Meriam Si Jagur dibuat oleh orang Portugis bernama Manoel Tavares Baccaro di Macau, China, yang kemudian oleh Portugis dibawa ke Melaka. Di Macau, meriam ini oleh Portugis ditempatkan di benteng St. Jago de Barra (St. Jago = nama orang suci, de Barra = dekat pantai, karena itu kemudian mendapat julukan "Si Jagur").[1]
Si Jagur dipindahkan dari Macau ke Malaka pada suatu waktu di abad ke-16. Kemudian dibawa ke Batavia oleh Belanda setelah merebut Malaka pada 1641. Pada awalnya oleh VOC meriam tersebut ditempatkan di Benteng Batavia, untuk menjaga pelabuhan. Kemudian dipindahkan ke magasin artileri dekat Jalan Tongkol. Setelah Kasteel Batavia dihancurkan oleh Daendels tahun 1809 dipindahkan ke Museum Oud Batavia (Museum Wayang). Namun kemudian dipindahkan lagi dan ditempatkan di bagian utara Taman Fatahillah, diantara gedung kantor pos Jakarta Kota dan Kafe Batavia. Moncong meriam diarahkan ke arah Pasar Ikan, lurus ke arah Jl. Cengkeh, membelakangi Balai Kota (Stadhuis). Awalnya Meriam Si Jagur terletak di dekat Kota Intan. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, meriam tersebut dipindah ke halaman utara Museum Fatahillah.[2]
Konon pula Meriam Si Jagur memiliki kembaran Meriam Ki Amuk milik Kesultanan Banten yang saat ini meriam tersebut berada di halaman Masjid Agung Banten. Si Jagur memiliki panjang 3,85 m dan kaliber 25 cm. Berat meriam adalah 3,5 ton.[1]
Legenda
Terdapat beberapa legenda tentang Si Jagur ini. Pertama, Raja Pajajaran memiliki seorang puteri cantik jelita, tetapi terjangkit suatu penyakit aneh. Dari selangkangannya keluar sinar ajaib, sehingga para pangeran yang ingin mempersuntingnya lari mengurungkan niat. Raja lalu membuat sayembara, siapa yang berhasil menyembuhkan putrinya akan dinikahkan. Hampir semua dukun dan orang pintar di Pajajaran datang berlomba-lomba untuk menyembuhkan sang putri, tetapi semuanya gagal. Hingga suatu hari, datang utusan Kompeni yang menawarkan diri. Baginda raja menyetujui dengan syarat agar menukarnya dengan tiga pucuk meriam. Pihak Kompeni menyanggupinya dan menyerahkan ketiga pucuk meriam tersebut, yang diberi nama Ki Amuk, Nyai Setomi dan Si Jagur.[2]
Kisah kedua, masih di Kerajaan Pajajaran atau Sunda. Raja Pajajaran bermimpi buruk. Ia mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya. Sang Raja memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh tersebut. Apabila gagal akan dihukum mati. Dalam mengupayakan senjata ampuh tersebut, Kiai Setomo dan istrinya Nyai Setomi bersemedi di dalam rumah. Setelah sekian lama Sang Patih tidak kelihatan, Sang Raja memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo. Namun tidak ditemukan siapapun dalam rumah itu, kecuali dua buah pipa aneh yang besar. Ternyata Kiai Setomo dan Nyai Setomi telah berubah wujud menjadi dua buah meriam seperti dalam mimpi Sang Raja.[2]
Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar kemana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram. Sultan Agung memerintahkan agar kedua meriam itu dibawa ke Mataram, tetapi meriam jantan Kiai Setomo menolaknya, bahkan melarikan diri ke Batavia. Warga Batavia gempar menyaksikan benda tersebut dan menganggap benda yang dilihatnya itu barang suci. Mereka lalu menutupinya dengan sebuah payung untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan dan menamakannya Kiai Jagur atau Sang Perkasa. Sedangkan Nyai Setomi diboyong ke Mataram.[2]
Kisah ketiga, menurut buku Voyage Autour du Monde oleh Ludovic Marquis de Beauvoir, adalah bahwa meriam dibawa ke posisinya (sekitar 2 mil dari pantai Batavia) oleh beberapa gelombang pasang luar biasa. Wanita-wanita Melayu datang berbicara dengan makhluk halus penunggu meriam ini, dan berdoa meminta anak. Orang-orang Melayu mengelilinginya dan menawarkan dupa serta keranjang penuh bunga, dan kepala-kepala ayam jantan petarung dipotong di depan meriam itu.[3]