Kemandirian pangan di IndonesiaKemandirian pangan (bahasa Inggris: food resilience) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah "Kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat".[1] Berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pangan, definisi kemandirian menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yaitu "Kemampuan untuk mencegah bencana dan krisis serta mengantisipasi, menyangga, menampung atau memulihkannya secara tepat waktu, efisien, dan berkelanjutan. Ini termasuk melindungi, memulihkan, dan meningkatkan sistem mata pencaharian dalam menghadapi ancaman yang berdampak pada pertanian, pemenuhan nutrisi, ketahanan pangan, dan keamanan pangan".[2] Kemandirian pangan berbeda dengan ketahanan pangan dalam hal sumber untuk mencukupi kebutuhan primer tersebut. Kemandirian pangan mensyaratkan kemampuan produksi dalam negeri, sedangkan ketahanan pangan tidak mempersoalkan sumber pasokan pangan; bisa berasal dari dalam negeri atau merupakan hasil impor.[3] Berdasarkan definisi kemandirian pangan menurut UU Pangan, beberapa aspek yang terkait dengan usaha mencukupi kebutuhan pangan setiap warga negara secara bermartabat, yaitu kemampuan produksi pangan dalam negeri, keanekaragaman produk atau komoditas pangan, serta pemanfaatan sumber daya alam dan manusia, termasuk kearifan lokal masyarakat. Kemandirian pangan bisa hilang atau terganggu yang mengakibatkan krisis pangan. Penyebab kondisi tersebut antara lain bencana alam, tidak ada atau hilangnya kedaulatan pangan, dan krisis politik yang mempengaruhi produktivitas pertanian. Faktor bencana sebagai penyebab misalnya terjadi letusan gunung berapi yang merusak areal pertanian dalam skala luas, kekeringan berkepanjangan, atau perubahan iklim.[4][5] Kemudian, pada masa lalu penjajahan telah menyebabkan hilangnya kedaulatan pangan dengan adanya kebijakan tanam paksa oleh pemerintah Belanda[6] dan terbatasnya hak untuk mengakses sumber pangan akibat monopoli perdagangan beras oleh tentara pendudukan Jepang.[7] Pergolakan politik juga termasuk faktor yang dapat mengganggu kemandirian pangan jika hal itu menyebabkan aktivitas pertanian terganggu.[8] Impor pangan mungkin diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan dan atau untuk mencegah terjadinya krisis pangan, tetapi hal itu tidak mencerminkan adanya kemandirian pangan.[3] Setelah Indonesia merdeka, wacana kemandirian pangan dan sejenisnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah seperti masalah ketahanan pangan, kedaulatan pangan,dan sembako (sembilan bahan pokok: beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan daging ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan bawang putih, gas elpiji dan minyak tanah, serta garam).[9][10][11] Selain itu tema ini kerap menjadi perbincangan politik pada masa kampanye Pemilu atau pembahasan akademisi ketika berlangsung kondisi tertentu seperti saat terjadinya pandemi Covid-19.[12][13] Sebagai sebuah cita-cita atau tujuan, kemandirian pangan dalam hal proses produksinya yaitu kegiatan bertani/ bercocok tanam sering dihadapkan pada sejumlah permasalahan atau tantangan seperti regenerasi petani, ketersediaan infrastruktur, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sistem pemasaran, dan perubahan iklim.[14][15][16] Di sisi lain, tingginya angka impor komoditas pangan menjadi indikator masih belum tercapainya kemandirian pangan sebagaimana yang diamanatkan UU Pangan.[17][18] SejarahKemandirian pangan diperlukan untuk menopang keberlanjutan kehidupan manusia.[2] Namun sejarah mencatat kemampuan tersebut bisa hilang dalam bentuk terjadinya kelaparan besar[19] sebagai akibat dari bencana alam, gagal panen dan atau krisis politik.[20][21] Bencana alamKondisi geografis dan geologis Indonesia yang berada dalam area Cincin Api Pasifik dengan sejumlah lempeng tektonik dan gunung berapi, berpotensi besar menimbulkan bencana alam. Letusan gunung Krakatau di Selat Sunda, terbesar di antaranya tahun 1883, mampu menyebabkan tsunami, kelaparan akibat kerusakan lahan pertanian, dan berkurangnya biodiversitas.[22] Letusan Tambora tahun 1815 berdampak hingga ke Eropa. Selain menyebabkan kelaparan massif, erupsi tersebut mengganggu penyelenggaraan pemerintahan sejumlah negara.