Para Martir Suci dari Tiongkok, atau Augustine Zhao Rong dan 119 rekannya, adalah para orang suci Gereja Katolik Roma. Sebanyak 87 umat Katolik berkebangsaan Tiongkok dan dan 33 misionaris Barat, dari pertengahan abad ke-17 Masehi hingga 1930, menjadi martir karena jabatan kependetaan mereka dan, pada beberapa kasus, karena menolak untuk mengingkari iman mereka. Banyak yang meninggal di tangan gerakan Petinju yang membunuh sekitar 30.000 orang: yaitu orang asing (barat), para misionaris, dan umat Katolik berkebangsaan Tiongkok. Kemartiran mereka diperingati secara umum setiap tahunnya pada tanggal 9 Juli.
Abad ke-17 dan 18 Masehi
Pada tanggal 15 Januari 1648, Bangsa TatarManchuria, setelah menginvasi Fujian dan menunjukkan kebencian kepada agama Nasrani, membunuh Santo Francis Ferdinand de Capillas (Francisco Fernández de Capillas), seorang pastur dari Ordo Dominikan yang berusia 40 tahun.[1] Setelah memenjarakan dan menyiksa dia, mereka memenggalnya sewaktu Pastur de Capillas mendaraskan Misteri Penderitaan doa Rosario. Tahta Suci menahbiskan dia sebagai protomartir (martir paling pertama yang meninggal pada suatu negara) di Tiongkok.
Sesudah gelombang pertama aktivitas misionaris di Tiongkok saat akhir Dinasti Ming hingga awal Dinasti Qing, pemerintah Qing secara resmi melarang Agama Katolik (demikian pula dengan Protestanisme dikarenakan hubungannya dengan Katolik) pada tahun 1724, dan menggolongkannya ke dalam 'sekte-sekte jahat dan doktrin-doktrin mengancam' dalam agama tradisional Tiongkok.[2]
Namun agama Katolik masih terus bertahan dan berkembang di wilayah-wilayah yang berada di luar kontrol pemerintah (terutama Sichuan), dan banyak umat nasrani berkebangsaan Tiongkok yang melarikan diri ke kota-kota pelabuhan di Guangdong atau menuju Indonesia. Justru banyak karya terjemahan Nasrani yang dihasilkan pada periode ini, dan juga banyak misionaris pemberani yang melanggar hukum dan secara sembunyi-sembunyi memasuki wilayah terlarang.[2] Mereka menghindari kapal-kapal patroli Tiongkok di sungai-sungai dan wilayah pantai, meskipun beberapa tertangkap dan dihukum mati.
Menuju pertengahan abad ke-18, lima misionaris Spanyol yang beraktivitas antara tahun 1715-1747, dihukum mati sebagai dampak dilakukannya gelombang baru pemeriksaan yang dimulai pada 1729 dan kembali muncul pada 1746. Peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Yongzheng dan putranya, Kaisar Qianlong.
Santo Peter Sanz, O.P., Uskup, menjadi martir pada tanggal 26 Mei 1747, adi Fuzhou.
Keempat martir di bawah ini dibunuh pada tanggal 28 October 1748:
1. Santo Francisco Serrano Frías, O.P., Vikaris Apostolik dan Uskup
2. Santo Joachim Royo, O.P., Pastur
3. Santo John Alcober, O.P., Pastur
4. Santo Francis Diaz, O.P., Pastur.
Kemartiran pada awal abad ke-19
Meskipun agama Katolik telah diakui oleh beberapa kaisar pada abad-abad sebelumnya, Kaisar Jiaqing (1796-1821) malah mengeluarkan beberapa dekret yang sebaliknya. Dekret pertama dikeluarkan pada 1805. Dua dekret tahun 1811 ditujukan pada warga Tiongkok yang belajar imamat untuk ditahbiskan dalam jajaran ordo suci, dan para Pastor yang menyiarkan agama nasrani. Dekret tahun 1813 menyatakan pengampunan kepada semua umat Nasrani yang secara spontan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan agama mereka, tetapi akan menghukum yang berkeras kepala. Berikut ini adalah para martir yang terbunuh selama periode tersebut.
5. Santo Petrus Wu Gousheng, seorang katekis awam Tiongkok. Lahir pada sebuah keluarga yang menganut agama asli, menerima pembaptisan pada tahun 1796 dan menjadi seorang penyiar yang aktif hingga akhir hidupnya. Segala upaya untuk membuat dirinya meninggalkan agamanya (Katolik) tidak berhasil, sampai akhirnya ia ditangkap pada tanggal 7 November 1814.
6. Santo Joseph Zhang Dapeng, seorang katekis awam dan seorang pedagang. Dibaptis tahun 1800 kemudian menjadi penggerak utama dalam misi di Kota Kony-Yang. Ia dipenjara kemudian dihukum mati pada tanggal 2 Maret 1815.
Pada tahun yang sama, terdapat dua dekret yang memberi kekuasaan bagi Raja Muda di Sichuan untuk memenggal Monsignor Dufresse (dari Paris Foreign Missions Society), dan beberapa warga Tionghoa Kristen. Akibatnya terjadilah pemeriksaan (dan pembunuhan) yang semakin parah. Para martir yang terbunuh pada masa ini adalah:
7. Santo Gabriel-Taurin Dufresse, M.E.P., Uskup. Ditangkap tanggal 8 Mei 1815, dibawa ke Chengdu, divonis dan dieksekusi pada tanggal 14 September 1815.
8. Santo Augustine Zhao Rong, seorang pastor keuskupan berkebangsaan Tiongkok. Awalnya adalah seorang prajurit yang mengawal Monsignor Dufresse dari Chengdu ke Beijing. Ia terkesan akan kesabarannya kemudian memohon untuk menjadi katekumen. Setelah dibaptis, ia dikirim ke seminari dan menjadi pastor. Ia ditangkap kemudian disiksa hingga meninggal pada tahun 1815.
9. Santo John da Triora, O.F.M., Pastor. Dipenjara bersama dengan yang lain pada musim panas tahun 1815, ia kemudian divonis mati dan dieksekusi pada tanggal 7 Februari 1816.
10. Santo Joseph Yuan, seorang pastor keuskupan berkebangsaan Tiongkok. Setelah mendengar kotbah Monsignor Dufresse, ia terkesan dan memutuskan menjadi katekumen. Ia kemudian menjadi Pastor dan berkotbah di berbagai wilayah. Ia ditangkap pada bulan Agustus 1816, divonis dicekik sampai mati, dan eksekusinya berlangsung pada tanggal 24 Juni 1817.
11. Santo Paul Liu Hanzuo, seorang pastur keuskupan berkebangsaan Tiongkok, dibunuh tahun 1819.
12. Santo Francis Regis Clet dari Kongregasi Misi (Vincentian). Setelah memperoleh izin untuk pergi ke Tiongkok, ia pergi pada tahun 1791. Setelahnya, selama 30 tahun ia menjalani hidup sebagai misionaris yang penuh pengorbanan. Ia berkotbah di tiga provinsi besar Kekaisaran Tiongkok, yaitu Jiangxi, Hubei, dan Hunan. Namun seorang umat Kristen mengkhianatinya sehingga ia ditangkap, disiksa, dan atas vonis kaisar ia dicekik sampai mati pada tanggal 17 Februari 1820.
13. Santo Thaddeus Liu, seorang pastur keuskupan berkebangsaan Tiongkok. Ia menolak mangkir dari imannya, berkata bahwa ia adalah seorang pastor dan ingin setia pada agama yang selama ini ia sebarkan. Ia dicekik sampai mati pada tanggal 30 November 1823.
14. Santo Peter Liu, seorang katekis awam berkebangsaan Tiongkok. Ia ditangkap tahun 1814 dan divonis pembuangan ke Tartar, ia tinggal di sana hampir 20 tahun. Setelah kembali ke tanah airnya, ia kembali ditangkap dan dicekik sampai mati tanggal 17 Mei 1834.
15. Santo Yoakim Hao Kaizhi (Joachim Ho), seorang katekis awam berkebangsaan Tiongkok. Ia dibaptis saat umur sekitar 20 tahun. Saat pemeriksaan besar-besaran pada tahun 1814, ia ditangkap bersama banyak umat yang lain dan disiksa. Ia dibuang ke Tartar, tinggal selama hampir 20 tahun, kembali ke tanah airnya dan kembali ditangkap. Setelah menolak untuk mengingkari imannya, ia divonis mati oleh kaisar dengan cara dicekik pada tanggal 9 Juli 1839.
16. Santo Auguste Chapdelaine, M.E.P., seorang pastur dari Diocese of Coutances (Gereja Katolik di Prancis). ia memasuki seminariParis Foreign Missions Society dan berangkat ke Tiongkok pada tahun 1852. Ia tiba di Guangxi pada akhir tahun 1854, ditangkap tahun 1856, disiksa, divonis mati dalam penjara, dan meninggal pada bulan Februari 1856.
17. Santo Laurence Bai Xiaoman, seorang umat awam dan pekerja yang sederhana. Ia bergabung dengan Blessed Chapdelaine dalam tempat perlindungan yang diperuntukkan untuk misionaris kemudian keduanya ditangkap bersama. Ia tidak bisa dibujuk untuk mengingkari imannya sehingga akhirnya dipenggal pada tanggal 25 Februari 1856.
18. Santa Agnes Cao Guiying, seorang janda yang terlahir dalam keluarga Kristen lama. Berdedikasi pada kelompok gadis-gadis muda yang baru saja dibaptis oleh Blessed Chapdelaine, ia ditangkap dan divonis mati dalam penjara. Ia dieksekusi pada tanggal 1 Maret 1856.
Para Martir dari MaoKou dan Guizhou
Tiga orang katekis, dikenal sebagai Para Martir dari MaoKao (pada Provinsi Guizhou), dibunuh pada tanggal 28 Januari 1858 oleh perintah Mandarin (pejabat pemerintah) MaoKao:
17. Santo Jerome Lu Tingmei
18. Santo Laurence Wang Bing
19. Santa Agatha Lin Zao
Ketiganya telah dipanggil dan dipaksa meninggalkan agamanya. Setelah menolak, ketiganya dipenggal.
Di Guizhou, dua seminaris dan dua umat awam (seorang petani dan seorang janda yang bekerja sebagai koki di seminari), menjadi martir pada tanggal 29 Juli 1861. Mereka dikenal sebagai Para Martir dari Qingyanzhen (Guizhou):
20. Santo Joseph Zhang Wenlan, seminarian
21. Santo Paul Chen Changpin, seminarian
22. Santo John Baptist Luo Tingyin, umat awam
23. Santa Martha Wang Luo Mande, umat awam
Pada tahun berikutnya, pada tanggal 18 dan 19 Februari 1862, lima orang menjadi martir dan dikenal sebagai Para Martir dari Guizhou.
24. Santo Jean-Pierre Néel (John Peter Néel), seorang pastor dari Paris Foreign Missions Society,
25. Santo Martin Wu Xuesheng, katekis awam,
26. Santo John Zhang Tianshen, katekis awam,
27. Santo John Chen Xianheng, katekis awam,
28. Santa Lucy Yi Zhenmei, katekis awam.
Perkembangan sosial dan politik pada Abad ke-19
Selama masa ini, beberapa kejadian politik sangat mempengaruhi kehidupan Kristen di Tiongkok.
