Waduk Ria RioWaduk Ria Rio adalah waduk yang terletak di daerah Pedongkelan, Pulogadung, Jakarta Timur, Jakarta dengan luas 26 hektar. Pada tahun 1950an, daerah ini masih berupa rawa, dan kemudian pada masa Gubernur Ali Sadikin dibangun waduk untuk mengurangi genangan air dan banjir di daerah ini. Pembangunan dimulai pada 1960, saat PT. Pulomas Jaya membutuhkan tanah urukan untuk membuat lapangan pacuan kuda Pulomas yang tidak jauh dari waduk Ria Rio. Nama Ria Rio didapat dari pemimpin PT. Pulomas Jaya, Rio Tambunan. Sementara kata Ria berasal dari kata riak, yang menggambarkan air waduk yang beriak.[1] Nama Ria Rio diresmikan pada tahun 1967.[2] Akhirnya lahan yang tadinya rawa ini pun dikeruk dan diambil tanahnya menjadi waduk besar. Karena airnya masih bersih, awalnya Waduk Ria Rio digunakan untuk keperluan berenang, mencuci, lahan bermain, hingga dilengkapi sarana menonton layar tancep. Namun seiring waktu, kondisi waduk ini terus memburuk dan menimbulkan gangguan bagi warga di sekitarnya.[1] Kurangnya perawatanSemenjak tahun 1969, tidak jelas lagi bagaimana kepengurusan Waduk Ria Rio. Selain karena masa pemberangusan PKI, juga diperkirakan karena kebangkrutan pengelola. Karena salah urus, waduk yang awalnya berair bening ini menjadi tidak terawat dan sering memakan korban jiwa tenggelam tanpa sebab yang jelas, dengan perkiraan 10 hingga 20 korban jiwa setiap tahunnya.[2] Waduk Ria Rio hingga Agustus 2013 mengalami pendangkalan berat akibat sampah, limbah, dan enceng gondok yang tumbuh subur. Airnya berwarna gelap, bau, dan dipenuhi WC terbuka yang didirikan di tepi waduk. Perumahan warga juga memenuhi tepian waduk sehingga dari tahun ke tahun waduk semakin menyempit dan kehilangan fungsinya.[3] Akibat pendangkalan, Waduk Ria Rio sering meluap, terutama ke arah Jalan Perintis Kemerdekaan, sehingga warga di sekitar jalan ini terpaksa mengungsi setiap tahun.[4] Sengketa kepemilikan tanahLahan Waduk Ria Rio diperkirakan 26 hektar, termasuk 7,1 hektar yang kini diduduki warga. Warga memenuhi lahan di sekitar waduk dan mengklaim sebagai miliknya. Bagaimanapun, tempat ini telah dihuni sejak 1940an sehingga mempersulit pembuktian kepemilikan lahan, sehingga menjadi sengketa antara PT. Pulomas dengan warga. Sementara 2,1 hektar lainnya menjadi sengketa antara PT. Pulomas dengan ahli waris Adam Malik yang juga merasa memiliki lahan tersebut. Sengketa dengan ahli waris Adam MalikMenurut cucu Adam Malik, Gunajaya Malik, sejak dibeli oleh Adam Malik dari tetangganya Nyo Seng Hoo pada tahun 1961, tanah tersebut dititipkan kepada Matnoor, yang kemudian menyerahkan kepengelolaannya kepada Haji Gafur, lalu dipinjamkan kepada warga sekitar dengan syarat bisa kembali diminta sewaktu-waktu.[5] PT. Pulomas Jaya mengklaim tanah 2,1 hektare tersebut adalah pemberian dari Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranoto, kepada Yayasan Adam Malik untuk dibuatkan Rumah Sakit, tetapi hingga kini tidak pernah terwujud. Karena itu PT. Pulomas Jaya berniat memintanya kembali. Kemudian, karena keluarga Adam Malik kalah terus di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, maka pada 2004 Nelly Malik memilih untuk memiliki secara fisik dengan memasang papan nama bahwa tanah itu milik keluarga Adam Malik. Akibatnya PT. Pulomas melaporkan kejadian itu kepada Polres Jakarta Timur. Namun keluarga Adam Malik menyatakan pengaduan itu telah masuk SP3.[5] Menurut PT. Pulomas Jaya, gugatan dan klaim ahli waris Adam Malik selalu berubah. Mulanya menggunakan alas hak Girik C 342, kemudian Eigendom 5725 dan Eigendom 11202, tetapi semuanya tidak dapat dibuktikan secara hukum dan dimenangkan PT. Pulomas Jaya. Pemda DKI Jakarta telah mencabut kewenangan Yayasan Adam Malik karena tidak kunjung mampu membuatkan rumah sakit di daerah tersebut, yang kemudian dilawan oleh para ahli waris Adam Malik dengan Girik C.342 PS I Blok S.II. yang ditolak di PK dan dimenangkan oleh Pemda DKI, dalam hal ini PT. Pulomas Jaya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan tidak berminat mencampuri urusan ini dan mempersilakan PT. Pulomas Jaya dengan ahli waris Adam Malik menyelesaikannya di pengadilan.[5] Negosiasi dengan wargaPT. Pulomas Jaya telah menawarkan uang kerahiman sebesar Rp 1 juta per kepala keluarga yang menjadi sasaran relokasi ke Rumah Susun. Namun awalnya warga tidak mengacuhkan tawaran ini, karena berharap mendapat ganti rugi Rp 5 juta. Alasannya karena mereka terlanjur membangun rumah yang telah terbakar beberapa waktu sebelumnya. Permintaan ini dianggap tidak masuk akal karena warga tidak memiliki bukti atas kepemilikan tanah dan sebenarnya telah ditawarkan tempat yang lebih layak di rumah susun dengan beberapa fasilitas di Rumah Susun Pinus Elok.[6] Seratus warga sempat memblokir Jalan Perintis Kemerdekaan.[7] Namun Jokowi kemudian menawarkan perundingan langsung di meja makan dan memastikan warga sebenarnya hanya ingin memastikan hak dan fasilitas mereka setelah direlokasi terpenuhi.[8][9] Normalisasi dan pelengkapan fasilitasSetelah beberapa sengketa tanah dianggap selesai, maka pengerukan waduk yang sempat tertunda dilanjutkan. Bagian barat waduk dilengkapi dengan taman yang dilengkapi amphiteater, wifi, dan tanaman hias berharga, serta sebuah batang Baobab yang ditanam di gundukan besar di tengah taman.[10] Referensi
|