[23] Pada tahun 2004, tsunami Aceh akibat gempa tektonik dangkal di dasar Samudera Hindia berkekuatan M 9,3 menghancurkan sejumlah lokasi di pesisir barat Sumatra dan mengakibatkan sekitar 230.000 korban jiwa.[24] Pascabencana, warga yang selamat memerlukan bantuan pangan dan pengobatan bagi yang cedera. Kerusakan areal pertanian juga perlu segera diperbaiki agar produktivitas pertanian kembali normal. Akibat tsunami di Aceh, lahan pertanian di lima dari sembilan kabupaten mengalami kerusakan berat yaitu di Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireun, dan Aceh Jaya. Lumpur laut dan kadar garam tinggi menyebabkan daya hantar listrik (DHL) tanah mencapai >10 dS/m (desi Siemens per meter) untuk lumpur dan 2 – 12 dS/m untuk tanah permukaan. Sementara itu, tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah, dan padi mulai terganggu pertumbuhannya pada DHL 4 dS/m. Luas lahan yang rusak a.l. sawah (termasuk subsektor hortikultura) seluas 20.101 ha, ladang tegalan (tanaman palawija dan hortikultura) 31.345 ha, dan perkebunan antara 56.500 – 102.461.[25] Menurut FAO (2005), perkiraan kehilangan produksi bidang pertanian mencapai US$ 78,8 juta, dan kerusakan infrastruktur pertanian ditaksir sebesar US$ 33,4 juta. Waktu pemulihan di wilayah pantai barat, yaitu wilayah terdampak paling parah, diperkirakan selama lima tahun.[25] Peristiwa yang lain, dampak erupsi Merapi tahun 2010 terhadap lahan pertanian menimbulkan setidaknya 6 jenis kerusakan yaitu:
Kelaparan pada masa penjajahanPenjajahan menyebabkan hilangnya kedaulatan sebuah bangsa dan termasuk di dalamnya kedaulatan pangan. Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dari Inggris menerapkan pajak tanah yang cukup besar yaitu sekitar 2/5 atau 40 persen dari hasil panen tahunan petani di Jawa. Pada masa penjajahan Belanda, Gubernur Jenderal Van den Bosch dari Belanda memulai penerapan cultuurstelsel atau tanam paksa yang menyebabkan petani terbelenggu sejumlah kewajiban dan akhirnya banyak lahan pertanian terlantar. Kondisi tersebut kemudian menimbulkan bencana kelaparan yang parah. Di sisi lain peraturan tanam paksa dan dampak yang ditimbulkannya telah mendorong diadakannya penelitian tentang pangan.[27][28][29] Pada masa penjajahan Jepang, kebutuhan logistik mendorong Militer Jepang memberlakukan monopoli perdagangan beras lewat kumiai (semacam koperasi) sehingga rakyat terpaksa mencari alternatif pangan yang tidak layak.[30] Ketersediaan pangan pascakemerdekaanPada tanggal 21 Mei 1948, pemerintahan Soekarno-Hatta membentuk Panitia Agraria Jogyakarta. Panitia ini kemudian membentuk Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat dan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) yang kemudian ketiganya berubah menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) dan Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Yayasan-yayasan tersebut selanjutnya dilebur menjadi Badan Urusan Logistik (BULOG) pada tahun 1967.[31] Soekarno merintis program swasembada beras lewat YBPP dan juga mengeluarkan kebijakan diversifikasi makanan pokok dengan memasukkan komoditas jagung sebagai pengganti beras. Meskipun stabilisasi harga dan ketersediaan pangan sudah diupayakan tetapi hal itu ternyata belum cukup. Tahun 1969-1982 merupakan periode terjadinya kelangkaan beras yang mencapai puncaknya pada tahun 1972. Beberapa tahun kemudian setelah dilakukan pembangunan infrastruktur pertanian (periode 1970-an sampai 1980-an), BULOG berhasil menjamin ketersediaan beras dalam negeri dan meraih status swasembada pada tahun 1985. Namun pencapaian tersebut oleh sebagian kalangan dianggap semu dan hanya sesaat saja.[31][32][33] Kebijakan pangan saat iniSetelah era Soeharto, Indonesia kembali mengeklaim tidak mengimpor beras pada masa pemerintahan Joko Widodo yaitu tahun 2016, kemudian tahun 2018-2021. Direktur Utama BULOG, Budi Waseso, mengatakan bahwa setelah dirinya diangkat menjadi dirut, Indonesia tidak mengimpor beras terkecuali beras khusus untuk kebutuhan hotel dan restoran tertentu.[34][35]