Bulan Juni 1840, komisaris kerajaan di Guangdong berkeinginan menghapuskan perdagangan opium yang dilakukan oleh Inggris; ia menyuruh membuang sebanyak 20.000 peti peti candu ke laut. Hal tersebut memicu perang yang dimenangkan oleh Inggris. Setelah perang berakhir, Tiongkok terpaksan menandatangani perjanjian modern pertama mereka pada tahun 1842, diikuti perjanjian oleh Prancis dan Amerika Serikat. Prancis mengambil kesempatan untuk mengambil alih Portugis sebagai kekuatan pelindung para misionaris di Tiongkok. Dua dekret dikeluarkan: dekret pertama pada tahun 1844 menyatakan bahwa masyarakat Tiongkok diizinkan memeluk agama Katolik; dekret kedua pada tahun 1846 yang menghapuskan keputusan kuno tentang Katolik dan mengembalikan properti yang diambil alih pada tahun 1724.[3] Perjanjian tahun 1844 juga menyebutkan bahwa para misionaris diperbolehkan untuk datang ke Tiongkok, tetapi hanya pada beberapa kota pelabuhan yang dibuka untuk bangsa Eropa; ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum untuk mengeksekusi Augustus Chapdelaine (disebutkan di atas).
Pada pertengahan abad ke-19 terjadi perang saudara di Tiongkok yang dikenal sebagai Pemberontakan Taiping, yang dipicu oleh seorang umat Kristen dari Guangdong yang bernama Hong Xiuqian. Ia mengklaim bahwa ia menerima misi khusus dari Tuhan untuk memerangi kejahatan dan menjadi gerbang bagi periode perdamaian. Hong dan para pengikutnya sukses mengambil alih wilayah yang luas, mereka menghancurkan kuil-kuil Buddhis dan Taois, serta melawan agama tradisional masyarakat.[3] Perang tersebut kira-kira menelan 20-30 juta korban jiwa sehingga menjadikannya konflik paling berdarah kedua dalam sejarah manusia (setelah Perang Dunia II). Setelah pemberontakan dihancurkan, kerusakan yang ditinggalkan menyebabkan kekristenan memperoleh nama buruk karena asosiasinya dengan pemberontakan.[3] Hal tersebut menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap para misionaris.
Hal lain yang memicu adalah meningkatnya hubungan antara aktivitas misionaris dengan imperialisme barat,[3] termasuk aktivitas imperialis Prancis di Tiongkok yang mengatasnamakan perlindungan mereka atas misi para misionaris.
Setelah kemartiran St Augustus Chapedelaine (disebutkan di ataspada tahun 1856, Prancis merespon dengan mengirimkan sebuah ekspedisi militer. Ekspedisi tersebutr berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Tianjin pada tahun 1860 yang memberikan kebebasan kepada para misionarisKatolik untuk mengelilingi Tiongkok serta membeli tanah (hak tersebut juga diberikan kepada Protestan).[3] Setelah itu, Gereja dapat hidup secara terbuka dan melaksanakan aktivitas misionarisnya, bahkan membuka sekolah-sekolah tinggi, universitas, dan penelitian ilmiah. Gereja semakin berakar dalam tradisi budaya Tionghoa serta dalam hubungannya dengan pemerintah, terutama juga karena berbagai aktivitas kemanusiaan mereka yang bernilai tinggi.
Namun, para misionaris memprovokasi masyarakat Tiongkok dengan membangun gereja-gereja atau sekolah di atas bekas kuil-kuil kuno atau di dekat kantor pemerintahan. Mereka juga menghapuskan institusi katolik pribumi yang selamat dari pelarangan pemerintah.[3] Terkadang dalam kotbah juga ditegaskan bahwa mereka akan dilindungi dari masyarakat sekitar (yaitu dari tekanan dan kemarahan keluarga serta teman), dan bagaimana cara mereka melakukan pemisahan menyebabkan timbulnya rumor-rumor buruk di antara masyarakat setempat mengenai apa yang sebenarnya dilakukan umat nasrani. Rumor semacam itu juga menimpa sebuah rumah yatim piatu di Tianjin yang mengakibatkan pembunuhan 60 orang pada tahun 1870.[3] Namun kolonialis Barat justru memanfaatkan tindakan pengrusakan dan pembunuhan tersebut (yang dilakukan oleh gerombolan maupun dinas rahasia) sebagai dalih untuk memeras keuntungan finansial dan ekonomi.[4]
Aliran-aliran Protestan yang lebih tertutup diperlakukan dengan lebih baik oleh pihak-pihak yang berwenang.[3]
Para kaum terpelajar serta keluarga terhormat di Tiongkok, dalam gerakan bahwa tanah, menyebarkan pamflet yang menyerang iman Kristen sebagai pemahaman yang tidak rasional. Surat-surat edaran untuk pembakaran properti juga disebarkan ke kerumunan penduduk dan diperkirakan sebagai pemicu kekerasan terhadap umat Kristen. Bahkan terkadang tidak diperlukan edaran semacam itu untuk memprovokasi masyarakat menyerang umat Kristen. Misalnya peristiwa pada masyarakat Hakka yang tinggal di wilayah tenggara, para misionaris Kristen sering kali mencemooh kebiasaan penduduk yang berhubungan dengan agama setempat, termasuk di antaranya menolak mengambil bagian dalam sembahyang bersama untuk memohon hujan (karena para misonaris juga diuntungkan oleh hujan, mereka dipaksa juga untuk memngambil bagian dalam ritual) serta menolak menyumbangkan dana untuk mengadakan pementasan opera bagi para dewata Tiongkok (para dewa yang dihormati dalam opera tersebut adalah dewa-dewa yang sama dengan yang dipuja para "Petinju" dalam pemberontakan yang terjadi berikutnya).[3]
Misi Katolik menawarkan perlindungan kepada siapapun yang datang kepada mereka, termasuk para kriminal, pelanggar hukum, dan pemberontak terhadap pemerintah; hal tersebut meningkatkan kebencian pemerintah terhadap misi pengembangan agama.[3]
Gerakan Serikat Boxer
Masa berkembangannya kekristenan di Tiongkok sekali lagi mengalami hambatan oleh munculnya "Serikat Tinju Keadilan dan Harmoni" (I Ho Ch'uan) yang lebih dikenal sebagai "Petinju" atau Boxer. Gerakan Boxer muncul pada awal abad ke-20, didukung oleh para mandarin (pejabat kekaisaran) dan ibu Kaisar Kwang-hsue dan menyebabkan pertumpahan darah begitu banyak umat kristen (lima uskup, 28 imam praja dan biarawan, dua bruder, sembilan suster, dan 30.000 umat awam. Di antaramereka banyak yang dinyatakan kudus.[4] Pemberontakan ini dipicu oleh kebencian yang menumpuk kepada para orang asing selama dekade terakhir abad ke-19, akibat perubahan politik serta sosial pasca Perang Candu dan perjanjian-perjanjian tidak adil yang menguntungkan bangsa barat.
Namun, motif yang melatari pembunuhan para misonaris sangat berbeda, meskipun mereka juga berkebangsaan barat. Motif yang melatari adalah motif keagamaan; yang juga melatari pembunuhan terhadap umat awam berkebangsaan Tiongkok. Dokumen sejarah yang bisa dipercaya menunjukkan bukti adanya kebencian terhadap umat Kristen. Sebuah dekret dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1900 yang menyatakan bahwa era hubungan baik dengan para misionaris Eropa dan umat kristen telah berakhir: bahwa para misionaris harus dipulangkan saat itu juga dan umat Katolik dipaksa untuk ingkar, atau akan dibunuh. Beberapa kelompok kejadian pembunuhan yang terjadi ditunjukkan seperti di bawah ini.
29. Santo Gregory Grassi, Uskup,
30. Santo Francis Fogolla, Uskup,
31. Santo Elias Facchini, Pastur,
32. Santo Theodoric Balat, Pastur,
33. Santo Andrew Bauer, Bruder;
b) Para Martir di Hunan Selatan, juga anggota Franciscan Friars Minor:
