Waduk Saguling (aksara Sunda: ᮝᮓᮥᮊ᮪ ᮞᮍᮥᮜᮤᮀ) adalah sebuah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut.[3] Waduk ini adalah salah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Dua waduk lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata. Luas genangan waduk ini sekitar 5.606 hektare dengan volume tampungan awal sebesar 875 juta m3 air.
Sejarah
Pada tahun 1922, para ahli asal Belanda mulai melakukan survei mengenai kelayakan pembangunan waduk di sepanjang aliran Sungai Citarum, mulai dari survei hidrologi, survei topologi, hingga survei geologi. Survei yang lebih rinci kemudian dilakukan oleh Prof. Ir. W.J. van Blommestein guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk membangkitkan listrik.[2] Pada tahun 1948, Blommestein pun menerbitkan sebuah makalah mengenai rencana pembangunan waduk di aliran Sungai Citarum. Dalam makalahnya, ia mengemukakan agar Waduk Jatiluhur dibangun lebih dahulu, karena dianggap paling mendesak. Selain waduk tersebut, ia merencanakan pembangunan waduk-waduk tambahan, salah satunya adalah Waduk Saguling yang awalnya diberi nama Waduk Tarum.[4]
Pada tahun 1976, PLN mulai melakukan studi, investigasi, dan perencanaan untuk pembangunan waduk ini, dengan dibantu oleh NEWJEC, Indra Karya, dan Geo ACE sebagai konsultan. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun waduk ini mencapai US$ 738,256 juta, yang mana US$ 470 juta di antaranya berasal dari pinjaman IBRD dan OECF. Pada tahun 1979, mulai dilakukan pembangunan jalan akses ke lokasi pembangunan bendungan, dan setahun kemudian, mulai dilakukan pemindahan terhadap sekitar 10.000 orang warga yang terdampak oleh pembangunan waduk, yang tersebar di 31 desa dari 6 kecamatan, yakni Sindangkerta, Cililin, Batujajar, Padalarang, Rajamandala, dan Cipatat. Pemindahan dilakukan dengan cara memasukkan warga yang terdampak oleh pembangunan waduk ke dalam program transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan Timur, serta ke dalam program Perkebunan Inti Rakyat di Banten.[2]
Pada tanggal 15 Februari 1982, Menteri Pertambangan dan Energi, Prof. Dr. Subroto, meresmikan pengalihan sementara aliran Sungai Citarum ke terowongan pengelak untuk memungkinkan pembangunan bendungan, dan pada tanggal 31 Mei 1983, Presiden Soeharto pun meletakkan batu pertama pembangunan bendungan. Pada bulan Januari 1984, bendungan selesai dibangun, dan pada tanggal 15 Februari 1985, Gubernur Jawa Barat, Aang Kunaefi, meresmikan penutupan terowongan pengelak, sehingga waduk mulai terisi. Pada tanggal 27 September 1985, terjadi gempa yang menyebabkan retaknya dinding dari sejumlah rumah warga yang terletak di dekat bendungan. Menurut informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika, gempa tersebut adalah gempa lokal. Gempa yang lebih keras kemudian terjadi pada tanggal 20 Oktober 1985. Gempa-gempa tersebut diperkirakan diakibatkan oleh tertekannya tanah/batuan di dasar bendungan, karena volume bendungan yang cukup besar. Untuk mengurangi potensi longsor, ratusan jangkar prategang pun dipasang di sejumlah bagian bendungan, dengan panjang masing-masing jangkar dapat mencapai 100 meter. Pada tanggal 24 Juli 1986, Presiden Soeharto meresmikan pengoperasian PLTA Saguling.[2]
Pemanfaatan
Waduk Saguling terutama digunakan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 700 MW yang dapat membangkitkan listrik sebanyak 2.156 GWh per tahun. Waduk Saguling juga dimanfaatkan sebagai prasarana perikanan darat dan obyek pariwisata. Dengan dibangunnya waduk ini, umur layanan Waduk Jatiluhur pun bertambah panjang. Waduk ini juga membantu Waduk Jatiluhur dalam mengendalikan banjir yang kerap terjadi di Karawang, Purwakarta, dan Bekasi.[2]
Permasalahan
Sekarang, waduk ini juga digunakan untuk kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran. Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur.[5] Sisa usia Waduk Saguling diperkirakan tinggal 27 tahun apabila penanganan pencemaran air dan sedimentasi Sungai Citarum tidak dilakukan secara komprehensif. Seharusnya, usia Waduk Saguling minimal masih 31 tahun lagi. Laju sedimentasi di Waduk Saguling mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Selain itu kandungan bahan kimia berbahaya dalam air waduk akibat pencemaran limbah rumah tangga dan pabrik di daerah aliran Citarum rentan memicu korosi alat pembangkit listrik.[6]
Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Daerah waduk ini asalnya adalah berupa daerah pertanian. Daerah perikanan dari waduk berhadapan dengan tekanan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena 50% dari populasi terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk.