Jembatan Kretek 2 memiliki total panjang penanganan sepanjang 1,6 mil (2,6 km), panjang tersebut termasuk jalan pendekat untuk jembatan tersebut. Sedangkan untuk panjang jembatan utama tanpa jalan pendekat adalah 554 m (1.817 ft 7 in).[2][3]
Jembatan Kretek 2 memiliki 4 lajur yang terdiri dari 2 jalur utama dengan lebar 24 m (78 ft 9 in) yang masing-masing jalurnya terdapat 2 lajur. Selain itu, terdapat 2 jalur yang dikhususkan untuk pesepeda dan pejalan kaki. Jalur pesepeda dan pejalan kaki dibuat di pinggir kiri dan kanan jembatan, namun tidak berupa trotoar melainkan pedestarian yang dipisahkan dengan barrier dengan masing-masing lebar 1,2 m (3 ft 11 in) yang dikedua sisinya dilapisi batu andesit.[4]
Jembatan Kretek 2 menggunakan struktur atas PCI girder dengan bentang utama 40 m (131 ft 3 in) dengan pondasi bored pile untuk jembatan utamanya. Sementara untuk jembatan pendekat menggunakan slab on pile dengan pondasi tiang pancang yang berdiameter 80 cm (2 ft 7+1⁄2 in).[2] Jembatan ini juga diperindah dengan dihiasi oleh ornamen khas DI Yogyakarta, seperti railing berwarna hijau dengan motif burung dan jembatan utama dilengkapi dengan artlighting.
Di atas jembatan, terdapat tugu atau monumen berbentuk bajak sawah atau dalam bahasa Jawa disebut Luku yang menjadi ciri khas dari Jembatan Kretek 2. Tugu yang berbentuk alat bajak sawah raksasa warna merah tersebut menjadi semacam tugu selamat datang di DI Yogyakarta ketika melewati jalur selatan. Tugu tersebut terdapat ornamen bunga dan kalimat aksara Jawa khas yang dibuat dari bahan kuningan untuk kenteng dan motifnya. Alur motif memakai GRC Skin, galvalum skin dan galvanize.
Ramah Gempa
Jembatan Kretek 2, yang dibangun atas Sungai Opak, terletak sekitar 50 meter dari pusat gempa Yogyakarta pada tahun 2006 dan sangat dekat dengan patahan aktif, yaitu Sesar Opak. Sesar aktif Opak membentang sepanjang sekitar 25 mil (40 km) dari timur laut hingga barat daya cekungan Yogyakarta, di barat Pegunungan Kidul. Sebelum memulai pembangunan jembatan, Kementerian PUPR melakukan riset dengan menggunakan pemindaian geolistrik dan studi paleoseismologi. Tim yang dipimpin oleh Danny Hilman Natawidjaja, seorang pakar sesar aktif dari Indonesia, melakukan uji paritan.[5]
Tujuan dari riset tersebut adalah untuk menentukan titik mitigasi, termasuk memindahkan posisi pembangunan jembatan sejauh 20 m (65 ft 7+1⁄2 in) ke arah barat dari jalur sesar, agar dapat menghindari kerusakan fatal ketika terjadi gempa. Tim Danny melakukan pengujian dengan menggunakan metode downhole seismic untuk menguji struktur bawah permukaan tanah berdasarkan variasi nilai kecepatan gelombang tekan dan gelombang geser.[5]
Selama proses pembangunan, kolom-kolom dinding Mechanically Stabilized Earth (MSE) dibuat pada bagian oprit atau timbunan tanah yang menghubungkan jalan pendekat dengan jembatan. Tanah di sekitarnya yang berpotensi mengalami likuifaksi diganti dengan tanah pengganti (soil replacement), dan daya tahan tiang pancang (pile slab) dengan panjang 28 m (91 ft 10+1⁄2 in) dan diameter 80 cm (2 ft 7+1⁄2 in) dianalisis untuk menghadapi gempa.[5]
Untuk meningkatkan ketahanan terhadap gempa, struktur penyambung girder dilengkapi dengan bantalan karet inti timbal atau Lead Rubber Bearing (LRB) yang memiliki kapasitas meredam energi gempa lebih tinggi (high dumping capacity) dibandingkan dengan bantalan karet biasa. Bantalan karet jenis ini diproduksi oleh Indonesia dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan struktur yang ditopangnya ke posisi semula setelah gempa berakhir.[5]
Pada proses pembangunannya, perencanaan Jembatan Kretek 2 turut melibatkan budayawan lokal di DI Yogyakarta sangat penting dalam konsep perencanaan desain awal jembatan. Jembatan ini mengusung konsep filosofi Kejawen, "Among Tani Dagang Layar" dengan stilisasi bentuk "Laku Urip Kang Utama" (LUKU).[5][8] Stilisasi bentuk monumen Luku atau bajak sawah sebagai wujud agrarisnya budaya dan masyarakat Yogyakarta, terpadu dengan stilisasi bentuk pikulan yang bermakna kerja keras dan saling bekerja sama sebagai bagian dalam semangat pembangunan Yogyakarta. Ditambahkan stilisasi dari tiang layar kapal nelayan pantai selatan yang bermakna penyatuan agraris dan maritim sekaligus bentuk masyarakat Yogyakarta yang nyawiji baik secara mempersatukan alam maupun bersatu dengan Tuhannya untuk kemakmuran dan kemaslahatan bersama.[8]