34. Santo Anthony Fantosati, Uskup (menjadi martir 7 Juli 1900),
35. Santo Joseph Mary Gambaro, Pastur (menjadi martir 7 Juli 1900),
36. Santo Cesidio Giacomantonio, Pastur (menjadi martir 4 Juli 1900).
Selain itu juga tujuh suster Franciscan Missionaries of Mary (tiga berkebangsaan Prancis, dua Italia, satu Belgia, dan satu Belanda):
37. Santa Mary Hermina of Jesus (in saec: Irma Grivot),
38. Santa Mary of Peace (in saec: Mary Ann Giuliani),
39. Santa Mary Clare (in saec: Clelia Nanetti),
40. Santa Mary of the Holy Birth (in saec: Joan Mary Kerguin),
41. Santa Mary of Saint Justus (in saec: Ann Moreau),
42. Santa Mary Adolfine (in saec: Ann Dierk),
43. Santa Amandina of Schakkebroek (Mary Amandina) (in saec: Paula Jeuris).
Para Sekuler (awam) dari Ordo Franciscan, semua berkebangsaan Tiongkok:
44. Santo John Zhang Huan, seminarian,
45. Santo Patrick Dong Bodi, seminarian,
46. Santo John Wang Rui, seminarian,
47. Santo Philip Zhang Zhihe, seminarian,
48. Santo John Zhang Jingguang, seminarian,
49. Santo Thomas Shen Jihe, umat awam dan pelayan,
50. Santo Simon Qin Chunfu, katekis awam,
51. Santo Peter Wu Anbang, awam,
52. Santo Francis Zhang Rong, awam dan seorang petani,
53. Santo Matthew Feng De, awam dan seorang katekumen,
54. Santo Peter Zhang Banniu, awam dan seorang karyawan.
Berikut ini adalah para umat awam:
55. Santo James Yan Guodong, petani,
56. Santo James Zhao Quanxin, pelayan,
57. Santo Peter Wang Erman, koki.
Gerakan Boxer dimulai di Shandong dan menyebar ke Shanxi dan Hunan, menuju Tcheli Tenggara (sekarang Hebei). Di Tcheli terdapat Apostolic Vicariate of Xianxian, dibawah naungan Ordo Jesuit, umat kristen yang terbunuh mencapai ribuan. Diantaranya adalah empat misionaris Yesuit berkebangsaan Prancis dan setidaknya 52 umat awam kristen pribumi; pria, wanita, dan anak-anak – yang tertua berusia 79 tahun dan termuda sembilan tahun. Semuanya menjadi martir pada bulan Juli 1900; sebagian terbunuh di dalam gereja di Desa Tchou-Kia-ho (atau Zhujiahe) yang menjadi tempat perlindungan. Saat itu mereka sedang berdoa bersama dua misionaris pertama pada daftar di bawah ini:
Nama-nama beserta usia para umat awam kristen yang menjadi martir adalah sebagai berikut:
62. Santa Mary Zhu born Wu, sekitar 50 tahun,
63. Santo Peter Zhu Rixin, 19 tahun,
64. Santo John Baptist Zhu Wurui, 17 tahun,
65. Santa Mary Fu Guilin, 37 tahun,
66. Santa Barbara Cui born Lian, 51 tahun,
67. Santo Joseph Ma Taishun, 60 tahun,
68. Santa Lucy Wang Cheng, 18 tahun,
69. Santa Maria Fan Kun, 16 tahun,
70. Santa Mary Qi Yu, 15 tahun,
71. Santa Maria Zheng Xu, 11 tahun,
72. Santa Mary Du born Zhao, 51 tahun,
73. Santa Magdalene Du Fengju, 19 tahun,
74. Santa Mary du born Tian, 42 tahun,
75. Santo Paul Wu Anju, 62 tahun,
76. Santo Ioannes Baptista Wu Mantang, 17 tahun,
77. Santo Paul Wu Wanshu, 16 tahun,
78. Santo Raymond Li Quanzhen, 59 tahun,
79. Santo Peter Li Quanhui, 63 tahun,
80. Santo Peter Zhao Mingzhen, 61 tahun,
81. Santo John Baptist Zhao Mingxi, 56 tahun,
82. Santa Teresa Chen Jinjie, 25 tahun,
83. Santa Rose Chen Aijie, 22 tahun,
84. Santo Peter Wang Zuolong, 58 tahun,
85. Santa Mary Guo born Li, 65 tahun,
86. Santa Joan Wu Wenyin, 50 tahun,
87. Saint Zhang Huailu, 57 tahun,
