"Kapal jung Jawa" beralih ke halaman ini. Untuk organisasi zaman Belanda, lihat Jong Java.
Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Sunda; dan pada abad-abad setelahnya, juga oleh pelaut Pegu (suku Mon) dan Melayu. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya,[1][2] ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda.[3]:71 Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Samudra Atlantik pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40 sampai 2000 ton mati,[catatan 1] dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton pada zaman Majapahit. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Kalinyamat menggunakan kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.[4]:59-62[5]:308[6]:155Kesultanan Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang.[7]:1354
Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus.[catatan 2] Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.[5]:270-277, 290-291, 296-301[10]:148, 155
Etimologi
Terdapat pandangan berbeda tentang apakah asal namanya itu dari dialek Cina, atau dari kata bahasa Jawa. Kata jong, jung atau junk dapat berasal dari kata Cina chuán (船, berarti perahu atau kapal).[11][12][13] Namun, Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal Cina untuk nama itu.[14][15]:38 Yang lebih mendekati adalah "jong" (ditransliterasikan sebagai joṅ) dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya kapal.[16]:748 Catatan pertama jong dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari sebuah prasasti di Bali yang berasal dari abad ke-11 M.[17]:82 Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata Cina mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal,[18]:60 dengan demikian secara praktis menolak asal kata Cina untuk nama itu.[19]:266Undang-Undang Laut Melaka, peraturan maritim yang disusun oleh pemilik kapal Jawa di Melaka pada akhir abad ke-15,[20]:39 sering menggunakan kata jong untuk menyebut kapal pengangkut barang.[18]:60 Tulisan-tulisan Eropa dari tahun 1345 hingga 1609 menggunakan berbagai istilah terkait, termasuk jonque (Prancis), ioncque, ionct, giunchi, zonchi (Italia), iuncque, joanga, juanga (Spanyol), junco (Portugis), dan ionco, djonk, jonk (Belanda).[21][22]:299[18]:60
Asal kata "junk" dalam bahasa Inggris, dapat ditelusuri ke kata Portugis "junco", yang diterjemahkan dari kata Arab j-n-k (جنك). Kata ini berasal dari fakta bahwa aksara Arab tidak dapat mewakili digraf "ng".[15]:37 Kata itu dulunya digunakan untuk menunjukkan baik kapal Jawa / Melayu (jong) dan kapal Cina (chuán), meskipun keduanya merupakan kapal yang sangat berbeda. Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata "junk" (dan kata-kata serupa lainnya dalam bahasa Eropa), yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata "jong" dalam bahasa Jawa dan Melayu, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Cina saja.[15]:222[23]:204
Teknologi perkapalan Cina mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM–200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal pengarung sungai, bukan pengarung samudra.[24]:20 Untuk mengarungi samudra, orang Cina pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri K'un-lun, yang merujuk pada Indonesia,[25]:34, 35[26]:58, 59 atau lebih spesifiknya Jawa atau Sumatra.[27]:27, 29[26]:53 Orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal Cina yang besar sebagai "wangkang", sedangkan yang kecil sebagai "top".[28]:193 Ada juga sebutan dalam bahasa Melayu "cunea", "cunia", dan "cunya" yang berasal dari dialek Amoy Cina 船仔 (tsûn-á), yang merujuk pada kapal Cina sepanjang 10–20 m.[29][30]
Kata "djong" sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena huruf j ditulis sebagai "dj",[3]:71 sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong.[5]:286-287
Para pelayar Nusantara
Kepulauan Nusantara dikenal untuk produksi jung-jung besar. Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Banyak tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.[18]:57 Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik—belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".[26]:70-71
Untuk melintasi samudra, orang-orang Austronesia menciptakan layar lug yang seimbang (atau yang biasa disebut layar tanja), mungkin dikembangkan dari versi tiang tetap dari layar cakar kepiting.[31]:98-99 Sistem layar jung yang biasa digunakan di kapal Tiongkok sepertinya dikembangkan dari layar tanja.[32]:612-613
Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa.[5]:233–234, 239–240 Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.[5]:56–60, 286–291Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.[5]:241 Juga pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana siang harinya hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.[33]:248-251
Orang Austronesia menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.[34]:10 Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa.[35]:53 Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.[5]:163-164, 166-168[33]:249[36]:lxxix[37]
Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:[38]:64[39]:98-99
... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya seorang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.
— Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.
Sebuah catatan Portugis menggambarkan bagaimana orang Jawa sudah memiliki keterampilan pelayaran tingkat lanjut dan pernah berkomunikasi dengan Madagaskar pada tahun 1645:[40][41]:311[18]:57[42]:51
Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa dulunya berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan pulau São Lourenço (San Laurenzo — Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit cokelat di pulau itu yang mirip orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.
— Diogo do Couto, Decada Quarta da Asia
Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan.[43] Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu.[44] Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.[45]:114-115 Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.[46]:253-288[25]:94[26]:156
Deskripsi
Duarte Barbosa melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, disebut junco, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan dengan cara ini mereka memiliki tiga hingga empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dari anyaman rotan.[15]:37-38[47]:191-192 Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati sedangkan pada saat awal abad ke-16, jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya.[36]:145 Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan pasak dan paku kayu, tanpa menggunakan baut atau paku besi. Rangka akan dibangun belakangan (konstruksi "kulit terlebih dahulu"). Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap berada di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar.[48]:268[49]:612[50]:138 Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan menggunakan layar tanja, tetapi ia juga dapat menggunakan layar jung,[51]:37 jenis layar yang berasal dari Indonesia.[52]:191-192 Di atas tiang ada top atau gávea (semacam tempat observasi), yang digunakan untuk pengamatan dan pertempuran.[53]:217[54][55][56] Mereka sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya disambung oleh paku besi dan papannya disambung ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.[18]:58
Penggambaran historis juga menunjukan adanya bowsprit (tiang cucur) dan layar cucur, dan juga adanya stempost (linggi haluan) dan sternpost (linggi buritan).[57]:31 Memanjang dari bagian depan sampai belakang terdapat struktur seperti rumah, dimana orang-orang terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah kabin untuk nakhoda kapal.[3]:131-132[57]:31 Kabin ini berbentuk bujur sangkar dan menonjol ("menggantung") di atas buritan bawahnya yang tajam (linggi belakang), menggantung keluar di atas air seperti sebuah kakus petani.[7]:1354[58]:242-243 Haluannya juga memiliki platform persegi yang menganjur di atas linggi depan, untuk tiang cucur dan perisai meriam yang menghadap ke depan (disebut apilan atau ampilan pada bahasa Melayu).[28]:354[58]:242-243 Sebuah jong dapat membawa hingga 100 berço (artileri yang diisi dari belakang—kemungkinan merujuk pada meriam cetbang lokal).[59][60]:234-235 Seperti kapal Asia Tenggara lainnya, jong dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping. Menurut bapa Nicolau Perreira, jong mempunyai 3 kemudi, satu di setiap sisi dan satu di tengah. Ini mungkin mengacu pada jong hibrida, dengan kemudi tengah seperti yang ada di kapal Cina (kemudi tengah menggantung) atau kemudi tengah Barat (kemudi pintle dan gudgeon). Kemungkinan lainnya ini adalah dayung panjang untuk membantu manuver di pelabuhan.[48]:268, 270, 272-273[61]:24 Sebuah jong memiliki rasio lebar terhadap panjang sebesar 1:3 sampai 1:4,[5]:292 yang membuatnya masuk ke kategori "kapal bundar" (round ship).[6]:148 dan 169
Orang-orang yang menggunakan jong dalam pelayaran mereka. Dari atas ke bawah: orang Jawa, orang Pegu, dan orang Melayu. Digambarkan dalam Codex Casanatense dari tahun 1540 M.
