Cetbang (awalnya disebut sebagai bedil, juga dikenal sebagai warastra atau meriam coak) merupakan senjata jenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. Ada 2 jenis utama dari cetbang: Cetbang bergaya timur yang bentuknya mirip meriam Cina dan diisi dari depan, dan cetbang bergaya barat yang berbentuk mirip meriam Turki dan Portugis, diisi dari belakang.[1]:97-98
Etimologi
Kata "cetbang" tidak ditemukan dalam bahasa Jawa kuno, ia kemungkinan berasal dari kata Cina chongtong (銃筒), yang juga mempengaruhi kata Korea 총통 (chongtong).[1]:93 Istilah "meriam coak" berasal dari bahasa Betawi yang berarti meriam terbuka/terkuak, merujuk pada bagian belakangnya.[2] Ia juga bisa secara sederhana disebut sebagai coak.[3]:10
Cetbang dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai bedil.[1]:93[4][5] Ia juga disebut sebagai warastra, yang bersinonim dengan bedil.[6]:246 Warastra adalah kata Jawa kuno, ia berarti panah sakti, panah ampuh, panah dahsyat, atau panah unggul.[7]:108, 132
Deskripsi
Ada 2 jenis utama cetbang:
Cetbang bergaya timur
Pendahulunya dibawa oleh pasukan Mongol-Cina ke Jawa, sehingga bentuknya mirip meriam dan meriam tangan Cina. Cetbang bergaya timur kebanyakan dibuat dari bahan perunggu dan merupakan meriam isian depan. Ia menembakkan proyektil berupa panah, namun peluru bulat dan proyektil co-viative[catatan 1] juga dapat digunakan. Panah ini dapat berujung pejal tanpa peledak, maupun disertai bahan peledak dan pembakar di belakang ujungnya. Di bagian dekat belakang, terdapat kamar atau bilik bakar, yang merujuk kepada bagian yang menggelembung dekat belakang meriam, dimana mesiu ditempatkan. Cetbang ini dipasang pada dudukan tetap, ataupun sebagai meriam tangan yang diletakkan di ujung galah. Ada bagian mirip tabung di bagian belakang meriam. Pada cetbang jenis meriam tangan, tabung ini digunakan sebagai tempat untuk menancapkan galah.[1]:94 Cetbang pelontar panah pastilah berguna dalam pertempuran laut terutama sebagai senjata yang digunakan untuk melawan kapal (dipasang di bawah perisai meriam haluan atau apilan), dan juga dalam pengepungan (siege), karena kemampuan proyektilnya untuk diisi peledak dan bahan pembakar.[1]:97
Cetbang bergaya barat
Cetbang bergaya barat berasal dari meriam prangi Turki yang datang ke Nusantara setelah tahun 1460. Sama seperti prangi, cetbang ini merupakan meriam putar isian belakang yang terbuat dari perunggu maupun besi, menembakan peluru tunggal berbentuk bulat maupun peluru sebar (peluru kecil berjumlah banyak). Untuk mencapai kecepatan penembakan yang tinggi, dapat digunakan 5 kamar pengisian peluru secara bergantian.[1]:94-95, 98
Untuk cetbang jenis meriam putar isian belakang, yang terkecil mungkin memiliki panjang sekitar 60 cm, dan yang terbesar sekitar 2,2 m. Kaliber mereka berkisar antara 22 mm sampai 70 mm.[1]:97 Mereka adalah meriam yang ringan dan mudah dipindahkan, sebagian besar dari mereka dapat dibawa dan ditembak oleh satu orang,[8]:505 namun ia tidak ditembakkan dari bahu seperti bazooka karena daya tolak balik yang terlalu tinggi dapat mematahkan tulang manusia.[1]:97 Meriam ini dipasang di garpu putar (disebut cagak), bagian bawahnya dipasang ke lubang atau soket di kota mara kapal atau tembok benteng.[9] Sebuah "kemudi" atau lebih tepatnya popor dari kayu dimasukkan ke lubang bagian belakang meriam dengan rotan, untuk memungkinkannya diarahkan dan dibidik.[8]:505
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap, meriam putar, atau dipasang pada pedati meriam. Cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap (Portugis: pangajaua atau pangajava) dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung di kapal yang biasa disebut balai (lihat gambar kapal di bawah). Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.[6]:241[10]:162
Sejarah
Masa Majapahit (1300-an sampai 1478)
Teknologi senjata bubuk mesiu diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Jayakatwang pada tahun 1293. Saat itu, tentara Mongol menggunakan senjata yang disebut 炮 (Pào) ketika menyerang pasukan Daha.[11]:1–2[12][13] Senjata ini ditafsirkan berbeda oleh peneliti, ia mungkin merupakan manjanik yang melempar bom petir, senjata api, meriam, atau roket. Tidak menutup kemungkinan bahwa senjata bubuk mesiu yang dibawa pasukan Mongol-Cina berjumlah lebih dari 1 jenis.[1]:97
Stamford Raffles menulis dalam bukunya The History of Java bahwa pada tahun 1247 saka (1325 M), meriam telah banyak digunakan di Jawa terutama oleh Majapahit. Tercatat bahwa kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang meminta perlindungan pada Majapahit harus menyerahkan meriam mereka kepada Majapahit.[14]:106[15]:61 Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1331–1359) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[16]:57
Kerajaan tetangga Majapahit, Sunda, dicatat menggunakan bedil selama pertempuran Bubat tahun 1357. Kidung Sunda pupuh 2 bait 87–95 menyebutkan bahwa orang Sunda memiliki juru-modya ning bedil besaring Bahitra (pembidik / operator meriam besar pada kapal-kapal) di sungai dekat alun-alun Bubat. Pasukan Majapahit yang berada di dekat sungai itu tidak beruntung: Mayat-mayat mereka hampir tidak bisa disebut mayat, mereka cacat, tercabik-cabik dengan cara yang paling mengerikan, lengan dan kepala terlempar. Bola meriam dikatakan dilepaskan seperti hujan, yang memaksa pasukan Majapahit mundur di bagian pertama pertempuran.[17]:34, 104-105
Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) mengunjungi Jawa pada 1413 dan membuat catatan tentang adat setempat. Bukunya, Yingyai Shenlan, menjelaskan bahwa meriam ditembakan dalam upacara pernikahan Jawa ketika sang suami mengawal istri barunya ke rumah perkawinan bersamaan dengan suara gong, drum, dan petasan.[6]:245Haiguo Guangji (海国广记) dan Shuyu zhouzi lu (殊域周咨錄) mencatat bahwa Jawa sangat luas dan padat penduduknya, serta tentara berbaju zirah dan meriam tangan (火銃—huǒ chòng) milik mereka mendominasi lautan timur.[18]:755[19][20]
Karena dekatnya hubungan maritim Nusantara dengan wilayah India barat, setelah tahun 1460 jenis senjata bubuk mesiu baru masuk ke Nusantara melalui perantara orang Arab. Senjata ini sepertinya adalah meriam dan bedil tradisi Turki Usmani, misalnya prangi, yang merupakan meriam putar isian belakang.[1]:94-95
Munculnya Islam (1478–1600)
Menurut catatan Portugis yang datang ke Melaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. Orang-orang Jawa di Melaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang.[21]Duarte Barbosa mencatat berlimpahnya senjata berbasis bubuk mesiu di Jawa sekitar tahun 1514. Orang Jawa dianggap sebagai ahli pembuat senjata api dan penembak artileri yang baik. Senjata yang ditemukan di sana diantaranya meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya.[22]:254[23]:198[24]:224 Ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, meriam putar yang diisi dari belakang (cetbang) dan meriam putar isian depan (lela dan rentaka) ditemukan dan dirampas oleh Portugis.[25]:50 Pada tahun 1513, armada Jawa yang dipimpin oleh Pati Unus, berlayar untuk menyerangMelaka Portugis "dengan banyak artileri yang dibuat di Jawa, karena orang Jawa terampil dalam perpandaian besi dan pengecoran, dan dalam semua pekerjaan dengan besi, melebihi apa yang mereka miliki di India".[10]:162[26]:23
De Barros dan Faria e Sousa menyebutkan bahwa saat jatuhnya kesultanan Melaka (1511), Albuquerque merebut 3.000 dari 8.000 artileri. Di antaranya, 2.000 terbuat dari kuningan dan sisanya dari besi, dalam gaya meriam berço Portugis. Semua artileri memiliki pedati meriam yang tepat yang tidak dapat disaingi bahkan oleh Portugal.[24]:279[26]:22[27]:127-128Afonso de Albuquerque menganggap pembuat senjata api dan meriam di Melaka berada di level yang sama dengan Jerman. Namun, dia tidak menyebutkan etnis apa yang membuat senjata api dan meriam Melaka.[27]:128[28]:221[29]:4 Duarte Barbosa menyatakan bahwa pembuat arquebus di Melaka adalah orang Jawa.[30]:69 Orang Jawa juga membuat meriam secara mandiri di Melaka.[21] Anthony Reid berpendapat bahwa orang Jawa menangani banyak pekerjaan produktif di Melaka sebelum tahun 1511 dan di Pattani pada abad ke-17.[30]:69
Wan Mohd Dasuki Wan Hasbullah menjelaskan beberapa fakta akan keadaan persenjataan bubuk mesiu di Melaka dan negara Melayu lainnya sebelum kedatangan bangsa Portugis:[31]:97-98
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa bedil, meriam, dan bubuk mesiu dibuat di negara-negara Melayu.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa bedil pernah digunakan oleh Kesultanan Melaka sebelum penjarahan Portugis, bahkan dari sumber-sumber Melayu sendiri.
Berdasarkan laporan banyaknya meriam yang ditemukan dan ditangkap oleh Portugis, mereka masuk dalam kategori artileri kecil (meriam kecil), jenis inilah yang lebih banyak digunakan oleh orang Melayu.
Meriam yang ditemukan di Melaka berasal dari berbagai jenis: esmeril (meriam putar 1/4 sampai 1/2 pon,[32] mungkin merujuk pada cetbang atau lantaka), falconet (meriam putar cor perunggu yang lebih besar dari esmeril, 1 sampai 2 pon,[32] mungkin merujuk pada lela), saker berukuran sedang (meriam panjang atau culverin diantara 6–10 pon),[33][34]:385 dan bombard (meriam yang pendek, gemuk, dan berat).[25]:46 Orang Melayu juga memiliki 1 buah meriam besar yang cantik, dikirim oleh raja Kalikut.[25]:47[26]:22
Perlu dicatat bahwa, meskipun memiliki banyak artileri dan senjata api, senjata kesultanan Melaka umumnya dan sebagian besarnya dibeli dari orang Jawa dan Gujarat, di mana orang Jawa dan Gujarat bertugas sebagai operator senjata. Pada awal abad ke-16, sebelum kedatangan Portugis, orang Melayu kekurangan senjata bubuk mesiu. Sejarah Melayu menyebutkan bahwa pada tahun 1509 mereka tidak mengerti "mengapa peluru membunuh", menunjukkan ketidakbiasaan mereka menggunakan senjata api dalam pertempuran, jika tidak dalam upacara.[29]:3 Sebagaimana dicatat Sejarah Melayu:
Setelah datang ke Melaka, maka bertemu, ditembaknya dengan meriam. Maka segala orang Melaka pun hairan, terkejut mendengar bunyi meriam itu. Katanya, "Bunyi apa ini, seperti guruh ini?". Maka meriam itu pun datanglah mengenai orang Melaka, ada yang putus lehernya, ada yang putus tangannya, ada yang panggal pahanya. Maka bertambahlah hairannya orang Melaka melihat fi'il bedil itu. Katanya: "Apa namanya senjata yang bulat itu maka dengan tajamnya maka ia membunuh?" [35]:254-255
Buku Lendas da India karya Gaspar Correia dan Asia Portuguesa karya Manuel de Faria y Sousa mengkonfirmasi catatan Sejarah Melayu. Mereka mencatat kisah serupa, walaupun tidak se-spektakuler yang digambarkan dalam Sejarah Melayu.[36]:120–121[37]:43Hikayat Hang Tuah menceritakan ekspedisi Melaka ke benua Rum (Kekaisaran Ottoman) untuk membeli bedil dan meriam-meriam besar setelah pertemuan pertama mereka dengan Portugis pada 1509 M, menunjukkan kekurangan mereka akan senjata api dan senjata mesiu.[38]:205–248[catatan 2] Ekspedisi Melaka ke negara Rum (Turki Utsmani) untuk membeli meriam sebenarnya tidak pernah terjadi, ia hanya disebutkan dalam sastra fiktif Hikayat Hang Tuah, yang sebenarnya didasarkan pada pengiriman serangkaian kedutaan Aceh ke Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-16.[39]
Saat Portugis datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai berço (dibaca: berso), istlah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (breech-loading swivel gun) buatan manapun, sedangkan orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso.[10]:151
Masa kolonial (1600–1945)
Ketika Belanda merebut benteng Somba Opuorang Makassar (1669), mereka merebut 33 meriam perunggu besar dan kecil, 11 meriam besi cor, 145 base (meriam putar isian belakang) dan 83 tabung pengisiannya, 60 senapan lontak, 23 senapan sundut, 127 laras senapan lontak, dan 8483 peluru.[34]:384
Meriam putar isian belakang perunggu yang disebut ba'dili,[40][41] dibawa oleh pelaut Makassar dalam pelayaran mencari teripang ke Australia. Matthew Flinders mencatat penggunaan meriam kecil di atas perahu Makassar di Northern Territory pada tahun 1803.[42] Vosmaer (1839) menulis bahwa para nelayan Makassar kadang-kadang membawa meriam kecil mereka ke darat untuk membentengi kubu pertahanan yang mereka bangun di dekat kampung pengolahan mereka untuk mempertahankan diri melawan orang Aborigin yang bermusuhan.[43] Dyer (sekitar tahun 1930) mencatat penggunaan meriam oleh orang Makassar, khususnya meriam isian belakang dari bahan perunggu dengan kaliber 2 inci (50,8 mm).[44]:64[3]:10
Amerika bertempur melawan suku Moro yang dilengkapi dengan meriam putar isian belakang di Filipina pada tahun 1904.[8]:505 Meriam-meriam ini biasanya disebut sebagai lantaka atau lantaka isian belakang.[45]
Cetbang yang masih ada
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Cetbang.
