Padewakang

Padewakang dengan 2 tiang layar, sekitar 1880-1890.

Padewakang adalah perahu tradisional yang digunakan oleh suku Makassar, Suku Bugis, dan Suku Mandar dari Sulawesi Selatan. Padewakang digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan.

Etimologi

Tidak ada yang benar-benar tahu asal-usul nama padewakang, meskipun beberapa orang berpendapat bahwa itu berasal dari Pulau Dewakang, sebuah penanda navigasi penting antara Sulawesi dan Jawa. Catatan Belanda dari tahun 1735 menyebutkan surat-surat dari Sulawesi tiba di Batavia ‘dari praauw Paduackang’.[1]

Menurut Horridge, kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura), mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahasa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil”.[2]

Deskripsi

Sebuah padewakang di Makassar, tahun tidak diketahui.

Biasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang tripod dengan layar "lateen" (tanja) yang terbuat dari tikar. Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.[3]:184[4] Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20 mereka secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, dipersenjatai dengan meriam kuno, mungkin cetbang atau lantaka. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan semenanjung Malaya. Bahkan ada publikasi Inggris tentang padewakang dengan layar terkembang di teluk Persia.[5]:134-137 Mereka digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh Palari saat abad ke-20. Palari berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar fore-and-aft sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.[6] H. Warington Smyth mendeskripsikan sebuah padewakang besar yang terbuat dari kayu giam dengan 2 tiang layar. Dimensinya adalah sebagai berikut: panjang 99 kaki (30,2 m), lebar 15 kaki (4,6 m), kedalaman 12 kaki (3,7 m), dengan lambung bebas air setinggi 6 kaki 3 inci (1,91 m). Kapasitasnya 60 koyan (145 metrik ton), dengan tiang utama setinggi 60 kaki (18,3 m), diawaki oleh 16 orang.[7]

Evolusi ke palari-pinisi

Menurut Horst Liebner pada awalnya layar pinisi dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja — tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunar.

Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali — istilah ini berasal dari Bahasa Konjo); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan tinggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.

Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisi berlambung palari yang dapat memuat sampai 200 ton berat muatan, merupakan armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok perairan Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.[6]:41-42

Replika

  • Sebuah replika bernama "Hati Marege" (Hati Daratan Arnhem) dipamerkan di Northern Territory Museum of Arts & Gallery. Ia merupakan replika dari padewakang yang digunakan untuk mencari teripang sebelum pelarangan pencarian teripang tahun 1906–1907 oleh pemerintah Australia.
  • Sebuah replika dipamerkan di pameran Les Royaumes de la mer (Kerajaan-Kerajaan Laut) di La Boverie Museum, Liege, Belgia.
  • Sebuah replika bernama "Nur Al Marege" (nama tersebut berasal dari bahasa Arab Nur Al- berarti "cahaya dari") berlayar ke Australia antara Desember 2019–Januari 2020. Panjangnya 14,5 m, lebar 4,2 m, dan tinggi 2 m, dan dibuat dari kayu bitti. Kapal itu dipesan oleh Institut Abu Hanifa di Sydney, untuk digunakan dalam film dokumenter.[8]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Inventaris van het archief van de Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1602–1795 (1811), 1.04.02.8207 1735 Apr. 1 – Nov. 24: h. 13.
  2. ^ Horridge, Adrian (1981). The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia. Oxford University Press. ISBN 0195804996. 
  3. ^ John, Horace Stebbing Roscoe St. (1853). The Indian Archipelago: Its History and Present State, Volume 2. London: Longman, Brown, Green, and Longmans. 
  4. ^ Zainun, Nazarudin (2015). Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan. Penerbit USM. 
  5. ^ Pritchett, Robert Taylor (1899). Pen and pencil sketches of shipping and craft all round the world. London: Edward Arnold. 
  6. ^ a b Liebner, Horst (2005), "Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Perkapalan dan Pelayaran", dalam Edi, Sedyawati, Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim, Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan; Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53–124 
  7. ^ Smyth, H. Warington (May 16, 1902). "Boats and Boat Building in the Malay Peninsula". Journal of the Society of Arts. 50: 570–588 – via JSTOR. 
  8. ^ Abdurrahman, Muhammad Nur (7 Desember 2019). "Perahu Abad ke-15, Berlayar Lagi dari Makassar ke Australia". detikcom. Diakses tanggal 11 Januari 2020.