Barbosa juga melaporkan berbagai barang yang dibawa oleh kapal-kapal ini, yang meliputi beras, daging sapi, domba, babi, dan rusa, baik dikeringkan dan maupun diasinkan, juga banyak ayam, bawang putih, dan bawang. Senjata yang diperdagangkan termasuk tombak, belati, dan pedang, semuanya dengan logam berornamen dan baja yang sangat bagus. Juga dibawa dengan mereka kemukus dan pewarna kuning yang disebut cazumba (kasumba) dan emas yang diproduksi di Jawa. Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal ini, yang meliputi Maluku, Timor, Banda, Sumatra, Melaka, Cina, Tenasserim, Pegu, Benggala, Pulicat, Koromandel, Malabar, Cambay (Khambat), dan Aden. Dari catatan penulis lain, dapat diketahui bahwa ada juga yang pergi ke Maladewa, Calicut (Kozhikode), Oman, Aden, dan Laut Merah. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal.[23]:199[47]:191-193 Dari catatan historis, diketahui bahwa kapal yang terbuat dari kayu jati dapat bertahan hingga 200 tahun.[62]:147
Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang–Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya; dibuat oleh orang Jawa.[57]:33 Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.[3]:132 Orang-orang Mon di Pegu (sekarang Bago) juga memproduksi jong dengan menggunakan kayu jati Burma.[20]:42, 282
Meskipun pada abad ke-16 orang Melayu di Malaka memiliki jong, jong-jong itu tidak dibangun oleh orang Melayu atau oleh Kesultanan Malaka. Malaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Malaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Malaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya.[63]:250[64]:39[65]:124[66]
Pada milenium pertama Masehi, dicatat kapal kolandiaphonta dalam Geography karya Claudius Ptolemaeus (sekitar tahun 150 M). Ia disebut oleh Cina sebagai K'un-lun po. Ciri-ciri kapal ini adalah berukuran besar (panjang lebih dari 50–60 m), memiliki papan berlapis, tidak bercadik, dipasang dengan banyak tiang dan layar, layar berupa layar tanja, dan memiliki teknik pengikat papan berupa ikatan dengan serat tumbuh-tumbuhan.[19]:262[27]:27-28[48]:275[25]:41[67]:347
Faxian (Fa Hsien) dalam perjalanan pulangnya ke Cina dari India (413–414) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K'un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan menjadikan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa—Jawa). Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya menaiki kapal lain yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke Cina.[68]:131-132[69]
Perkapalan laut Cina tidak ada sampai akhir dinasti Song (kapal mereka hanya sebatas kapal sungai), kapal yang digunakan orang Cina untuk mengarungi samudra pada masa sebelum ini berasal dari negeri K'un-lun (Nusantara) dan India.[70]:73, 103 Kapal jung Cina selatan didasarkan pada kapal Nusantara berlapis papan banyak dan berlunas. Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.[24]:20-21 Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka (hanya sekat kedap air), buritan dan haluan berbentuk kotak/persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.[19]:613
Pada 1178, petugas bea cukai Guangzhou Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri selatan:
Kapal yang berlayar di laut selatan (laut Cina Selatan) dan selatannya lagi (samudra Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. Babi diberi makan di dalamnya dan wine[catatan 3] difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. Pemilik kapal dapat berkata "Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya". Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas batu-batu tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih.[71]
Kata "jong" sendiri pertama kali tercatat dalam bahasa Jawa Kuno dari sebuah prasasti Bali dari abad ke-11 Masehi. Disebutkan dalam Prasasti Sembiran A IV (1065 M) bahwa para saudagar datang ke Manasa di Bali menggunakan jong dan bahitra. Catatan pertama jong dalam sastra berasal dari Kakawin Bhomantaka, tertanggal akhir abad ke-12 Masehi.[72]:222, 230, 267[17]:82
Zaman Majapahit
Sebagian dari atlas Katala yang menggambarkan kepulauan Indonesia. Di sebelah kiri ada inchi bertiang lima (kesalahan penyalinan jũchi, atau jung, dari jong Jawa). Di tengah adalah illa iana (kesalahan pencatatan illa iaua, pulau Jawa), yang diperintah oleh seorang ratu (mungkin Tribhuwana, memerintah dari tahun 1328 hingga 1350). Di sebelah kanan adalah pulau-pulau Indonesia lainnya.
Sebagian dari atlas Katala yang menggambarkan jong Jawa bertiang lima di laut Arab, 1375.
