Bom pasar Palu 2005 terjadi pada tanggal 31 Desember 2005, di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Sebuah alat peledak improvisasi, yang digambarkan sebagai bom paku atau sejenisnya,[1] diledakkan sekitar pukul 7.00 pagi di pasar daging Palu yang sebagian besar dikunjungi oleh masyarakat Kristen yang berbelanja untuk perayaan Tahun Baru, menewaskan delapan orang dan melukai 53 orang lainnya.[1][2][3]
Bom tersebut meledak di sebuah pasar daging yang tertutup sebagian dan menjual daging babi dan anjing secara langsung ke masyarakat, meskipun praktik ini dilarang di bawah hukum Islam.[4] Alat peledak kedua ditemukan sekitar empat meter dari lokasi ledakan pertama, di dekat sebuah kios yang menjual daging babi, dan berhasil dijinakkan.[5][6]
Sasarannya, sebuah pasar daging di Maesa yang didominasi oleh kelompok etnis Minahasa yang umumnya memeluk agama Kristen,[7] kemungkinan besar dipilih untuk memaksimalkan korban dari pihak Kristen, karena provinsi Sulawesi Tengah sendiri merupakan lokasi konflik sektarian antara kelompok Kristen dan Islam yang merenggut lebih dari seribu korban jiwa antara tahun 1998 dan 2002.[6][8] Konflik tersebut sebagian besar terkonsentrasi di sekitar wilayah Kabupaten Poso, dan Palu pada umumnya terhindar dari kekerasan berskala luas tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Widodo Adi Sucipto, menyebut bahwa Jemaah Islamiyah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut, karena ada kaitannya dengan tewasnya Dr. Azahari dalam sebuah penyergapan di Batu, Jawa Timur pada 9 November2005 lalu.[2]
Serangan
Perangkat peledak tersebut, yang digambarkan sebagai bom buatan rumah[9] dan mudah meledak,[5] diledakkan pada pukul 7.05 pagi di sebuah pasar daging di depan sebuah rumah yang digunakan untuk penjagalan babi dan di seberang Gereja Bethel yang berada di kelurahan Maesa, di selatan Palu.[5][10] Pihak kepolisian menyatakan bahwa bom itu diisi dengan paku dan bantalan bola, dan sebagian besar korban mengalami luka di kaki mereka karena pecahan peluru dari perangkat tersebut.[6] Para pejalan kaki yang kebetulan lewat dilaporkan membawa orang-orang yang terluka dari pasar tersebut ke jalan, dan memasukkan mereka ke dalam mobil yang lewat untuk dibawa ke rumah sakit setempat, dimana setidaknya 20 pengunjung pasar mengalami luka serius dalam serangan tersebut.[1][6]
Beberapa korban tewas diidentifikasi sebagai Bambang Wiyono Saputra (50), Yakulina Tana (45), Agustina Mande (37) pemilik warung, Yoppie (42) dan istrinya Meisye (39) dan anggota Satuan Intelijen Komando Korem 132 Tadulako, Sersan Tasman Lahansang.[5]
Satu orang ditangkap pada hari yang sama, menurut sebuah laporan oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Oegroseno, meskipun tidak jelas apakah dia adalah tersangka utma, polisi hanya menyatakan bahwa dia bertindak mencurigakan dan sering bertanya kepada pedagang di pasar daging tersebut dimana tempat mereka tinggal.[3][5]
Seorang pemodal teroris bernama Eko Budi Wardoyo, terancam hukuman penjara karena diduga terlibat dalam peristiwa ini menyusul keterlibatannya dalam pembunuhan Pendeta Susianti Tinulele, seorang pendeta wanita yang terbunuh pada tanggal 18 Juli 2004 dalam sebuah serangan di Gereja Efatha di Palu Selatan, yang juga melukai empat remaja.[11] Wardoyo dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada tahun 2010 karena mendanai serangan tersebut dan memberikan bantuan kepada para tersangka yang terbukti bertanggung jawab atas pengeboman pasar di Tentena yang menewaskan 22 orang pada tanggal 28 Mei 2005.[12]
Bom lain ditemukan di antara para pedagang kaki lima yang berjualan di dekat Palu Plaza selama festival Idul Fitri pada tahun 2008 dan dijinakkan oleh kelompok Gegana Polres Palu tanpa menimbulkan korban.[13]