88. Santo Mark Ji Tianxiang, 66 tahun,
89. Santa Ann An born Xin, 72 tahun,
90. Santa Mary An born Guo, 64 tahun,
91. Santa Ann An born Jiao, 26 tahun,
92. Santa Mary An Linghua, 29 tahun,
93. Santo Paul Liu Jinde, 79 tahun,
94. Santo Joseph Wang Kuiju, 37 tahun,
95. Santo John Wang Kuixin, 25 tahun,
96. Santa Teresa Zhang born He, 36 tahun,
97. Saint Lang born Yang, 29 tahun,
98. Santo Paulus Lang Fu, 9 tahun,
99. Santa Elizabeth Qin born Bian, 54 tahun,
100. Santo Simon Qin Chunfu, 14 tahun,
101. Santo Peter Liu Ziyu, 57 tahun,
102. Anna Wang, 14 tahun,
103. Santo Joseph Wang Yumei, 68 tahun,
104. Santa Lucy Wang born Wang, 31 tahun,
105. Santo Andreas Wang Tianqing, 9 tahun,
106. Santa Mary Wang born Li, 49 tahun,
107. Saint Chi Zhuzi, 18 tahun,
108. Santa Mary Zhao born Guo, 60 tahun,
109. Santa Rose Zhao, 22 tahun,
110. Santa Maria Zhao, 17 tahun,
111. Santo Joseph Yuan Gengyin, 47 tahun,
112. Santo Paul Ge Tingzhu, 61 tahun,
113. Santa Rose Fan Hui, 45 tahun.
Selain para korban pemberontakan Boxer tersebut, juga pantas dikenang:
114. Santo Alberic Crescitelli', seorang pastur dari Pontifical Institute for Foreign Missions di Milan yang ditugaskan pada wilayah Shaanxi Selatan. Menjadi martir tanggal 21 Juli 1900.
Beberapa tahun kemudian, anggota Salesian Society of St John Bosco ditambahkan dalam daftar nama martir di Tiongkok. Keduanya terbunuh tanggal 25 Februari 1930 di Li-Thau-Tseul.
115. Santo Louis Versiglia, Uskup,
116. Santo Callistus Caravario, Pastur.
Diplomat, penduduk, tentara asing, serta beberapa Tionghoa Kristen melarikan diri ke Legation Quarter dan tinggal selama 55 hari hingga Aliansi Delapan Negara datang dengan 20.000 tentara untuk memadamkan pemberontakan.[5] Setelah kegagalan pemberontakan, pemerintah Tiongkok menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali melakukan modernisasi, yang akhirnya mengembangkan agama Katolik di Tiongkok pada tahun-tahun berikutnya. Masyarakat Tiongkok mulai menaruh hormat kepada para Kristen karena pembangunan sekolah-sekolah serta rumah sakit.[3] Namun, pengasosiasian imperialisme barat dengan usaha misionaris tetap memicu kebencian terhadap misi kekristenan di Tiongkok. Semua misi tersebut akhirnya dilarang oleh penguasa komunis yang baru setelah berakhirnya perang Korea pada tahun 1950, dan hingga kini tetap bertahan meskipun dianggap melanggar hukum.
^ abDavid Lindenfeld. Indigenous Encounters with Christian Missionaries in China and West Africa, 1800-1920: A
Comparative Study. Journal of World History, Vol. 16, No. 3 (Sep., 2005), hal. 327-369
^ abcdefghijkDavid Lindenfeld. Indigenous Encounters with Christian Missionaries in China and West Africa, 1800-1920: A
Comparative Study. Journal of World History, Vol. 16, No. 3 (Sep., 2005), pp. 327-369
^ abA. Heuken, SJ. 2005. Ensiklopedi Orang Kudus, Cetakan ke-17, hal.299-300. Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka.
^Eva Jane Price. China journal, 1889-1900: an American missionary family during the Boxer Rebellion, (1989). ISBN 0-684-19851-8; see Susanna Ashton, "Compound Walls: Eva Jane Price's Letters from a Chinese Mission, 1890-1900." Frontiers 1996 17(3): 80-94. Issn: 0160-9009 Fulltext: in Jstor