Saat ini beberapa meriam cetbang tersimpan di:
Museum Bali, Denpasar, Bali. Meriam Bali kategori cetbang ini terdapat di pelataran Museum Bali.
Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat. Meriam yang tersimpan disana diperkirakan berasal dari abad ke-15, terbuat dari perunggu dan berdimensi panjang 37,4375 inci (95,1 cm).[46]
Museum Luis de Camoes di Makau mempunyai cetbang yang sangat berornamen. Tahun pembuatannya tidak diketahui.
Museum Talaga Manggung, Majalengka, Jawa Barat. Berbagai cetbang masih terawat dengan baik. Adanya ritual mandi pusaka, termasuk cetbang, menjadikan cetbang sangat terawat.[47]
Beberapa cetbang dapat ditemukan pada Museum Anthropologi Nasional Filipina di Manila.
Museum Fatahillah memiliki meriam coak yang dilabeli sebagai "Meriam Cirebon", Pada dudukan tetap yang berornamentasi. Ukuran pajangannya adalah PxLxT 234x76x79 cm.[48]
Beberapa contoh dan bagian-bagian cetbang dapat ditemukan di Rijksmuseum, Belanda, dilabeli sebagai lilla (meriam lela).
Sebuah cetbang ditemukan di sungai Beruas, Perak, pada 1986. Sekarang ditampilkan di museum Beruas.[49]
Berbagai meriam cetbang juga ada di:
Pantai Dundee, Northern Territory, Australia pada 2 Januari 2010, dikenal sebagai "Dundee Beach swivel gun". Dari hasil riset oleh Department of Arts & Museum, Northern Territory Government disimpulkan bahwa meriam putar yang ditemukan terbuat dari perunggu diperkirakan berasal dari tahun 1750, sebelum datangnya penjelajah Inggris James Cook.[50] Setelah dibandingkan dengan meriam kecil lain dari Eropa maupun Asia, meriam kecil tersebut lebih mendekati model meriam kecil dari Asia Tenggara (meriam Ternate, meriam Makassar, meriam Bali), dan kemungkinan besar itu berasal dari Makassar. Tidak ada dalam komposisi kimianya, gaya, atau bentuknya yang cocok dengan meriam putar isian belakang Portugis.[3]:11
Dusun Bissorang, Kabupaten Kepualauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat peninggalan meriam kuno berjenis cetbang yang diperkirakan berasal dari zaman Majapahit. Meriam ini dalam kondisi yang cukup baik dan dirawat oleh warga setempat. Warga setempat menyebut cetbang ini ba'dili atau Papporo Bissorang.[40][41]
Desa Lubuk Mas di kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, Indonesia. Merupakan peninggalan era Mataram Islam (1587–1755) yang ada di Sumatera Selatan.[51]
Cetbang beroda empat dapat ditemukan di Istana Panembahan Matan, Mulia Kerta, Kalimantan Barat.[52]
Dua meriam dapat ditemukan di desa Elpa Putih, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Diperkirakan berasal dari kerajaan-kerajaan Islam Jawa abad 16–17.[53]
Dua buah meriam bernama Ki Santomo dan Nyi Santoni dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan (di Cirebon). Mereka dilabeli sebagai "Meriam dari Mongolia".[54] Ada keraguan mengenai tempat asal dari meriam tersebut, karena bentuknya mirip naga Cina.[1]:97
Galeri
Meriam tangan Jawa bergaya Yuan, kemungkinan besar diproduksi secara lokal di Jawa.
Meriam tangan dengan pegangan dari zaman Majapahit.
Meriam gaya Cina yang ditemukan di Jawa, terbuat dari perunggu dan beratnya sekitar 15 kg. Asalnya tidak diketahui, mungkin buatan Cina atau tiruannya yang dibuat di Jawa. Ia dapat digunakan sebagai meriam anti-kapal atau sebagai mortir, menembakkan peluru bundar besar atau bom.
