PenjajapPenjajap (sebutan bahasa Portugis: Pangajava) adalah sejenis perahu yang digunakan untuk pertempuran di laut. Perahu jenis ini dulu banyak digunakan baik oleh angkatan laut maupun bajak laut di Nusantara. Perahu penjajap berbentuk panjang dan ramping, dengan haluan dan buritan yang sangat lancip dan dibuat ringan agar dapat bergerak cepat. Ukurannya beragam, tetapi semakin kecil makin baik, karena kecepatannya menjadi bertambah besar. Serangan biasanya dilakukan menggunakan perahu penjajap kecil yang dapat bergerak cepat, sedangkan perahu penjajap besar berfungsi sebagai pelindung. Dalam operasinya mereka juga didampingi perahu kecil yang bernama kakap.[1] EtimologiNama asli untuk perahu orang Maluku, Sabah Timur, Mindanao Barat, dan kepulauan Sulu adalah pangayaw atau mangayaw (berarti "penjarah"). Ini juga dituliskan di sumber Eropa (terutama oleh Belanda dan Portugis) sebagai pangaio, pangaia, panguaye, pangajao, pangajaua, pangajava, penjajab, penjajap, pindjajap, penjelajah, pangara, and panco.[2][3][1][4] Penjelajah EIC Thomas Forrest juga mencatat bahwa orang Iranun menyebutnya mangaio.[1] Istilah tersebut (terutama pangaio) juga nantinya dipinjam dan digunakan secara umum untuk perahu perang layar yang terbuat dari kayu tanpa menggunakan paku oleh Portugis pada jajahannya di Afrika dan India. Penggunaan ini lalu menyebar ke negara kolonial Eropa lainnya, pernah digunakan sementara ke perahu buatan Arab dan Swahili.[5][6][4] Istilah ini juga secara tidak tepat ditujukan kepada garay, yaitu perahu orang Banguingui and orang Iranun di Filipina. Perbedaannya adalah garay lebih lebar dan tidak punya cadik.[2][3] Penjajap juga biasa disebut sebut sebagai prao, prahu, proe, prauw, atau prow pada catatan sejarah.[7] "Daftar Kapal dan Kendaraan Laut dari Hindia Belanda" yang secara berkala diterbitkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendaftarkan pangajaoa sebagai pengajoehan (pengayuhan). Daftar itu mencatat namanya berasal dari kata kajoeh (kayuh) and pengajoeh (pengayuh), dan menganggapnya sebagai sejenis galai.[8] SejarahCatatan awal mengenai penjajap adalah dari tahun 1509 oleh sejarawan Portugis Fernão Lopes de Castanheda, ia mengatakan Penjajap adalah perahu dari Sumatra, panjang dan cepat, dapat melaju dengan baik menggunakan layar maupun dayung.[9] Menurut Afonso de Albuquerque, saat Portugis menyerang Kesultanan Melaka pada tahun 1511 orang Melayu dari Kesultanan Melaka menggunakan lancaran (lanchara) dengan jumlah tidak disebutkan dan dua puluh penjajap (pangajaoa) untuk melawan Portugis.[10][11] Pada 1775, penjelajah Inggris Thomas Forrest mendeskripsikan penjajap besar pada pelabuhan Iranun di Sulu hanya berukuran 4 kaki (1,2 m) lebarnya dan 3,5 kaki (1,1 m) dalamnya, tetapi hanya sepanjang 42 kaki (13 m). Ia dipasangi 6 lantaka kuningan dan membawa kru 30 orang, dan dilengkapi dengan cadik.[1][12] Laksamana Perancis François-Edmond Pâris mengamati penjajap selama perjalanannya di atas kapal Favorite. Dimensi perahu yang ditemui sangat bervariasi, yang terbesar yang ia lihat adalah sepanjang 17 meter (56 kaki), lebar 3,4 m (11,2 kaki) dan kedalaman 2,1 m (6,9 kaki); yang terkecil adalah 11 m (36 kaki).[13] Herbert Warington Smyth melaporkan deskripsi penjajap dari semenanjung Melayu pada akhir abad ke-19. Perahu itu menggunakan "dipping lugsail", dengan rumah geladak atau tenda kecil (disebut kajang pada bahasa Melayu) dan ada sebuah galeri menonjol di buritan (disebut dandan).