Pada 1322 pendeta Odorik dari Pordenone melaporkan bahwa dalam perjalanannya dari India ke Cina ia menumpangi kapal dari tipe zuncum membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang.[73]:360[74]:73
KidungPanji Wijayakrama-Rangga Lawe (disusun seawal tahun 1334 M)[75]:56 menyebut jong bertingkat sembilan (jong sasangawangunan) pada saat peperangan dengan Mongol (1293 M). Ia tampak seperti gunung berapi karena dekorasi awan petirnya yang berkedip-kedip dan berkilauan, layarnya dicat warna merah. Ia membawa 1000 orang dengan perlengkapan gandiwa (busur), bedil, tameng, towok (lembing), kantar (perisai panjang), dan baju rantai.[76]:91
Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.[77] Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan 300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).[78][79][80] Menurut Pramoedya Ananta Toer, kapal Majapahit yang besar dapat membawa 800–1000 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 80–100 m).[81]:9 Perhitungan modern berkesimpulan bahwa jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton dan bobot benaman 3333–3889 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m dan panjang dek 69,26–72,55 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang, berbobot mati 2000 ton dan bobot benaman 5556 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 88,56 m dan panjang dek 80,51 m.[4]:60–62 Sebuah jong Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (12,8–16 m) dan panjang 25 depa (40–50 m).[82]:28[83] Di antara jong terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.[84]:150, 153-154
Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.[85]:16-17, 76-77 Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunanring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[48]:272-276[86]:270 Ada singgungan di Nagarakretagama bahwa kapal dan perahu Majapahit dicat warna merah dan hitam.[87]:77[88]:192
Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia ("Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan") menjelaskan "perahu kuda" di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku besi atau mortir untuk menggabungkan mereka, sebaliknya mereka menggunakan serat kelapa. Mereka memiliki dua atau tiga dek, dengan "rumah" di atas dek teratas. Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah ditekan, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.[89]:33[90]:170
Biasanya, kapal utama menarik kapal "tender" (kapal yang lebih kecil) dibelakangnya untuk pendaratan. Data dari catatan Marco Polo memungkinkan untuk menghitung ukuran kapal-kapal ini, yang terbesar mungkin memiliki bobot burden 500–800 ton, hampir sama dengan kapal-kapal Tiongkok yang digunakan untuk berdagang pada abad ke-19. Kapal kecil itu sendiri mungkin bisa membawa sekitar 70 ton.[91]:54-55 Marco Polo juga mencatat bahwa mereka mungkin memiliki 2 atau 3 dari kapal tender ini, dan mungkin memiliki sekitar 10 perahu kecil untuk membantu kapal utama, seperti untuk meletakkan jangkar, menangkap ikan, dan membawa perbekalan naik. Saat berlayar, perahu kecil digantung di sisi kapal.[92]:250–251
Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419–1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton,[catatan 4] dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Tetapi beberapa dari kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.[93]
Fra Mauro dalam petanya menjelaskan bahwa sebuah jong berhasil mengitari Tanjung Harapan dan berlayar jauh ke samudra Atlantik, pada tahun 1420:
Sekitar tahun 1420 M sebuah kapal, yang disebut zoncho India, pada saat melewati samudra Hindia menuju "Pulau Pria dan Wanita", dialihkan melewati "Tanjung Diab" (Ditunjukan sebagai Tanjung Harapan di peta), melewati "Kepulauan hijau" ("isole uerde", Pulau Cabo Verde), ke "Lautan kegelapan" (samudra Atlantik) ke arah barat dan barat daya. Tidak ada apa pun kecuali udara dan air yang terlihat selama 40 hari dan menurut perhitungan mereka, mereka berlayar sejauh 2.000 mil sampai keberuntungan meninggalkan mereka. Ketika cuaca mereda mereka kembali ke "Tanjung Diab" dalam 70 hari dan mendekati pantai untuk memenuhi perbekalan mereka, para pelaut melihat telur burung yang disebut roc, yang telurnya sebesar amphora.
— Tulisan di peta Fra Mauro, 10-A13[94]
Zaman pelayaran Eropa
Pedagang Firenze, Giovanni da Empoli (1483–1517), salah satu agen Italia pertama yang bergabung dengan armada Portugis ke India pada 1503–1504,[95] mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang mendapat kamarnya sendiri.[96]:58
Saat melewati Pacem (Samudera Pasai), armada Portugis bertemu dengan dua buah jung, salah satu berasal dari Koromandel, yang segera ditangkap, dan yang lainnya dari Jawa yang beratnya sekitar 600 ton, dekat Polvoreira (kemungkinan Pulau Berhala, 160 mil dari Malaka, diantara Belawan, Medan dan Lumut, Perak). Jung itu membawa 300 orang "Moor" (Muslim) Jawa di atas kapal. Orang Portugis mengirim perahu-perahu kecil untuk mendekatinya, memerintahkannya untuk berhenti tetapi ia segera melepaskan tembakan ke armada, awaknya melemparkan tombak, panah, batu, pot bubuk mesiu, dan bahan yang mudah terbakar. Afonso de Albuquerque mendekatinya dengan seluruh armadanya. Armada Portugis mulai menembaki jung, tetapi peluru meriam mereka memantul pada lambung jung, kemudian jung itu berlayar menjauh. Kapal-kapal Portugis kemudian menembaki tiang-tiang jung yang menyebabkan mereka jatuh. Menjelang fajar, Flor de la Mar (kerakah Portugis tertinggi) berhasil mengejar dan menabrak jung tersebut, sambil menembakkan artileri yang menewaskan 40 awak jung. Jung itu begitu tinggi sehingga benteng belakang Flor de la Mar hampir tidak bisa mencapai jembatannya,[catatan 5] dan orang Portugis tidak berani menaikinya. Tembakan bombard mereka tidak merusaknya karena ia memiliki 4 lapis papan, sedangkan meriam terbesar Portugis hanya bisa menembus tidak lebih dari 2 lapis. Ketika orang Portugis mencoba untuk melemparkan kait dan menyerang dalam pertempuran jarak dekat, awak jung membakar jung mereka,[catatan 6] memaksa Portugis untuk mundur. Selama pelarian, awak jung berusaha memadamkan api dengan susah payah.[catatan 7] Setelah pertempuran selama dua hari dua malam, Albuquerque memutuskan untuk mematahkan kedua kemudi di sisi kapal, menyebabkan kapal itu menyerah. Begitu naik, Portugis menemukan pangeran Geinal (atau Zeinal), putra raja Pasai yang digulingkan oleh kerabatnya. Albuquerque berharap dia dapat dijadikan vasal untuk berdagang. Mereka juga sangat mengagumi jung dan awaknya dan menjulukinya O Bravo (Si Pemberani). Para awak Portugis memohon kepada Fernão Pires untuk membujuk Albuquerque supaya awak jung tersebut diampuni dan dipandang sebagai bawahan dari Portugal yang sama sekali tidak menyadari siapa yang sebenarnya mereka lawan. Albuquerque akhirnya menyetujui ini.[53]:216–219[100]:138–139[101]:62–64[catatan 8]
Pada akhir 1512 sampai Januari 1513 Pati Unus dari Kesultanan Demak mencoba mengejutkan Malaka Portugis, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350–600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Ekspedisi itu mungkin melibatkan sampai 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.[catatan 9][28]:23, 177 Meskipun dikalahkan, Pati Unus berlayar pulang dan mendamparkan jung perang berlapis bajanya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak.[102][103]:70–71 Dalam sebuah surat kepada Afonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, kapten armada yang menghalau Pati Unus, mengatakan:[36]:151-152
Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis)[catatan 10] yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya.[catatan 11] Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka.
