di antara 60 orang yang tewas yang kemudian mereka tarik kembali.[ Para pejabat mengambil tindakan tegas untuk memastikan makanan, obat-obatan, dan kebersihan mencukupi.[4] Dua minggu setelah gempa, aktivitas Vulkanik di Gunung Suoh meningkat, dan serangkaian letusan freatik terjadi, membawa abu ke pemukiman. Letusan tersebut berada pada tingkat 4 pada skala Indeks Daya Ledak Vulkanik dan juga menyebabkan beberapa kematian. Di Danau Ranau, di pintu masuk Wai Warduk di Kotabatu, "gelombang banjir ko-seismik" menggenangi sepuluh sawah setinggi 0,5 m (1 kaki 8 inci). Lihat pulaReferensi
|