[14] DeskripsiPenjajap dibuat dari bahan yang ringan. Biasanya sangat panjang dan sempit dan memiliki kedalaman (draft) yang dangkal. Ini memungkinkan mereka berlayar di atas karang dan sungai. Penjajap besar memerlukan cadik, karena tanpanya, ia bisa terbalik.[1] Untuk keperluan bertempur, penjajap dilengkapi baik dengan meriam berkaliber besar maupun lela (meriam yang lebih kecil dari meriam Barat). Pada penjajap kecil hanya ada satu atau dua lantaka. Penjajap memiliki buritan yang tajam tetapi dengan galeri yang menjorok ke belakang. Rumah geladak di tengah perahu terbuat dari daun kelapa dengan atap jerami. Pada abad ke-19 mereka dikemudikan menggunakan kemudi tengah desain barat, tetapi penjajap awal mungkin telah menggunakan kemudi samping ganda. Mereka memiliki 1, 2, atau 3 tiang tergantung pada ukurannya, layar segiempatnya memiliki yard (pebahu atau andang-andang atas) dan boom (pekaki atau andang-andang bawah). Dayung sempit yang panjang juga digunakan sebagai pendorong. Nama "Pagar Tenggalong" mengacu pada jenis penjajap dengan bibir/pinggir berornamen.[15] Penjajap membawa 1 atau 2 meriam berkaliber lebih besar di perisai meriam kayu (apilan). Penjajap kecil hanya membawa 1–2 buah lantaka yang dipasang di haluan, sedangkan yang lebih besar memiliki meriam putar tambahan yang dipasang di samping. Mereka digerakkan oleh dayung dan 2 buah layar tanja. Mereka bisa didayung ke depan maupun ke belakang. Deknya biasanya terbuka dengan panggung yang biasa disebut "balai". Ruangan kecil ada di belakang, sebagai ruang nakhoda dan penyimpanan senjata.[1][7] Seperti perahu garay yang lebih besar dan lebar, mereka juga berperan sebagai kapal induk dari kakap. Penjajap biasanya sangat cepat. Penjajap besar bisa mencapai kecepatan 9 kn (17 km/h) dengan layar, dan 5 kn (9,3 km/h) dengan dayung. Pada armada orang Lanun, mereka biasanya dapat menyusul kapal lanong.[16][1] Penjajap berukuran sedang memiliki 20–30 pendayung, dan dengan dayung pendek perahu penjajap dapat bergerak dengan cepat baik ke depan maupun belakang. Saat Tome Pires mengunjungi Nusantara pada abad ke-16, penjajap/pangajava adalah jenis perahu lain yang dihitungnya setiap sampai pada suatu pelabuhan setelah kapal jung dan lancaran.[17] PeranPenjajap milik orang Lanun biasanya bersenjata ringan, jika dibandingkan dengan lanong. Mereka biasanya hanya memiliki satu meriam besar (lela). Sementara lanong digunakan khusus dalam pertempuran kapal ke kapal, Penjajap lebih cocok untuk menjarah desa-desa pesisir dan menyerang kapal-kapal dagang tidak bersenjata atau bersenjata ringan. Dalam pelayarannya penjajap biasanya didampingi oleh perahu yang lebih kecil yang bernama kakap. Kakap ini berfungsi sebagai peninjau (scout) bagi penjajap atau lanong.[18][19][20] Tomé Pires pada kunjungannya ke kepulauan Nusantara biasa menyebut penjajap sebagai perahu kargo. Banyak penjajap kargo yang berhasil dikumpulkan Pati Unus dari berbagai kota pelabuhan di Jawa untuk menyerang Portugis di Malaka. Penjajap ini dialih fungsikan menjadi perahu pengangkut pasukan dan senjata untuk mendarat, karena ukuran Jung Jawa terlalu besar untuk melakukannya. Namun, kata Tome Pires, setelah kapal mereka disumbangkan aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi lebih lesu.[17] Laksamana François-Edmond Pâris mencatat beberapa penjajap kargo di selat Malaka selama tahun 1830-an. Penjajap itu membawa rempah-rempah, pinang kering, dan badam kelapa dari Sumatra, dan tampaknya hanya berlayar di bagian selatan selat Malaka.[13] Lihat juga
Referensi
|