Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap industri penerbangan akibat pemberlakuan pembatasan perjalanan dan menurunnya jumlah penumpang. Penurunan jumlah penumpang berakibat pada pembatalan penerbangan sehingga banyak maskapai penerbangan terpaksa melakukan PHK besar-besaran atau bahkan bangkrut. Beberapa maskapai lainnya tidak mengembalikan dana tiket yang dibatalkan untuk mengurangi kerugian. Produsen pesawat terbang dan operator bandara juga dilaporkan melakukan PHK terhadap para pegawainya.
Regulasi dari pemerintah di Eropa, Amerika Serikat, dan Indonesia mewajibkan maskapai penerbangan untuk mengembalikan biaya tiket dari penerbangan yang dibatalkan. Namun, dalam beberapa kasus, maskapai justru menawarkan voucher penerbangan sebagai gantinya. Setelah kontroversi yang terjadi, Departemen Transportasi Amerika Serikat tetap mewajibkan maskapai untuk mengembalikan biaya tiket untuk penerbangan yang dibatalkan, kecuali pembatalan penerbangan akibat larangan bepergian, perintah tinggal di rumah, dan larangan lainnya.[8] Sementara itu, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia memberi keringanan bagi maskapai penerbangan untuk memberikan voucher penerbangan sebagai ganti biaya tiket penerbangan yang dibatalkan.[9]
Pada awal Maret 2020, terjadi peningkatan jumlah penerbangan yang dibatalkan sebesar 10% dibandingkan tahun 2019. Pada akhir Maret 2020, aktivitas penerbangan menurun hingga 40–60%, dengan penerbangan internasional mendapatkan dampak terbesar. Hingga April 2020, lsebih dari 80% penerbangan terpaksa dibatalkan akibat pembatasan aktivitas di seluruh dunia.[10]
Penelitian menunjukkan bahwa butuh waktu sekitar 2,4 tahun (hingga akhir 2022) untuk memulihkan jumlah penumpang akibat pandemi COVID-19. Perhitungan paling optimis memperkirakan bahwa pemulihan penumpang dapat selesai dalam waktu 2 tahun (pertengahan 2022), sementara perhitungan paling pesimis memperkirakan butuh waktu hingga 6 tahun.[11]
Kargo
Dibatalkannya sebagian besar penerbangan penumpang juga berdampak pada pengiriman kargo melalui jalur udara. Hal ini karena hampir setengah kargo di dunia yang dikirimkan melalui jalur udara dibawa oleh pesawat penumpang.[12] Ketika pandemi memaksa dibatalkannya penerbangan penumpang, kapasitas angkut kargo menurun dan menyebabkan biaya pengiriman naik hingga tiga kali lipat.[13]
Biaya pengiriman kargo melintasi Samudra Atlantik naik dari yang semula seharga $0.80 per kg menjadi $2.50–4 per kg. Kenaikan ini membuat beberapa maskapai penerbangan penumpang untuk mengubah layanan menjadi penerbangan kargo.[14] Maskapai penerbangan kargo juga menambah jumlah penerbangan dengan cara menerbangkan pesawat lama dan memanfaatkan turunnya harga minyak dunia.[12]
Penyebaran virus
Pergerakan penumpang pesawat seringkali dikaitkan dengan penyebaran virus korona.[15]Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa "Transmisi virus dapat terjadi antarpenumpang yang duduk di area yang sama di pesawat. Transmisi biasanya bermula ketika penumpang yang terinfeksi batuk-batuk, bersin, atau menyentuh benda-benda di sekitarnya".[16] Saat pandemi, sebagian maskapai menjual tiket dengan harga yang lebih murah. Akibatnya, beberapa orang terdorong untuk membeli tiket tersebut dan menghadiri perayaan atau perkumpulan.[17]
Meskipun penyaring HEPA menangkap 99.97 partikel yang melayang di udara, penyaring tersebut tidak menyaring udara yang tidak melaluinya. Oleh karena itu, maskapai penerbangan tetap mewajibkan penumpang untuk memakai masker di dalam kabin pesawat.[18] Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, patogen tidak menyebar dengan mudah di pesawat, tetapi kemungkinan infeksi tetap ada akibat dekatnya jarak antarpenumpang.[19]
^Read, Johanna (2020-08-28). "How clean is the air on planes?". National Geographic Travel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-15.
^CDC (2020-02-11). "Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-04.