Meriam kuno jenis cetbang yang ditemukan di Pulau Selayar (Foto: Sharben Sukatanya—Selayar)
Cetbang yang tersimpan di pelataran Museum Bali. Panjang: 1833 mm, kaliber: 43 mm, panjang ekor: 315 mm, bagian terlebar: 190 mm (pada cincin pangkal).
Bedil naga yang ditemukan di Great Barrier Reef. Berasal dari Indonesia dan diproduksi antara tahun 1630 dan 1680. Meriam ini menunjukkan bahwa kapal-kapal Asia mengunjungi garis pantai Australia timur sebelum pelayaran James Cook.
Meriam keramat perunggu di Jawa, dengan blok pengisian terpasang, sekitar 1866. Wanita-wanita Melayu datang berbicara dengan makhluk halus penunggu meriam ini, dan berdoa meminta anak.
"Lilla" isian belakang, Rijksmuseum, sekitar tahun 1750–1850. Panjang 180,5 cm, lebar 21,5 cm, kaliber: 4,5 cm, berat: 120,8 kg.
Meriam coak yang dijuluki "Meriam Cirebon" dari Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).
Dua meriam di Keraton Kasepuhan, berlabel "Meriam dari Mongolia". Kepala naganya lebih mirip dengan naga Cina (long) daripada naga Jawa.
Catatan
^Salah satu jenis peluru sebar—saat ditembak mengeluarkan semburan api, serpihan dan butiran peluru, dan bisa juga panah. Ciri-ciri proyektil ini adalah pelurunya tidak menutupi keseluruhan lubang laras. Needham, Joseph (1986). Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 7, Military Technology: The Gunpowder Epic. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 9 dan 220.
^Maka kata Laksamana, "Adapun hamba sekalian datang ini dititahkan oleh Sultan Melaka membawa surat dan bingkisan tanda berkasih-kasihan antara Sultan Melaka dan duli Sultan Rum, serta hendak membeli bedil dan meriam yang besar-besar. Adalah kekurangan sedikit bedil yang besar-besar di dalam negeri Melaka itu. Adapun hamba lihat tanah di atas angin ini terlalu banyak bedil yang besar-besar.”
Senjata serupa
Chongtong, meriam Korea yang diadaptasi dari meriam dinasti Yuan dan Ming
^ abcManguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268.
^Mardiwarsito, L. (1992). Kamus Indonesia-Jawa Kuno. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
^ abcManguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. In G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (pp. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
^Schlegel, Gustaaf (1902). "On the Invention and Use of Fire-Arms and Gunpowder in China, Prior to the Arrival of European". T'oung Pao. 3: 1–11.
^Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 208.
^Reid, Anthony (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal. 255.
^Raffles, Thomas Stamford (1830). The History of Java. London: John Murray, Albemarle Street.
^Yusof, Hasanuddin (September 2019). "Kedah Cannons Kept in Wat Phra Mahathat Woramahawihan, Nakhon Si Thammarat". Jurnal Arkeologi Malaysia. 32: 59–75.
^Pramono, Djoko (2005). Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN9789792213768.
^ abFurnivall, J. S. (2010). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge University Press. Halaman 9: "when Portuguese first came to Malacca they noticed a large colony of Javanese merchants under its own headman; the Javanese even founded their own cannon, which then, and for long after, were as necessary to merchant ships as sails."
^Jones, John Winter (1863). The travels of Ludovico di Varthema in Egypt, Syria, Arabia Deserta and Arabia Felix, in Persia, India, and Ethiopia, A.D. 1503 to 1508. Hakluyt Society.
^Reid, Anthony (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven and London: Yale University Press.
^ abCharney, Michael (2012). Iberians and Southeast Asians at War: the Violent First Encounter at Melaka in 1511 and After. Di Waffen Wissen Wandel: Anpassung und Lernen in transkulturellen Erstkonflikten. Hamburger Edition.
^Kheng, Cheah Boon (1998). Sejarah Melayu The Malay Annals MS RAFFLES No. 18 Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition. Academic Art & Printing Services Sdn. Bhd.
^Vosmaer, J. N. (1839). "Korte beschrijving van het Zuid- Oostelijk schiereiland van Celebes, in het bijzonder van de Vosmaers-Baai of van Kendari". Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschapen. 17: 63–184.
^Dyer, A. J. (1930). Unarmed Combat: An Australian Missionary Adventure. Edgar Bragg & Sons Pty. Ltd., printers 4-6 Baker Street Sydney.