Ghali (kapal)Ghali, gali, atau gale mengacu pada beberapa jenis kapal mirip galai dari kepulauan Nusantara. Kapal jenis ini baru muncul setelah tahun 1530-an. Di Nusantara, sebelumnya sudah ada beberapa kapal seperti galai, beberapa dengan cadik. Ghali (atau istilah yang serupa) adalah hasil dari dampak pembuatan kapal asli Mediterania, khususnya yang diperkenalkan oleh orang Arab, Persia, Turki Utsmani, dan Portugis. Namun demikian, istilah tersebut dapat merujuk pada kapal laut Mediterania yang dibuat oleh penduduk setempat, atau kapal laut lokal yang memiliki pengaruh Mediterania.[1] EtimologiKata ghali dan variasinya berasal dari kata Portugis galé, yang berarti galai.[2] Alasan penambahan huruf h adalah karena ditulis dalam teks-teks Melayu menggunakan aksara jawi, dengan ghain awal (غ) seperti dalam ghurab.[1] Sejarah dan deskripsiAda beberapa jenis kapal yang menggunakan nama serupa di kepulauan Nusantara, deskripsi dan konstruksi masing-masing kapal belum tentu sama. MelakaKarya sastra Melayu Hikayat Hang Tuah menceritakan sebuah galai kerajaan (ghali kenaikan raja) legendaris dari kesultanan Melaka yang disebut Mendam Berahi. Panjangnya 60 gaz (180 kaki atau 54.9 m)[catatan 1] dan lebar 6 depa (36 kaki atau 11 m).[3] Ia dipersenjatai dengan 7 meriam.[4][5][6] Namun, Mendam Berahi sepertinya hanyalah kapal fiksi, karena ia hanya disebut dalam literatur fiksi Hikayat Hang Tuah, dan manuskrip Melayu lain tidak pernah menyinggung keberadaannya.[7][8] Meskipun HHT mengisahkan cerita berlatar kesultanan Melaka (1400–1511), ia sebenarnya merefleksikan kejadian yang terjadi pada kesultanan Johor pada abad ke-17, lebih rincinya berdasar pada masa keemasan Johor pada 1640-an hingga 1670-an. Tokoh utamanya, Hang Tuah, adalah tokoh fiktif, namun kisahnya ditulis berdasarkan kisah nyata Laksamana Abd al-Jamil (Tun Abdul Jamil) dari Johor.[9] Catatan Portugis sezaman menunjukkan bahwa galai muncul di armada lokal pada akhir tahun 1530-an, sebelumnya kapal andalan armada Melayu adalah lancaran. Baru pada tahun 1560-an penggunaan ghali semakin meluas, kebanyakan digunakan oleh orang Aceh, bukan Melayu. Kata “ghali” sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Portugis, sehingga keberadaan ghali pada masa kejayaan kesultanan Melaka merupakan anakronisme.[1][10] Orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus untuk armada perang mereka.[catatan 2] Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.[5][1] Indonesia bagian timurDi Indonesia timur, jenis kapal yang disebut galé (arti harfiah: galai) diadaptasi oleh Spanyol dan Portugis untuk digunakan di Filipina dan Indonesia timur. Mereka panjang dan sempit, kapal menyempit ke depan dan belakang. Panjangnya 7 atau 8 kali lebarnya. Mereka memiliki dek yang membentang sepanjang perahu dan didorong oleh dayung yang panjang. Sebuah dek khusus dibangun untuk para prajurit, dan di sepanjang galai ditempatkan perisai untuk melindungi para pendayung dan para prajurit.[13] AcehKesultanan Aceh terkenal dengan penggunaan galai yang berasal dari Ottoman/Turki Utsmani. Menariknya istilah Aceh untuk galai adalah ghali, yang berasal dari kata Portugis galé, bukan dari istilah Turki untuk itu (Kadırga).[1] Ketika menyerang bangsa Portugis di Melaka pada tahun 1568, Kesultanan Aceh mengerahkan 4 galai besar dengan panjang 40–50 m, dan berpendayung 190 orang dalam 24 baris dayung, dipersenjatai dengan 12 camelo besar (3 di kiri dan kanan haluan, serta 4 di buritan), 1 basilisk (di ujung haluan), 12 falcon, dan 40 laras meriam putar.[1] Saat itu meriam, senjata api, dan peralatan perang lainnya datang secara rutin dari Jeddah, dan orang Turki juga mengirimkan ahli militer, ahli galai, dan teknisi.