Meskipun demikian, keberhasilan tersebut tidak mendapat perhatian istimewa seperti pada era Soeharto tahun 1985. Hal itu tampaknya terjadi karena persoalan impor belum sepenuhnya tuntas terkait total 11 komoditas pangan strategis[37], yaitu: beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng. Di luar 11 komoditas pangan strategis yang ketersediaan dan harganya dipantau secara harian, beberapa produk pangan lain juga kerap menyita perhatian. Sejumlah produk seperti daging, kedelai, jagung, gandum, bahkan singkong dan garam, masih mengandalkan pasokan impor.[38][39][40] Indonesia sendiri memiliki sejumlah komoditas ekspor pangan andalan yaitu kelapa sawit, kopi, kakao, udang, sarang burung walet, cengkih, dan makanan olahan seperti permen dan mi instan.[41][42] Baru-baru ini terjadi kelangkaan minyak goreng selama beberapa bulan yang dinilai ironis karena Indonesia adalah eksportir kelapa sawit (salah satu bahan baku minyak goreng) terbesar di dunia.[43][44] Selain itu, kelangkaan kedelai tahun 2021 kembali terulang yang menyebabkan produksi tempe dan tahu terhambat.[45][46] Penyebab kelangkaan minyak goreng menurut analisis pengamat, produsen, dan Komisi Ombudsman antara lain karena kenaikan harga minyak nabati (crude palm oil) dunia yang mendorong terjadinya ekspor, kebijakan pengembangan biodiesel (B30), terjadinya pandemi Covid-19, penetapan kebijakan DMO (Domestic Mandatory Obligation) dan harga DPO (Domestic Price Obligation) yang memerlukan waktu penyesuaian, hingga masalah distribusi di dalam negeri.[47][48][49] Pada tahun 2009, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menduga produsen minyak goreng membentuk kartel.[50] Dugaan serupa kembali menyeruak saat ini dan KPPU membawa masalah kelangkaan minyak goreng ke ranah hukum.[51] Adapun penyebab kelangkaan kedelai yaitu tingginya permintaan di negara lain, terlambatnya distribusi dari negara produsen, dan produksi kedelai lokal yang terbatas.[52][53][54] Kebutuhan kedelai dalam negeri sebanyak 80-95 persen atau sekitar 3 juta ton per tahun merupakan hasil impor dari Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina. Sebelumnya, Indonesia pernah tercatat swasembada kedelai pada tahun 1992.[53][54][55] Belum reda masalah minyak goreng dan kedelai, kini muncul lagi peristiwa invasi Rusia ke Ukraina yang dikhawatirkan mengganggu pasokan gandum dan mempengaruhi produksi terigu dalam negeri.[56] Visi Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045Pemerintah memberi perhatian besar pada masalah pangan dan inflasi yang ditimbulkannya.[57][58][59][60] Pada tahun 2016 Presiden Jokowi menyampaikan himbauan agar seluruh jajaran pemerintahan berperan dalam mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Pembiayaan program ini antara lain dilakukan melalui Dana Desa dengan permintaan alokasi tahun 2018 sebesar Rp 120 triliun (disetujui Rp 60 triliun[61]); yang terus naik sejak tahun sebelumnya 2015-2017. Fokus pendanaan terutama ditujukan untuk pembangunan embung, pembuatan pintu air, perbaikan irigasi, dan pembagian 40 ribu pompa air di pelosok pedesaan. Pengelolaan air dianggap penting karena disadari bahwa salah satu kunci keberhasilan pertanian adalah ketersediaan air. Strategi lain yang diinginkan Jokowi yaitu agar petani tidak bekerja secara individu tetapi harus membentuk korporasi BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) untuk meningkatkan produksi dan efektivitas pemasaran komoditas pertanian.[34][62] Sejumlah infrastruktur pertanian juga dibangun yaitu lewat rehabilitasi 142 ribu hektar jaringan irigasi, dan pembuatan 35 bendungan.[63] Food estateMomentum pandemi Covid-19 yang membuka kemungkinan terjadinya krisis pangan semakin mendorong pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional secara mandiri. Pada tahun 2020 Kementan meluncurkan program Food Estate sebagai Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 (sebelumnya 2015-2019). Menurut Badan Litbang Pertanian (2011), food estate adalah sebuah konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas.[64][65][66] Program yang memanfaatkan lahan gambut di sejumlah lokasi ini diharapkan dapat meningkatkan cadangan dan menyediakan kebutuhan pangan secara melimpah dengan harga murah sekaligus dapat menyejahterakan petani. Luas lahan yang direncanakan sekitar 2 juta ha, yaitu: 1,2 juta ha di Papua (potensi 1,69 juta ha), 180 ribu ha di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (prioritas),10 ribu ha di Kalimantan Timur, 120 ribu ha di Kalimantan Barat, 190 ribu ha di Maluku, 60 ribu ha di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (prioritas), 235 ribu ha di Sumatera Selatan (potensi 1,74 juta ha), dan 5 ribu ha di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (prioritas).[64][67]