— Fernão Pires de Andrade[106]:58-60
Fernão Lopes de Castanheda mencatat bahwa jung Pati Unus dibangun dengan 7 papan, yang disebut lapis dalam bahasa Jawa dan Melayu, diantara tiap papan diberi lapisan yang terdiri dari campuran aspal, kapur, dan minyak.[28]:294[107]:269 Pati Unus menggunakannya sebagai benteng terapung untuk memblokir area di sekitar Malaka.[86]:94
Orang Portugis mencatat bahwa kapal besar dan susah dikendalikan itu menjadi kelemahan. Orang Portugis berhasil menghalau serangan itu dengan kapal yang lebih kecil dan lincah, menggunakan taktik melompat naik (boarding) dan membakar jung.[28]:294 Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. Takjub akan kepiawaian orang Jawa dalam membuat kapal seperti ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa dari galangan kapal Malaka dan mengirimnya ke India, dengan harapan bahwa para pengrajin ini dapat memperbaiki kapal-kapal Portugis di India. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai di India, mereka memberontak dan membawa kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, dimana mereka disambut dengan luar biasa.[108]:102-103 Orang Portugis menggunakan jung dalam jumlah besar untuk perdagangan mereka di Asia. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem dibawah perintah raja John III,[109][catatan 12] dan sebagai kapal perang di Armada Selat Gibraltar, Esquadra do Estreito.[110]
Tomé Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang Cina membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung Cina. Cina mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat mengusir penduduk Kanton, dan pengusiran ini akan membawa kerugian besar bagi Cina. Orang Cina takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di Cina.[36]:122-123
Bagian yang dipotong dari peta Samudera Hindia di atlas Miller, menunjukkan 2 jong, satu adalah kapal dengan 6 tiang dilihat dari belakang, yang lain adalah kapal dengan 7 tiang. Kapal-kapal tersebut kemungkinan digambar sebagai rujukan kepada kapal Pati Unus, dilihat dari jumlah layar dan simbol bulan sabit yang merepresentasikan Islam.
Bagian yang dipotong dari peta Laut Cina, menunjukkan jong bertiang enam dan tiga. Ini mungkin merujuk pada jong Majapahit besar abad 14–15 atau jong tunggal Pati Unus tahun 1512–1513. Karena tidak adanya simbol bulan sabit, jong ini pasti berasal dari daerah non-muslim di Jawa, mungkin milik kerajaan Majapahit atau Sunda.
Juga menunjukkan potongan dari peta Laut Cina, yang ini adalah jong bertiang lima, mungkin dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah.
Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan berat burthen sampai dengan 400 ton dan 220 kelulus di bawah komando Kyai Demang, tetapi dengan sedikit artileri dan senjata api. Saat perbekalan menipis dan udara menjadi tercemar oleh penyakit,[23]:212[111] Tristão Vaz da Veiga memutuskan untuk mempersenjatai armada kecil sebuah galai dan empat galai kecil dan sekitar 100 tentara dan menuju ke Sungai Malaios, di tengah malam. Sesampai di sana, armada Portugis memasuki sungai tanpa terdeteksi oleh kru Jawa, dan menggunakan bom api yang dilemparkan dengan tangan membakar sekitar 30 jung dan perahu lainnya, menyerang armada Jawa secara mengejutkan, dan menangkap banyak persediaan ditengah-tengah orang Jawa yang sedang panik. Setelah pengepungan 3 bulan, pasukan Jawa mundur.[112]:395-397
Menceritakan pengalamannya saat 10 tahun di Hindia Timur (1601–1611), François Pyrard dari Raval (hidup sekitar tahun 1578–1623) menyebutkan tentang sebuah bangkai kapal jung Sunda di Guradu, atol Malé selatan, Maladewa. Kapal itu membawa semua jenis rempah-rempah dan barang dagangan lainnya dari Cina dan Sunda. Di kapal ada sekitar 500 pria, wanita, dan anak-anak, dan hanya 100 yang selamat saat ia tenggelam. Raja Maladewa menegaskan bahwa itu adalah kapal terkaya yang dapat dibayangkan. Pyrard berpikir bahwa itu adalah kapal terbesar yang pernah dilihatnya, dengan tiang yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada kerakah Portugis, dan "top" (tempat observasi di atas tiang) yang jauh lebih besar daripada yang ada di kerakah Portugis. Orang tua dari ratu Sunda adalah pemilik jung itu, keduanya meninggal saat kapal itu tenggelam. Sang ratu, yang waktu itu masih seorang anak kecil, selamat dari kejadian itu. Pyrard percaya bahwa di Indonesia, dibangun kapal yang lebih besar dan dengan bahan yang lebih baik daripada di Portugal atau tempat lain di dunia.[54][55][56]
Orang Belanda pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 mendapati bahwa jong-jong Jawa yang berlayar di Asia tenggara berukuran lebih kecil dari abad-abad sebelumnya.[23]:199 Willem Lodewycksz mencatat bahwa jung Banten berkapasitas tidak lebih dari 20 last (40 ton).[3]:133[113]:202 Laporan Willem Lodewycksz atas salah satu perahu jong yang ia lihat di Banten tahun 1596 berbunyi:
(Di buritan duduk) dua orang yang mengemudi: Karena (kapal itu) memiliki dua kemudi, satu buah pada setiap sisi, dan sebuah galah di tengah yang diikat ke kapal dengan tali di bawah buritan (…). (Jong-jong ini) ialah kapal mereka yang mereka gunakan untuk mengarungi lautan lepas ke Maluku, Banda, Borneo, Sumatra dan Malaka. Mereka memiliki tiang cucur di bagian depan, dan di dekatnya ada tiang depan, (dan ada pula) tiang utama dan tiang buritan, dan dari haluan sampai buritan ada sebuah bangunan atas serupa rumah, di mana mereka duduk terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah ruangan yang hanya untuk nakhoda jong itu, mereka tidak memiliki layar persegi kecuali untuk layar cucur, di bagian bawah lambung dibagi menjadi ruang-ruang kecil di mana mereka menyimpan muatan. Mereka masuk melalui bukaan di kedua sisi kapal dan di sinilah letak perapian/cerobong asap mereka.[3]:131[61]:33[113]:200-201[114]:248
Jong pertama yang ditemui Belanda di Banten hanya berukuran 16 last (32 ton). Jong dari Banten kebanyakan dibuat di Banjarmasin, Kalimantan.[3]:71, 132 Tapi yang pasti Lodewycksz tidak pernah melihat monster laut dari Jawa Tengah, seperti yang berasal dari Semarang dan Jepara.[18]:79 Pada bulan Desember 1664, Wouter Schouten menjelaskan jong besar di Jawa:
Mereka membangun kapal-kapal besar yang biasa disebut joncken (jong), yang oleh orang Jawa lebih banyak digunakan untuk perdagangan daripada untuk peperangan, ada juga yang begitu besar sehingga bisa membawa 200–300 last (400–600 ton). Ia dilengkapi dengan tiang cucur, tiang topan, tiang agung, dan tiang baksi; tetapi mereka tidak memiliki tiang atas, tidak ada mars (top)[catatan 13] atau layar atas seperti layar kami, tetapi layar bawah persegi besar yang terbuat dari jerami atau kulit kelapa. Dek atas jong-jong ini tetap sangat tinggi ketika kargo ditempatkan di ruang penyimpanan lambung. Penumpang kapal dibagi kepada beberapa bilik dan kamar kecil; buritannya menggantung seperti kakus petani, secara ajaib mencuat sangat jauh di atas air; Anda juga dapat menemukan kabin untuk kapten di sana atau nakhoda laut yang bertanggung jawab atas penanganan bisnis. Karena orang Cina dan orang Jawa melakukan perjalanan dengan kapal jong dan jenis kapal lainnya selama beberapa minggu atau bulan, mereka biasanya membawa serta istri dan anak-anak mereka. Ini berarti mereka merasakan ketidaknyamanan kehidupan seorang pelaut sejak usia muda.[116]:Volume III: 160
Perbedaan dengan jung Cina
Kapal jung Jawa berbeda dengan jung Cina dari kemudinya. Jung Cina memiliki 1 buah kemudi di tengah sedangkan jung Jawa memiliki 2 di bagian samping. Jung Jawa dapat dipasang dengan layar jung (ada tulang/sekat bambunya) atau dengan layar tanja (layar segi empat yang miring, mirip layar kapal Borobudur). Haluan dan buritan jung Jawa berbentuk meruncing atau lancip, sedangkan jung Cina tumpul atau datar. Bagian bawah jung Cina berbentuk U tanpa lunas (keel), sehingga kurang cocok mengarungi samudra, sedangkan jung Jawa memiliki lunas dan berbentuk mirip V, yang lebih stabil untuk mengarungi samudra. Kapal jung Cina disambungkan dengan paku besi atau sambungan logam lainnya, sedangkan jung Jawa menggunakan paku kayu atau pasak.[49]:612-614[50]:138[117]:376-377
Jung Cina dipengaruhi oleh tradisi pembuatan kapal Nusantara. Orang Cina tidak membuat kapal yang layak laut sampai sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi. Tidak diketahui kapan orang Cina mulai mengadopsi teknik pembuatan kapal Asia Tenggara (Austronesia). Mereka mungkin telah dimulai sejak abad ke-8, tetapi perkembangannya bertahap dan kapal jung Cina pengarung laut tidak muncul secara tiba-tiba.[48]:276[118]:200[119]:83 Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.[24]:20-21
Setelah invasi Mongol ke Jawa (tahun 1293), teknik perkapalan Cina masuk dan diserap pembuat kapal Jawa.[120]:18[18]:61-62 Muncullah jenis jung baru, yang disebut jong hibrida Cina-Asia tenggara, mereka mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[48]:268, 272-273[86]:270
Ukuran
Ada perdebatan tentang ukuran kapal jong Jawa. Pierre-Yves Manguin berpendapat bahwa tonase jung Jawa setidaknya adalah 1000 ton.[19]:266 Irawan Djoko Nugroho memperkirakan ukuran jung Jawa besarnya 4–5 kali kapal Flor de la Mar, kapal terbesar Portugis tahun 1511. Beliau berpendapat ukuran Flor de la Mar adalah sepanjang 69 m–78,3 m. Ini berarti ukuran jung Jawa adalah 313,2–391,5 m. Untuk ukuran ini, beliau sebenarnya tidak menggunakan panjang Flor de la Mar, tetapi menggunakan panjang kapal Swedia, Vasa (1628) dan kapal Jerman, Adler von Lübeck (1566). Kedua kapal ini memiliki tonase yang jauh lebih besar dari Flor de la Mar.[5]:303-307
Muhammad Averoes mengukur dimensi jong Jawa dengan menentukan berat benamannya (displacement) terlebih dahulu. Berat benamannya diketahui dari berat mati kapal, yang didapat dari perbandingan dengan kapasitas penumpangnya. Untuk po memiliki rasio penumpang dengan berat mati sebesar 1:1, sedangkan untuk jong 1:2. Hasil perhitungannya mencakup ukuran jong dari masa yang berbeda, yang ditampilkan di bawah. LWL adalah panjang garis air, LOD adalah panjang dek, dan LOA adalah panjang keseluruhan.[4]
Ukuran po
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
LWL
LOD
LOA
Lebar (di garis air)
Kedalaman
200
200/333/556 ton
27,35 m
35,9 m
39,49 m
11,65 m
3,49 m
600
600/1000/1667 ton
42,08 m
55,22 m
60,74 m
16,81 m
4,71 m
700
700/1167/1944 ton
44,37 m
58,23 m
64,06 m
17,45 m
5,02 m
1000
1000/1667/2778 ton
49,88 m
65,46 m
72 m
18,76 m
5,94 m
Kapal dengan 200 penumpang adalah yang dinaiki Fa-Hsien, 600–700 orang adalah rata-rata penumpang K'un-lun po, dan 1000 orang adalah kapasitas po terbesar.
Ukuran jong zaman Majapahit (abad 14 dan 15 M)
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
LWL
LOD
LOA
Lebar (di garis air)
Kedalaman
50
100/167/278 ton
20,08 m
26,36 m
28,99 m
8,7 m
3,18 m
600
1200/2000/3333 ton
52,77 m
69,26 m
76,18 m
19,28 m
6,55 m
700
1400/2333/3889 ton
55,28 m
72,55 m
79,81 m
19,64 m
7,16 m
1000
2000/3333/5556 ton
61,35 m
80,51 m
88,56 m
20,13 m
9 m
Jong terkecil Majapahit diasumsikan memiliki kapasitas 50 orang, jong dengan 600–700 orang adalah jong umum Majapahit seperti yang digunakan pada serangan ke Singapura, dan yang terbesar mampu menampung 1000 orang.
Ukuran jong zaman Demak (abad 16 M)
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
LWL
LOD
LOA
Lebar (di garis air)
Kedalaman
42,5~43
85/142/236 ton
18,62 m
24,43 m
26,87 m
8,08 m
3,14 m
200
400/667/1111 ton
36,25 m
47,57 m
52,33 m
14,94 m
4,1 m
250
500/833/1389 ton
39,41 m
51,72 m
56,89 m
15,99 m
4,41 m
350
700/1167/1944 ton
44,37 m
58,23 m
64,06 m
17,45 m
5,02 m
Jong dengan berat mati 85 ton adalah yang terkecil di abad ini, 400–500 ton adalah rata-rata berat jong pada abad ini, dan 700 ton adalah yang terbesar.
