Waduk Pluit (asal nama pluit berasal dari kata Belanda fluitschip yang artinya kapal layar panjang berlunas ramping), adalah waduk yang dibangun di Penjaringan, Jakarta Utara. Awalnya lahan ini berupa rawa-rawa. Pemerintah Hindia Belanda meletakkan sebuah fluitschip bernama Het Whitte Paert, yang sudah tidak laik laut di pantai sebelah timur muara Kali Angke sehingga daerah ini mendapat nama Pluit.[1] Pada Awal Tahun 2015 di musim hujan Pompa di waduk pluit tidak bekerja. Sehingga membuat naik permukaan air yang tadinya -180 cm, menjadi 100 cm dengan cepat. Beberapa tempat di sekitar Waduk Pluit terendam banjir karena meluapnya air di waduk pluit tersebut.
Sejarah
Proyek Waduk Pluit dimulai sejak 1960, dengan dinyatakannya Pluit sebagai kawasan tertutup. Kawasan ini direncanakan sebagai polder Pluit dan pekerjaan pengerukan kali melalui Keputusan Peperda Jakarta Raya dan Sekitarnya No 387/ Tahun 1960. Namun, di bawah Otorita Pluit, ada pengembangan Pluit Baru untuk pengembangan perumahan, industri, dan waduk. Adapun daerah Muara Karang, Teluk Gong dan Muara Angke untuk perumahan dan pembangkit listrik, serta kampung nelayan.[1]
Pada tahun 1971, Proyek Pluit terus dilanjutkan dengan perluasan wilayah hingga ke Jelambar dan Pejagalan. Pada tahun 1976 kawasan Pluit menjadi permukiman modern dengan tempat rekreasi dan lokasi perindustrian. Pada tahun 1981, barulah Waduk Pluit selesai dan ditandai dengan banjir besar di wilayah Pluit.[1]
Pandangan luas dari Waduk Pluit
Pendangkalan
Karena daerah bibir Waduk Pluit di tempati oleh perumahan, maka secara perlahan terjadi pendangkalan dan peralihan fungsi sebesar 20 Hektar dari total 80 Hektar lahan yang semestinya menjadi waduk penyimpan air. Sejak tahun 1990an, warga mulai merebut tanah di pinggir Waduk Pluit yang seharusnya menjadi milik negara dan tidak boleh dibangun. Awalnya bangunan ini semi permanen, dengan menjadikan tembok waduk sebagai penahan. Sampah dan lumpur dari hulu sungai, ditambah sampah rumah tangga warga di sekitar, membuat pendangkalan semakin parah sehingga Waduk Pluit kehilangan fungsinya.[2]
Akibat pendangkalan, kapasitas penyimpanan air kala musim hujan menjadi berkurang. Air waduk yang awalnya bisa mencapai kedalaman 10 meter, pada tahun 2012 hanya setinggi 2 meter.[2]
Perawatan
Untuk melawan pendangkalan, sebenarnya telah berulangkali dilakukan perawatan di Waduk Pluit. Di antaranya pada tahun 2005 telah diadakan pengerukan.[3] Kemudian pada tahun 2009 diadakan pembersihan enceng gondok.[4] Lalu pada tahun yang sama juga dibuatkan pintu air baru untuk mempermudah kontrol debit air dan sampah.[5] Namun adanya perumahan yang menempati lahan waduk membuat usaha ini tidak pernah bisa maksimal. Karena itu sebenarnya sejak 2010 telah direncakan pemindahan 13.000 warga agar waduk bisa dinormalisasi dengan maksimal.[6] Namun warga selalu menolak dipindahkan karena merasa tidak merasa bersalah dan merasa aman dari bencana banjir maupun rubuhnya tembok penahan[7]
Perawatan Waduk Pluit pada tahun 2013 banyak mendapat perhatian karena keberhasilan memindahkan warga penghuni bantaran sekaligus penataan bagian pinggir waduk menjadi taman yang bisa diakses bebas oleh publik.[8]
Pemindahan warga
Pada tahun 2013, setelah bencana banjir, Pemerintah Provinsi Jakarta memulai proses pemindahan warga dan pengerukan sungai. Awalnya hal ini ditolak dan sempat menuai protes warga.[9] Diduga sebagian warga diprovokasi oleh oknum tertentu sehingga pemindahan sempat menjadi keributan.[10][11][12] Warga juga keberatan karena merasa dituduh sebagai komunis, tetapi kemudian diklarifikasi bahwa kata itu muncul karena desakan LSM yang mendesak pembagian lahan gratis.[13] Komnas HAM sempat turun tangan karena merasa pemindahan ini dilakukan secara paksa dan tidak ada hunian pengganti.[14] Namun kemudian sikap warga melunak setelah dilakukan diplomasi makan siang bersama Gubernur Jokowi di Balai Kota.[15] Warga penghuni bantaran Waduk Pluit akhirnya bersedia dipindah secara bertahap.[16]
Pemukiman kumuh
Sampai dengan tanggal 6 Februari 2021, waduk pluit terlihat kumuh dengan keberadaan rumah bedeng yang ada disekitarnya.[17] Hal ini memperparah kondisi waduk pluit karena selain masalah sedimentasi (mengurangi kemampuan waduk menyerap air), warga sekitar kerap mengotori air dengan cara membuang sampah sembarangan.[18]