Program food estate atau lumbung pangan sejatinya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya program ini pernah dilakukan pada era Soeharto melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) Kalteng (1996) dan era Susilo Bambang Yudhoyono di Bulungan, Kaltim (2011), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua (2011), Ketapang, Kalbar (2013), dan Lampung; yang berakhir dengan kegagalan.[65][69] Selain dibayangi kegagalan pada proyek sebelumnya, sejumlah kritik dilayangkan pengamat terkait eksploitasi lahan yang mengancam kelestarian hutan, risiko ekonomi terkait anggaran dan kalkulasi bisnis, risiko kesehatan terkait potensi kebakaran lahan gambut, risiko kekeringan dan banjir, pengabaian keberlanjutan fungsi lahan, dan potensi tekanan terhadap warga dengan adanya pelibatan Kemenhan sebagai leading sector.[64][65][69] Kritikan lain yang menyangkut terlibatnya investor swasta pernah disampaikan pada tahun 2014 yaitu adanya potensi bias kepentingan pemodal, kejelasan regulasi distribusi komoditas, kesenjangan kepemilikan lahan, jebakan monokultur tanaman yang mengancam keanekaragaman genetik, dan skeptisme kesejahteraan petani.[70] Saran dan evaluasi terhadap pelaksanaan program food estate yang diajukan sejumlah kalangan antara lain yaitu agar pemerintah menghindari kebijakan antroposentris menyangkut perubahan ekosistem, memprioritaskan diversifikasi, memperbaiki rantai distribusi pangan, dan memberdayakan petani kecil.[64][69][70] Selain itu pemerintah juga diminta mengkaji ulang pertanian di lahan gambut sub-optimal (kesuburan rendah), menyesuaikan jenis komoditas dengan karakteristik tanah dan kondisi sosial masyarakat, intensifikasi lahan, dan mengembangkan program ketahanan pangan alternatif yang berbasis kampung.[65][71][72] Potensi sumber pangan dan pengembangannyaIndonesia memiliki faktor-faktor sumber daya yang lengkap untuk memproduksi dan mengelola ketersediaan pangan secara mandiri. Kondisi alam dengan iklim tropis mencakup daratan yang subur dan laut dengan keanekaragaman biota yang sangat kaya. Matahari bersinar sepanjang tahun dan sumber air yang relatif mencukupi hampir di seluruh wilayah sehingga dapat mendukung penyelenggaraan usaha-usaha pertanian. Sumber daya alamData Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan pertanian produktif di Indonesia pada tahun 2019 yaitu seluas 25,1 juta ha. Pada tahun yang sama juga tercatat 7,46 juta ha luas lahan baku sawah dan sebanyak 10,66 juta ha luas panen padi (terdapat sawah dengan panen lebih dari 1 kali dalam 1 tahun).[73][74][75] Jumlah tersebut berarti telah terjadi penyusutan, terutama di Jawa yang dianggap lebih subur, jika dibandingkan data tahun 2010.[74] Sementara itu untuk potensi kelautan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas laut 5,8 juta km persegi.[76] Dari segi kekayaan flora dan fauna, alam Indonesia merupakan sebuah mega-biodiversitas dengan jumlah keanekaragaman yang tinggi. Untuk potensi pangan, riset Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) Kementan menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, serta 450 jenis buah.[3] Kemudian untuk beras sebagai makanan pokok, di Indonesia tercatat lebih dari 8.000 varietas padi lokal. Jumlah tersebut kemudian menurun drastis setelah terjadi Revolusi Hijau yang lebih menekankan penanaman padi High Yielding Rice Varieties (HYVs).[77] Diversifikasi pangan dan kearifan lokalMasyarakat Indonesia mengenal banyak jenis makanan pokok selain beras, antara lain yaitu: jagung, kentang, sagu, pisang, labu kuning, singkong, ubi jalar, dan sukun. Di sejumlah daerah juga dikenal beberapa makanan olahan tradisional sebagai sumber karbohidrat seperti sakelan di Temanggung, papeda di Maluku dan Papua, tiwul di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, nasi singkong di Cireundeu, nasi gegok di Trenggalek. Kemudian ada pula aruk, oyek, atau kufu yang merupakan hasil fermentasi dari singkong.[78][79][80][81] Sementara itu, menurut Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian sendiri ada 7 jenis pangan alternatif nonberas yang akan dikembangkan yaitu jagung, singkong, talas, kentang, pisang, porang dan sagu.