Ukuran jong zaman Mataram (abad 17 M)
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
LWL
LOD
LOA
Lebar (di garis air)
Kedalaman
20
40/67/111 ton
13,01 m
17,07 m
18,78 m
5,69 m
3 m
50
100/167/278 ton
20,08 m
26,36 m
28,99 m
8,7 m
3,18 m
150
300/500/833 ton
32,37 m
42,48 m
46,73 m
13,56 m
3,8 m
200
400/667/1111 ton
36,25 m
47,57 m
52,33 m
14,94 m
4,1 m
Jong terkecil pada abad ini memiliki berat mati 40 ton, 100 ton adalah rata-rata berat jong pada abad ini, dan jong seberat 300 dan 400 ton adalah jong besar yang dilaporkan di Semarang dan Jepara.
Ukuran jong lainnya
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
LWL
LOD
LOA
Lebar (di garis air)
Kedalaman
Keterangan
150
300/500/833 ton
32,37 m
42,48 m
46,73 m
13,56 m
3,8 m
Jung yang dicatat Marco Polo
240
480/800/1333 ton
38,82 m
50,94 m
56,04 m
15,8 m
4,35 m
Jung yang dicatat Marco Polo
300
600/1000/1667 ton
42,08 m
55,22 m
60,74 m
16,81 m
4,71 m
Jong O Bravo yang ditemui dekat Polvoreira
390
780/1300/2167 ton
46,03 m
60,4 m
66,44 m
17,88 m
5,27 m
Jung yang dicatat Niccolò da Conti
500
1000/1667/2778 ton
49,88
65,45 m
72
18,76
5,94 m
Jung Sunda yang dicatat Pyrard
Perbandingan dengan kapal harta Cheng Ho
Kapal harta Cina dikatakan memiliki panjang 137 meter dan lebar 55 m. Akan tetapi, ukuran ini bersumber dari sebuah novel fantasi, menjadikannya tidak cocok sebagai sumber sejarah. Penelitian modern menunjukkan bahwa kapal terbesar Zheng He adalah sekitar 70 m (230 kaki) panjangnya.[121] Berikut adalah hasil pengukuran sarjana tentang kapal Cheng Ho.[122]:1-2[123][124][125][126]:64, 75
Penumpang
Berat (mati/burden/displacement)
Panjang
Lebar
Kedalaman
Keterangan
200–300
Tidak diketahui/500/800 ton
52,62 m
11,32 m
4,6 m
Kapal harta sebesar 2000 liao.
500–600
Tidak diketahui/1860/3100 ton
70,75 m
15,24 m
6,16 m
Kapal harta sebesar 5000 liao.
Hilangnya jung Jawa
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju.[127]:201 Sejak pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong, tetapi menggunakan lancaran, ghurab, dan ghali.[23]:205-213[10]:162–165 Jong-jong yang berlayar di Nusantara setelah tahun 1600-an daya muatnya hanya sebesar 20–300 ton, dengan kemungkinan rata-rata sebesar 100 ton,[23]:199 tetapi masih ada beberapa dari mereka yang dapat membawa 200 hingga 300 last muatan (sekitar 360–400 sampai 540–600 ton metrik)[catatan 14] pada awal tahun 1700-an.[15]:223
Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Medang sampai Majapahit, dan mengubah Mataram menjadi negara agraris.[128]:100[18]:79-80
Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) yaitu BataviaDaghregister melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal sendiri bahkan untuk penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut.[129]:Vol I: 79 Setelah tahun 1700-an, peran jong telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa, yaitu bark dan brigantine, yang dibuat di galangan kapal lokal di Rembang dan Juwana (yang merupakan tempat pembuatan jong),[34]:20 kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400–600 ton muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6–184 ton metrik).[130] Orang Belanda juga menyadari kemahiran orang Jawa dalam pembuatan kapal, pada abad ke-18 galangan-galangan kapal di Amsterdam mempekerjakan orang Jawa sebagai mandor.[131]:202 Pada 1856, John Crawfurd mencatat bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada pada pesisir utara Jawa, dengan galangan kapal yang diawasi oleh orang Eropa, namun semua pekerjanya orang Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada abad ke-19 memiliki tonase maksimum 50 ton dan utamanya digunakan untuk pengangkutan di sungai.[86]:95
Jong merupakan unit istimewa peradaban Indonesia dalam permainan komputer Sid Meier's Civilization VI. Akan tetapi, model yang digunakan malah meniru kapal Borobudur, bukan jong sebenarnya.
Lihat juga
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Jong (ship).
Pinisi, jenis layar dari Nusantara yang digunakan dari abad ke-19
^Ukuran berat yang digunakan di halaman ini (kecuali dinyatakan lain) adalah DWT atau tonase bobot mati, sebuah ukuran dari berapa banyak muatan yang bisa dibawa sebuah kapal, termasuk berat kru dan perbekalan.
^Pada saat Portugis menyerang Kesultanan Malaka pada tahun 1511, orang Melayu menggunakan lancaran (lanchara) dan penjajap (pangajaoa).[8] Kelulus (calaluz) digunakan dalam beberapa ekspedisi sebelum dan sesudah jatuhnya Malaka.[9]
^Wine atau minuman anggur tidak terdapat di Nusantara. Kemungkinan yang dimaksud disini adalah palm wine atau tuak nira.
^Jembatan disini merujuk pada bukaan pada sisi kapal untuk memuat kargo, yang berada di bawah dek atas.[97] Dalam bahasa Inggris lebih tepat disebut "gangplank", "brow", atau "gangway".
^Orang Jawa memiliki kebiasaan membakar kapal mereka sendiri ketika mereka merasa bahwa mereka dikalahkan dan kapal mereka akan ditangkap.[98]
^Api itu diciptakan dengan membakar olio da terra (minyak dari bumi), ditemukan dalam jumlah besar di dekat Pedir, di mana ia mengalir keluar dari mata air. Orang Muslim menyebut minyak ini "Naptha" dan para dokter menganggapnya luar biasa dan obat yang sangat baik untuk beberapa penyakit. Orang Portugis memperoleh beberapa dan merasa sangat berguna untuk mengobati coisas de frialdade e compressão dos nervios (suhu rendah dan ketegangan saraf).[99]
^Dari Gaspar Correia: "Karena junco itu memulai serangan, sang Gubernur mendekatinya bersama seluruh armadanya. Kapal-kapal Portugis mulai menembaki junco, tetapi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lalu junco berlayar pergi …. Kapal-kapal Portugis lalu menembaki tiang-tiang junco …. dan layarnya berjatuhan. Karena sangat tinggi, orang-orang kami tidak berani menaikinya, dan tembakan kami tidak merusaknya sedikit pun karena junco memiliki empat lapis papan. Meriam terbesar kami hanya mampu menembus tak lebih dari dua lapis …Melihat hal itu, sang Gubernur memerintahkan nau-nya untuk datang ke samping junco. (Kapal Portugis) ini adalah Flor de la Mar, kapal Portugis yang tertinggi. Dan ketika berusaha untuk menaiki junco, bagian belakang kapal tidak bisa mencapai jembatannya. Awak Junco mempertahankan diri dengan baik sehingga kapal Portugis terpaksa berlayar menjauhi kapal itu lagi. (Setelah pertempuran selama dua hari dua malam) sang Gubernur memutuskan untuk mematahkan dua buah kemudi yang ada diluar kapal. Setelah itu barulah junco itu menyerah."
