Dr. Azahari bin Husin, Ph.D. (14 September 1957 – 9 November 2005) adalah seorang insinyur Malaysia yang diduga kuat merupakan otak di belakang Pengeboman konsulat Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta, Bom Malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Pengeboman Makassar 2002, Bom Bandar Udara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Pengeboman bus Poso 2004, Pengeboman pasar Tentena 2005, Mutilasi 3 siswi Poso, dan Bom Bali 2005 serta serangan-serangan lainnya yang dilakukan Jemaah Islamiyah. Bersama dengan Noordin Mohammad Top, mereka adalah salah satu dari buronan yang paling dicari di Indonesia dan Malaysia.
Pendidikan dan awal hidup
Azahari tinggal di Australia selama empat tahun sejak tahun 1975. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Norwood High School. Ia lalu melanjutkan diri ke Universitas Adelaide, mempelajari teknik mesin, tetapi tidak sempat lulus dan kemudian di Universitas Teknologi Malaysia di Johor, Malaysia. Setelah memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Reading di Inggris dalam bidang valuasi properti (property valuation), ia mengajar di Universitas Teknologi Malaysia.
Disebutkan bahwa Azahari mulai tertarik dengan gerakan Islam radikal saat ia bertemu dengan pemimpin-pemimpin Jemaah Islamiyah, termasuk Abu Bakar Ba'asyir. Ia lalu mendapatkan pelatihan pembuatan bom di Afganistan dan diperkirakan bahwa ialah yang menulis panduan-panduan pembuatan bom milik Jemaah Islamiyah, yang digunakan dalam Pengeboman konsulat Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta, Bom Malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Bali 2002, Bom Bandar Udara Soekarno-Hatta 2003 dan Bom JW Marriott 2003. Pada tahun 1999, Azahari mulai berlatih dalam kamp-kamp gerakan separatis Muslim di Mindanao, Filipina. Pada tahun 2001, ia dan beberapa orang lainnya berhasil melarikan diri dari Malaysia saat polisi melancarkan serangan terhadap Kumpulan Militan Malaysia dan Jemaah Islamiyah.
Pasca aksi-aksi terorisme
Pada Juli 2004, Noordin dan Azahari lolos dari penyergapan yang dilakukan kepolisian di sebuah rumah sewaan di sebelah barat Jakarta, di mana para ahli forensik kemudian menemukan sisa-sisa bahan peledak yang digunakan dalam Bom Kedubes Australia 2004. Para tetangga mendeskripsikan Azahari dan Noordin sebagai orang yang tertutup dan sebelum pengeboman melihat mereka memasukkan kotak-kotak yang berat ke dalam van yang sejenis dengan yang digunakan dalam pengeboman.[1] Sebelumnya pada tahun 2003, mereka juga berhasil lolos dari penyergapan lainnya di Bandung.
Keduanya adalah rekan dekat mantan ketua operasi Jemaah Islamiyah, Riduan Isamuddin (lebih dikenal dengan nama Hambali) yang ditangkap di Thailand pada tahun 2003.[1] Setelah Hambali tertangkap, mereka beralih menuruti perintah pengganti Hambali bernama Dulmatin yang diyakini sedang bersembunyi di Filipina.
Sebelum Bom Marriott, Azahari diketahui pernah tinggal dengan Asmar Latin Sani, yang disebut sebagai sang pengebom bunuh diri dalam peristiwa Marriott, di rumahnya di Bengkulu.[2]
Pada tanggal 9 November 2005, dilaporkan bahwa Azahari tewas meledakkan diri dalam sebuah penyergapan yang dilaksanakan kelompok Detasemen Khusus 88 di Kota Batu karena ingin menghindar dari ditangkap oleh polisi. Harian The Star di Malaysia menyebut bahwa Azahari selalu mengenakan bom di seluruh tubuhnya sebagai persiapan jika akan tertangkap.[3] Namun menurut versi Polri, Azahari mati ditembak anggota kepolisian, bukan meledakkan diri. Polisi kemudian memastikan identifikasi Azahari setelah dicocokkan dengan sidik jari dari kepolisian Indonesia dan Kepolisian Kerajaan Malaysia.
Lihat pula
Referensi
Pranala luar