[82] Meskipun pangan alternatif cukup banyak, angka ketergantungan terhadap beras di Indonesia masih tinggi jika dibanding beberapa negara lain. Angka konsumsi beras di Indonesia masih sekitar 95 persen, sedangkan di Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Singapura berada di bawah 80 persen.[82] Tantangan dan permasalahanDengan potensi sumber daya yang besar tersebut, angka indeks pangan Indonesia masih belum memuaskan. Menurut Global Food Security Index, Indonesia menempati ranking 69 dari 113 negara yang terdata. Sementara beberapa negara tetangga di Asia dan Australia menempati posisi yang lebih baik. Australia dan Korea Selatan menempati ranking 32; Malaysia, 39; Thailand, 51; Vietnam, 61; dan Filipina, 64. Pada data yang sama, bahkan untuk skor sumber daya alam dan kemandirian, posisi Indonesia berada pada urutan paling bawah.[83] Sebagai produsen komoditas pangan, Thailand memiliki sejumlah prestasi yang merupakan hasil dari pengelolaan pertanian yang maju. Catatan yang diraih Thailand antara lain: peringkat 1 dunia sebagai negara penghasil tuna kalengan, nanas olahan, jagung manis, singkong, santan kelapa, dan durian; peringkat 2 negara pengekspor gula; tiga besar negara pengekspor beras; dan lima besar negara produsen udang dan daging ayam. Thailand yang dijuluki "kitchen of the world" juga masuk 10 besar negara penghasil produk halal dunia.[84] Sejumlah permasalahan yang menghambat kemajuan pertanian di Indonesia kerap dikupas oleh pemerintah, media, hingga pengamat dan akademisi. Beberapa di antaranya yaitu: alih fungsi lahan pertanian; kerusakan infrastruktur/jaringan irigasi; mahalnya upah tenaga kerja; tingginya susut hasil panen; dan terbatasnya kebutuhan pupuk dan benih spesifik lokasi.[85] Untuk kondisi di luar Jawa, penghambat kemajuan pertanian di Kalimantan Timur yaitu:
Pandemi, perubahan iklim, dan peran teknologi informasiPada dasarnya tantangan atau permasalahan pangan di atas bisa dikatakan sebagai permasalahan klasik karena pembahasannya hampir mirip dari tahun ke tahun. Kemajuan teknologi dan perubahan kondisi lingkungan di sisi lain telah menghadirkan tantangan yang lebih kompleks seperti potensi pandemi yang berulang, perubahan iklim, hingga disrupsi teknologi informasi. Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa rentannya sistem pertanian negara-negara pada umumnya, sedangkan potensi terulangnya bencana serupa semakin terbuka. Coronavirus sendiri memperlihatkan sejumlah varian yang terus berubah dengan kemampuan spesifik yang juga berbeda-beda.[87][88][89] Hal itu tentu memerlukan sebuah antisipasi ketersediaan pangan yang terus menerus untuk menyesuaikan antara kebutuhan yang konsisten meningkat dengan tingkat produktivitas yang mungkin terganggu. Kesulitan semakin bertambah apabila dikaitkan dengan perubahan iklim yang berdampak pada cuaca yang sulit diprediksi dan respon ekosistem yang masih belum diketahui.[90][91] Kemajuan teknologi informasi yang terjadi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk menanggapi permasalahan. Akan tetapi jika pengelolaan dan penguasaannya masih lambat maka teknologi tersebut hanya akan memperlebar kesenjangan.[92][93] Salah satu faktor yang mendorong keberhasilan Thailand dalam meraih pencapaian produktivitas pertaniannya adalah teknologi informasi.[84] FAO menyampaikan beberapa pedoman tentang bagaimana sebuah negara membangun kemandirian pangan sambil mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi. Meskipun kasus yang dibahas terjadi di kawasan Afrika Timur Dekat dan Afrika Utara, tetapi poin-poin yang terangkum dalam empat pilar di dalamnya dapat diterapkan di negara lain. Keempat pilar tersebut yaitu:[2]
Beberapa teknologi informasi terkini disadari semakin penting perannya dalam berbagai aspek termasuk pangan dan pertanian. Teknologi seperti Internet untuk Segala (Internet of Things), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), Human-Machine Interface, teknologi robot dan sensor, serta teknologi 3D Printing akan semakin meningkat penggunaannya dalam era industri 4.0. Tidak hanya mekanisasi pertanian yang terhubung secara real time, kemampuan para praktisi di lapangan juga dituntut untuk menyesuaikan diri.[94][95] Referensi
|