[14] Rata-rata galai Aceh pada paruh kedua abad ke-16 memiliki panjang sekitar 50 meter, memiliki dua tiang, dengan layar persegi dan layar atas, bukan layar lateen seperti di galai Portugis.[1][15] Ia akan didorong oleh 24 dayung di setiap sisi, membawa sekitar 200 orang di atas kapal, dan dipersenjatai dengan 20 meriam (dua atau tiga yang besar di haluan, sisanya meriam putar yang lebih kecil).[1] Pada serangan tahun 1575, Aceh menggunakan 40 galai 2 tiang dengan kapten Turki membawa 200–300 tentara yang berasal dari Turki, Arab, Deccani, dan Aceh. Galai negara (ghorab istana) milik Aceh, Daya, dan Pedir dikatakan membawa 10 meriam, 50 lela, dan 120 cecorong (tidak termasuk istinggar). Galai yang lebih kecil membawa 5 meriam, 20 lela, dan 50 cecorong.[16] Sumber lokal dan sumber Barat menyebutkan bahwa Aceh memiliki 100–120 galai yang siaga kapanpun (tidak termasuk fusta dan galiot yang lebih kecil), tersebar dari Daya (pesisir Barat) ke Pedir (pesisir Timur). Sebuah galai yang ditangkap Portugis pada 1629 sangat besar, dan dilaporkan Aceh memiliki 47 buah totalnya. Panjangnya 100 m dan lebarnya 17 m, memiliki 3 tiang dengan layar persegi dan layar atas, digerakkan oleh 35 dayung dan dapat membawa 700 orang. Dipersenjatai 18 meriam besar (lima buah 55-pounder di haluan, satu 25-pounder di buritan, sisanya 17 dan 18-pounder), 80 falcon dan banyak meriam putar. Kapal ini disebut "Espanto do Mundo", yang mungkin merupakan terjemahan dari kata Cakradonya (Cakra Dunia). Orang Portugis melaporkan bahwa galai-galai ini jauh lebih besar daripada segala macam kapal yang pernah dibuat di Dunia Kristen, dan bahkan kimbulnya (bagian belakangnya) memiliki tinggi menyamai kastil (kimbul) galiung.[1] JawaDua gambar dari Belanda tahun 1598 dan 1601 menggambarkan galai Banten dan galai Madura. Masing-masing bertiang 2 dan bertiang 1. Berbeda dari galai-galai Laut Tengah, galai-galai Nusantara memiliki panggung tempat bertempur yang disebut "balai", tempat berdiri para prajurit. Balai merupakan salah satu bagian yang lazim dijumpai pada kapal-kapal perang di Nusantara.[17][1] Galai-galai dan kapal-kapal mirip galai Jawa dibangun sesuai dengan instruksi dari orang-orang Turki yang tinggal di Banten.[18][19] SulawesiPada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Gowa memiliki galle' (atau galé) sepanjang 40 m dan selebar 6 m, yang mampu menampung 200–400 orang. Galle' Kesultanan Gowa lainnya memiliki panjang 23–35 m.[20][21][22] Kapal-kapal itu digunakan oleh raja Gowa untuk melakukan pelayaran dan perdagangan laut antar pulau di Nusantara, baik di barat (Melaka, Riau, Mempawah, Kalimantan) atau di timur (Banda, Timor, Flores, Bima, Ternate, dan Australia Utara).[23][21] Karaeng Matoaja, kepala pemerintah Gowa dan pangeran Tallo, diantara yang lainnya, memiliki sembilan galai, yang dibangunnya pada tahun ketika Buton ditaklukkan (1626). Kapal-kapal itu disebut galé. Dimensi mereka adalah 20 depah (36,6 m) panjangnya dan 3 depah (5,5 m) lebarnya. Mereka memiliki tiga kemudi: Dua kemudi Indonesia di kedua sisi buritan, dan sebuah kemudi aksial Eropa. Tidak aneh jika Makassar memiliki galai pada abad ke-17. Gowa telah memelihara hubungan persahabatan dengan Portugis sejak 1528.[19] Kapal jenis ini biasanya dimiliki oleh orang-orang kaya dan raja-raja Bugis dan Makassar. Untuk perdagangan antar pulau, kapal gale Makassar dianggap sebagai kapal paling kuat, dan oleh karena itu digunakan oleh bangsawan Bugis-Makassar dan Malaya untuk mengangkut rempah-rempah dari Maluku. Penggunaan gale meningkatkan perdagangan maritim di Gowa, serta pelabuhan lain di Sulawesi Selatan, sejak abad ke-16.[24][21] Catatan
Lihat juga
Referensi
|