^Menurut Horst H. Liebner, sebagian besar meriam tersebut berjenis meriam putar (swivelgun), kemungkinan dari jenis cetbang atau rentaka, yaitu sejenis meriam ukuran kecil dan sedang yang biasa dipasang di pinggir kapal. Meriam tetap yang ukurannya lebih besar pada kapal-kapal Melayu biasanya dipasang di apilan (gunshield atau perisai meriam).
^Espera atau esfera adalah meriam besar Portugis yang diisi dari depan. Memiliki panjang 2–5 meter dengan berat hingga 1800 kg, biasanya digunakan pada karavel. Espera menembakkan bola meriam seberat 12–20 pon (5,44–9,1 kg).[104]
^Dari sepucuk surat dari raja João III untuk Conde da Castanheira, tanggal 22 Agustus 1536: "Pareceo me bem mandardes a Sacavem pelo galleam Trimdade e pelo junco" (Tampaknya bagi saya Anda melakukan yang benar dalam memerintahkan penyebaran geliung Trimdade dan jong, yang berada di Sacavem).
^Correia menyebut gauea (gávea) sementara Pyrard menyebut "top". Schouten mungkin menggambarkan top yang besar seperti kapal-kapal Belanda, yang digunakan untuk penyambungan struktural antara tiang atas dan bawah. Witsen mengatakan: "Adapun top (mars) mereka harus menahan tiang-tiangnya dengan kokoh, yang laberangnya diikatkan padanya di kedua sisinya; dan juga untuk menyediakan ruang bagi pelaut, tempat untuk berdiri, ketika mereka mengerjakan sesuatu di sana".[115]
^Satu last awalnya adalah satuan volume muatan, kemudian menjadi satuan berat, bervariasi menurut sifat dari muatan itu, yang kira-kira setara dengan 1,8 sampai 2 ton metrik.
^ abWade, Geoff (2012). Anthony Reid and the Study of Southeast Asian Past. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9814311960.
^ abLach, Donald Frederick (1998). Asia in the Making of Europe, Volume 3: A century of advance. Book 3: Southeast Asia. University of Chicago Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 Vol. III. London: The Hakluyt Society, halaman 68; dan Albuquerque, Afonso de (1774). Commentários do Grande Afonso Dalbuquerque parte III. Lisboa: Na Regia Officina Typografica, halaman 80–81.
^Manguin, Pierre-Yves (1993). 'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era (Ithaca: Cornell University Press), halaman 212.
^ abManguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali: Mediterranean impact on war vessels in Early Modern Southeast Asia. Dalam G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
^Coelho, P. (2002). Collins Compact Dictionary. HarperCollins. hlm. 483. ISBN 0-00-710984-9
^Pelliot, P. (1933). Les grands voyages maritimes chinois au début du XVe siècle. T'oung Pao,30(3/5), second series, 237-452. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/4527050
^ abReid, Anthony (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven dan London: Yale University Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefManguin, Pierre-Yves (1993). 'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', dalam Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era (Ithaca: Cornell University Press), hlm. 197-213.
^ abDick-Read, Robert (Juli 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2 (1): 23–45. doi:10.4102/td.v2i1.307.
^Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 112. ISBN9789792213515.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Jones, Russel (2007). Loan-Words in Indonesian and Malay. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 51.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Needham, Joseph (1971). Science and Civilisation in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part III: Civil Engineering and Nautics. Cambridge: Cambridge University Press.
^ abLiebner, Horst H. (2005), "Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Perkapalan dan Pelayaran", dalam Edi, Sedyawati, Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim, Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan; Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53–124
^Suarez, Thomas (2012). Early Mapping of Southeast Asia: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, and Cartographers Who First Mapped the Regions Between China and India. Tuttle Publishing.
^Couto, Diogo do (1645). Da Ásia: Década Quarta. Lisbon: Regia Officina Typografica, 1778-1788. Reprint, Lisbon, 1974. Década IV, part iii, hlm. 169.
^Hornell, James (Desember 1934). "Indonesian Influence on East African Culture". The Journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 64: 305–332. doi:10.2307/2843812. JSTOR2843812.
^Kumar, Ann (2012). 'Dominion Over Palm and Pine: Early Indonesia’s Maritime Reach', in Geoff Wade (ed.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 101–122.
^ abManguin, Pierre-Yves. 2012. “Asian ship-building traditions in the Indian Ocean at the dawn of European expansion”, in: Om Prakash and D. P. Chattopadhyaya (eds), History of science, philosophy, and culture in Indian Civilization, Volume III, part 7: The trading world of the Indian Ocean, 1500-1800, pp. 597-629. Delhi, Chennai, Chandigarh: Pearson.
^Johnstone, Paul (1980). The Seacraft of Prehistory. Cambridge: Harvard University Press. ISBN978-0674795952.
^ abFelner, Rodrigo José de Lima (1860). Lendas da India por Gaspar Correa Tomo II (dalam bahasa Portuguese). Lisboa: Academia Real das Sciencias.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Historia das ilhas de Maluco, dalam A. B. de Sa, Documentacao para a Historia das missoes do Padroado portugues do Oriente - Insulindia, Lisboa, 1954-58, vol. III, hlm. 322.
^ abLiebner, Horst H. (2016). Beberapa Catatan Akan Sejarah Pembuatan Perahu dan Pelayaran Nusantara. Prosiding Konferensi Nasional Sejarah X Jilid II Subtema II. Jakarta, 7-10 November 2016. 1-83.
^Agius, Dionisius A. (2007). Classic Ships of Islam: From Mesopotamia to the Indian Ocean. Brill Academic Pub.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Arifin, Azmi; Ismail, Abdul Rahman Haji; Ahmad, Abu Talib, ed. (2021). Kesultanan Melayu Melaka: Warisan, Tradisi dan Persejarahan. Penerbit USM. ISBN9789674616069.
