Pada 22 November 1815, Gempa bumi tektonik berkekuatan 7,0 Mw melanda Bali, gempa terjadi antara pukul 22.00 hingga 23.00 WITA. Gempa memiliki Skala intensitas maksimum X (Ekstrem) menyebabkan kerusakan parah di Buleleng, Tabanan, dan Denpasar, dengan jumlah korban meninggal mencapai 10,000 orang akibat gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Gempa bumi ini adalah gempa bumi paling mematikan yang pernah melanda Indonesia sebelum peristiwa Gempa bumi Samudra Hindia 2004.
Gempa bumi
Gempa bumi dahsyat terjadi di Bali dan selalu berulang, dengan perkiraan setiap 30 hingga 60 tahun sekali, seperti pada peristiwa tahun 1815, 1857, 1917, 1976, dan terakhir 1979. Para ahli memperingatkan bahwa peristiwa serupa dapat terjadi di masa mendatang.[3]
Gempa bumi dan tsunami tersebut diduga akibat pecahnya sesar dorong pada Sesar Naik Busur Belakang Flores, Patahan tersebut merupakan sumber dari sekitar 26 gempa bumi berkekuatan 6,0+ sejak tahun 1960, termasuk Gempa bumi Flores 1992, dan Gempa bumi Lombok 2018.[3] Gempa bumi ini diperkirakan terjadi pada kedalaman dangkal, 40 km (25 mil) di bawah kerak bumi. Peristiwa Gempa bumi 1815 ini merupakan gempa bumi tertua yang terdokumentasi di sepanjang patahan tersebut. Pemodelan gempa berkekuatan 7,3 momen pada kedalaman 10 km (6,2 mil) dapat menghasilkan Modifikasi Mercalli intensitas VIII–IX di sepanjang bagian utara tengah dan timur Bali. Modifikasi Mercalli intensitas V di Surabaya. Di Lombok gempa terasa dengan intensitas VII.
Dampak
Gempa terjadi pada pukul 22.00 WITA. Di Buleleng serangkaian guncangan kuat menyusul dan berlangsung selama satu jam. Guncangan terasa di Kota Bima, Surabaya, dan Lombok. Sebuah "ledakan" besar terdengar, di sepanjang pesisir pantai.[4] Ledakan tersebut memicu tanah longsor yang mengubur Singaraja dan Buleleng, yang mengakibatkan sedikitnya 10,000 orang meninggal. Celah besar terlihat melintasi Danau Tamblingan, dari Buleleng hingga Tabanan. Longsor sungai terbendung hingga menyebabkan banjir besar.[5][2]