Nama "Kewek" sebenarnya berasal dari Bahasa Belanda, Kerk Weg yang berarti "jalan menuju ke gereja" (dalam hal ini adalah Gereja Santo Antonius, Kotabaru). Namun karena lidah masyarakat yang sulit mengucapkan bahasa Belanda, maka disebut "Kewek".[1]
Sejarah
Keberadaan jembatan ini tidak lepas dari dibangunnya kawasan Kotabaru pada tahun 1920-an. Pemerintah Belanda membangun akses jalan menyeberangi sungai Code dari arah Kotabaru menuju Malioboro, dikarenakan saat itu jembatan Gondolayu menjadi satu-satunya akses menuju Malioboro, dan memiliki rute yang lebih jauh.[1]
Jauh sebelum jembatan Kewek berdiri, telah ada jembatan kereta api yang dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS) dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun 1872, yang disebut pula dengan jembatan Kleringan. Pembangunan jalan tersebut dibuat melintasi bawah jembatan kereta api yang telah dibangun tersebut dengan struktur viaduk, kemudian berbelok ke barat hingga sampai di Malioboro. Pembuatan viaduk bertujuan agar tidak terjadi penumpukan kendaraan akibat perlintasan kereta api, mengingat kawasan Kotabaru dan sekitarnya sudah cukup padat saat itu.[1]
Setelah kemerdekaan, nama jalan Kerk Weg diubah menjadi jalan Abu Bakar Ali, namun sebutan "kewek" untuk jembatan ini masih melekat di masyarakat hingga masa kini.
Pada awal dekade 2000-an, pemerintah Kota Yogyakarta membuat jalur baru di sisi barat jembatan kewek guna memecah kepadatan lalu lintas dari arah Malioboro menuju Kotabaru. Arus lalu lintas pun dibuat menjadi dua arah. Kemudian pada 2011, dibangun kembali jembatan baru di sisi utara, yang juga bertujuan untuk memecah kepadatan lalu lintas. Pembangunan jembatan baru tersebut selesai pada tahun baru 2012, dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwana X pada tanggal 3 Januari 2012 dengan nama "Jembatan Amarta".[2]
Deskripsi
Jembatan Kewek memiliki konstruksi gelagar, dengan panjang 17.80 m dan lebar 11.90. Jembatan ini membelah tiga kemantren di kota Yogyakarta.[3]
Saat ini, yang tersisa hanyalah jembatan milik NIS, sedangkan jembatan milik SS telah dibongkar ketika pendudukan Jepang di Indonesia dan hanya menyisakan tiang di sisi timur saja. Jembatan milik NIS telah beberapa kali mengalami renovasi dan perawatan, pekerjaan total terakhir pada 2011 ketika penyelesaian jalur ganda lintas Yogyakarta–Solo Balapan.[4]
Jalur rel yang melintasi jembatan Kleringan juga telah dielektrifikasi pada tahun 2020, sebagai sarana pendukung kereta rel listrikLin Yogyakarta.