^Halimi, Ahmad Jelani (2023, June 20). Mendam Berahi: Antara Realiti dan Mitos [Seminar presentation]. Kapal Mendam Berahi: Realiti atau Mitos?, Melaka International Trade Centre (MITC), Malacca, Malaysia. https://www.youtube.com/watch?v=Uq3OsSc56Kk
^Gungwu, Wang (1958). "The Nanhai Trade: the early History of the Chinese Trade in the South China Sea". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society XXXI/2. 182 (3): 3–135.
^Nugroho (2011). hlm. 270 dan 286, mengutip Hikayat Raja-Raja Pasai", 3: 98: "Sa-telah itu, maka di-suroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.". Juga lihat Hill, A. H. (Juni 1960). "Hikayat Raja-Raja Pasai". Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 33: hlm. 98 dan 157: Then he directed them to make ready all the equipment and munitions of war needed for an attack on the land of Pasai - about four hundred of the largest junks, and also many barges (malangbang) and galleys.
^Nugroho (2011). hlm. 271, 399–400, mengutip Sejarah Melayu, 10.4: 77: "... maka bagindapun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong, tiada terbilang lagi."
^Leyden, John (1821). Malay Annals: Translated from the Malay language. London: Longman, Hurst, Rees, Orme and Brown. hlm. 86: "The bitara immediately fitted out 300 junks together with the vessels calúlús, pelang, and jongkong in numbers beyond calculation, and embarked on board of them two Cati of Javans (200,000). Then having set sail, they arrived at Singhapura, and immediately engaged in battle."
^Kheng, Cheah Boon; Ismail, Abdul Rahman Haji, eds. (1998). Sejarah Melayu The Malay Annals MS RAFFLES No. 18 Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition. Academic Art & Printing Services Sdn. Bhd. hlm. 118-119: "Setelah Betara Majapahit mendengar bunyi surat bendahari raja Singapura itu, maka baginda pun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jong, lain daripada itu kelulus, pilang, jongkong, tiada terbilang lagi banyaknya; maka dua keti rakyat Jawa yang pergi itu; maka segala rakyat Jawa pun pergilah. Setelah datang ke Singapura, maka berparanglah dengan orang Singapura."
^Krisnadi, I. G. (2016). Membaca Pikiran Kemaritiman Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Arus Balik. Prosiding Konferensi Nasional Sejarah X Jilid IV Subtema IV. Jakarta, 7-10 November 2016. 1-27.
^Kitab Bujangga Manik, bait 995-999: Parahu patina ageung, jong kapal buka dalapan, pa(n)jangna salawe deupa. [Perahu ini cukup besar, kapal jong selebar delapan depa, panjangnya 25 depa.]
^Cho, Hung-guk (2009). Han'guk-gwa Dongnam Asia-ui Gyoryusa 한국과 동남아시아의 교류사 [History of Exchanges between Korea and Southeast Asia]. Seoul: Sonamu.
^Berg, C. C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, BKI LXXXIII : 1-161.
^ abcdLombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alih bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
^Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960c). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN978-94-011-8772-5.
^Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN978-94-017-7133-7.
^Kwee, H. K. (1997). Dao Yi Zhi Lue as a maritime traders’ guidebook. Unpublished honour’s thesis, National University of Singapore.
^Miksic, John M. (2013). Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300-1800. NUS Press. ISBN9789971695583.
^Wake, Christopher (1997). "The Great Ocean-Going Ships of Southern China in the Age of Chinese Maritime Voyaging to India, Twelfth to Fifteenth Centuries". International Journal of Maritime History.
^R. H. Major, ed. (1857), "The travels of Niccolo Conti", India in the Fifteenth Century, Hakluyt Society, hlm. 27 Didiskusikan dalam Needham, Science and Civilisation in China, hlm. 452
^Tulisan dari peta Fra Mauro, 10-A13, bahasa Italia aslinya: "Circa hi ani del Signor 1420 una naue ouer çoncho de india discorse per una trauersa per el mar de india a la uia de le isole de hi homeni e de le done de fuora dal cauo de diab e tra le isole uerde e le oscuritade a la uia de ponente e de garbin per 40 çornade, non trouando mai altro che aiere e aqua, e per suo arbitrio iscorse 2000 mia e declinata la fortuna i fece suo retorno in çorni 70 fina al sopradito cauo de diab. E acostandose la naue a le riue per suo bisogno, i marinari uedeno uno ouo de uno oselo nominato chrocho, el qual ouo era de la grandeça de una bota d'anfora." [1]
^Schottenhammer, Angela (2019). Early Global Interconnectivity across the Indian Ocean World, Volume II. Switzerland: Palgrave Macmillan. hlm. 173. ISBN978-3-319-97801-7.
^Tarling, Nicholas, ed. (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c. 1800. Cambridge University Press. ISBN0521355052.
^Manguin, Pierre-Yves (1984), "Relationship and Cross-Influence between South-East Asian and Chinese Shipbuilding Traditions", Final Report, SPAFA Workshop on Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, Bangkok: SPAFA, hlm. 197–212
^Xin Yuanou: Guanyu Zheng He baochuan chidu de jishu fenxi (A Technical Analysis of the Size of Zheng He's Ships). Shanghai 2002, hlm .8
^Ming, Zheng (2011), "再议明代宝船尺度——洪保墓寿藏铭记五千料巨舶的思考 (Re-discussion on the Scale of Treasure Ships in the Ming Dynasty: Reflections on the Five Thousand Ships Remembered in the Life Collection of Hong Bao's Tomb)", 郑和研究 (Zheng He Research), 2: 13–15
^Wake, Christopher (Juni 2004). "The Myth of Zheng He's Great Treasure Ships". International Journal of Maritime History. 16: 59–76.
^Reid, Anthony (1992): 'The Rise and Fall of Sino-Javanese Shipping', dalam V.J.H. Houben, H.M.J. Maier, dan Willem van der Molen (eds.), Looking in Odd Mirrors (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië), 177-211.
^Schrieke, B.J.O. 1955-1957. Indonesian Sociological Studies. 2 vols.The Hague: Van Hoeve. Schulte Nordholt, H. 1980. "Macht, mensen en middelen: patronenvan dynamiek in de Balische politiek." M.A. thesis, Vrije Universiteit.
^Lee, Kam Hing (1986): 'The Shipping Lists of Dutch Melaka: A Source for the Study of Coastal Trade and Shipping in the Malay Peninsula During the 17th and 18th Centuries', dalam Mohd. Y. Hashim (ed.), Ships and Sunken Treasure (Kuala Lumpur: Persatuan Muzium Malaysia), 53-76.
^Unger, Richard W. (2013). "Chapter Five: The Technology and Teaching of Shipbuilding 1300-1800". Technology, Skills and the Pre-Modern Economy in the East and the West. BRILL. ISBN9789004251571.