PadewakangPadewakang adalah perahu tradisional yang digunakan oleh suku Makassar, Suku Bugis, dan Suku Mandar dari Sulawesi Selatan. Padewakang digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan. EtimologiTidak ada yang benar-benar tahu asal-usul nama padewakang, meskipun beberapa orang berpendapat bahwa itu berasal dari Pulau Dewakang, sebuah penanda navigasi penting antara Sulawesi dan Jawa. Catatan Belanda dari tahun 1735 menyebutkan surat-surat dari Sulawesi tiba di Batavia ‘dari praauw Paduackang’.[1] Menurut Horridge, kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura), mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahasa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil”.[2] DeskripsiBiasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang tripod dengan layar "lateen" (tanja) yang terbuat dari tikar. Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.[3][4] Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20 mereka secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, dipersenjatai dengan meriam kuno, mungkin cetbang atau lantaka. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan semenanjung Malaya. Bahkan ada publikasi Inggris tentang padewakang dengan layar terkembang di teluk Persia.[5] Mereka digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh Palari saat abad ke-20. Palari berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar fore-and-aft sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.[6] H. Warington Smyth mendeskripsikan sebuah padewakang besar yang terbuat dari kayu giam dengan 2 tiang layar. Dimensinya adalah sebagai berikut: panjang 99 kaki (30,2 m), lebar 15 kaki (4,6 m), kedalaman 12 kaki (3,7 m), dengan lambung bebas air setinggi 6 kaki 3 inci (1,91 m). Kapasitasnya 60 koyan (145 metrik ton), dengan tiang utama setinggi 60 kaki (18,3 m), diawaki oleh 16 orang.[7] Evolusi ke palari-pinisiMenurut Horst Liebner pada awalnya layar pinisi dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja — tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunar. Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali — istilah ini berasal dari Bahasa Konjo); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan tinggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus. Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisi berlambung palari yang dapat memuat sampai 200 ton berat muatan, merupakan armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok perairan Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.[6] Replika
Galeri
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Padewakang. Referensi
|