Jukung tambangan

Tiga jukung tambangan di sungai Martapura.

Jukung tambangan adalah sebuah perahu tradisional buatan suku Banjar dari Kalimantan Selatan. Perahu tersebut biasanya dipakai untuk transportasi sungai. Perahu tersebut telah ada sejak setidaknya pertengahan abad ke-18.[1] Perahu tersebut tak lagi terlihat di Banjarmasin sejak sekitar 1950-an[2]:73 dan sekitar 1970-an di Sungai Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.[3]

Etimologi

Kata jukung digunakan sebagai istilah umum untuk mendeskripsikan semua jenis perahu, terutama untuk perahu lesung. Karenanya, pada kata bahasa Dayak dan Banjar jukung secara khusus dikaitkan dengan jenis-jenis perahu itu. Ini mungkin berasal dari kata Austronesia d’u(n)kung.[1]

Deskripsi

Pasar terapung Banjarmasin

Jukung tambangan terbuat dari kayu ulin (kayu besi Kalimantan).[4] Ada ukiran daun jaruju melayap (Acanthus ilicifolius) di dekat garis air.[5] Jukung tambangan bukanlah perahu kayu (dugout canoe), karena ia membutuhkan lunas dalam konstruksinya. Ia sengaja tidak dibangun menggunakan paku besi, tetapi menggunakan teknik pasak. Susunan papan menggunakan carvel built (susun rata). Pada pertengahan abad ke-19, atap sirap dari kayu ulin digunakan dan diperdagangkan. Atap itu diproduksi di Dusun Hulu dan dijual atau dibarter ke Banjarmasin. Atap sirap itu hanya dapat dipasang dengan sejenis paku besi, bukan dengan pasak kayu.[1] Salah satu contoh jukung tambangan memiliki panjang 12,40 meter, lebar 1,34 meter, dan kedalaman 59 cm.[6]

Peran

Fungsi jukung tambangan adalah untuk transportasi, sebelumnya hanya digunakan oleh pedagang, bangsawan, dan orang kaya. Tetapi sejak awal abad ke-20 (atau setidaknya akhir abad ke-19), mereka telah secara luas digunakan oleh orang biasa untuk transportasi penumpang, reuni keluarga, acara pemakaman, pernikahan, dan banyak lagi.[1] Mereka juga mengambil bagian dalam pasar terapung setempat. Pasar terapung orang Banjar sudah ada sejak setidaknya tahun 1600-an.[7]

Selama Perang Banjar (1859–1906), jukung tambangan digunakan oleh para pejuang Banjar, antara lain, ketika mereka menyerang Belanda di Margasari pada malam 16 Desember 1861, dan digunakan untuk melarikan diri ke sungai Jaya, anak sungai Nagara.[8][9]

Galeri

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d H. Achmad Mawardi, cultural and environmental observer; advisor of LMMC (Lambung Mangkurat Museum Community) Kalimantan Selatan, in his paper: “Tinggalan Arkeologi Jukung di Kalimantan Selatan Bukti Prototipe Jukung Banjar Masa Kini, dan Pasar Terapung Sebagai Objek Pariwisata Berbasis Arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA), 2011.
  2. ^ Syarifuddin and M. Saperi Kadir (1990). Mengenal Koleksi Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat.
  3. ^ Petersen, Erik (2000). Jukung Boats from the Barito Basin, Borneo. Roskilde Denmark: The Viking Ship Museum. 
  4. ^ Sjamsuddin, Helius (2001). Pegustian dan Tumenggung. Akar Sosial, Politik, Etnis dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: PT. Balai Pustaka. 
  5. ^ Triatno, Agus, Siti Hadijah and H. Syarifuddin (1998). Perahu Tradisional Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat.
  6. ^ Anonim (3 February 2010). "Perahu Tambangan Tambah Koleksi Museum Lambung Mangkurat". Barito Post.
  7. ^ Ditjen Pariwisata (1991). Indonesia. Jakarta: Depparpostel. 
  8. ^ Ideham, M. Suriansyah, H. Syarifuddin, HA. Gazali Usman, M. Zainal Arifin Anis, and Wajidi (2003). Sejarah Banjar. Banjarmasin: Balitbangda Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. 
  9. ^ Saleh, M. Idwar (1985). Lukisan Perang Banjar. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat.