Vaksin COVID-19 merupakan vaksin yang digunakan untuk menangani penyakit koronavirus 2019 (COVID-19). Pada 20 Januari 2020, data sequence genetik SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 (C19), dibagikan melalui GISAID, dan pada 19 Januari 2020, industri farmasi global mengumumkan komitmen untuk mengatasi COVID-19.[1] Hingga Maret 2020, terdapat beberapa penelitian yang mengembangkan vaksin COVID-19.
Pada akhir Februari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa vaksin untuk menangani virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2 tidak akan tersedia dalam waktu kurang dari 18 bulan.[2] Hingga September 2020, terdapat 321 vaksin uji coba yang sedang dalam pengembangan.[3] Pada bulan September, 39 kandidat vaksin sedang dalam pengujian klinis, 33 dalam pengujian tahap I–II, dan 6 dalam pengujian tahap II–III.[3] Pada pertengahan Desember 2020, 57 kandidat vaksin berada dalam uji klinis, dengan 40 kandidat vaksin dalam pengujian tahap I-II, dan 17 kandidat vaksin dalam pengujian tahap II-III. Pada pengujian tahap 3, beberapa vaksin COVID-19 menunjukkan efikasi setinggi 95% dalam mencegah infeksi simptomatik COVID-19.[4]
Beberapa negara menerapkan rencana distribusi dengan memprioritaskan penduduk dengan risiko tinggi, seperti lansia dan tenaga kesehatan.[5] Pada November 2020, lebih dari 20 miliar dosis vaksin telah dipesan oleh beberapa negara.[6] Setengah dari dosis tersebut dipesan oleh negara berpenghasilan tinggi dengan jumlah populasi sekitar 14% populasi dunia.[7]
Data dari WHO menunjukkan hingga 31 Desember 2023, persentasepopulasi yang telah menerima vaksin COVID-19 dosis awal lengkap mencapai 56% populasi dunia dengan dosis vaksin yang diberikan mencapai 5,47 miliar dosis.[8]
Upaya-upaya terdahulu dalam pengembangan vaksin virus famili Coronaviridae yang dapat menginfeksi manusia difokuskan untuk penanganan sindrom pernapasan akut berat (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS). Vaksin terhadap SARS [10] dan MERS [11] telah diuji pada hewan. Per tahun 2020, tidak ada vaksin untuk pengobatan atau pencegahan SARS terbukti aman dan efektif pada manusia.[12][13] Menurut jurnal ilmiah yang diterbitkan pada tahun 2005 dan 2006, identifikasi dan pengembangan vaksin dan obat-obatan baru untuk mengobati SARS menjadi prioritas bagi pemerintah di seluruh dunia.[14][15][16]
Selain itu, tidak terdapat vaksin yang terbukti dapat menangani MERS.[17] Ketika pasien MERS mulai meningkat, awalnya peneliti yakin bahwa penelitian SARS terdahulu dapat memberikan gambaran untuk pengembangan pengobatan terhadap MERS-CoV.[12][18] Hingga Maret 2020, terdapat satu vaksin MERS (berbasis DNA) yang telah selesai uji klinis fase I (uji coba pada manusia sehat).[19] Kemudian terdapat tiga vaksin lainnya sedang dalam pengembangan. Ketiga vaksin tersebut adalah vaksin dengan vektor virus, dua vektor adenovirus (ChAdOx1-MERS,[20][21] BVRS-GamVac [22] ), dan satu vektor MVA (MVA-MERS-S[23]).[24]
Jenis-Jenis Vaksin
Sejak 2021, sembilan teknologi berbeda dengan beberapa teknologi lainnya yang belum terdefinisikan sudah mulai dalam fase riset dan pengembangan untuk menciptakan vaksin yang efektif melawan COVID-19.[25][26] Beberapa dari kandidat vaksin ini memfokuskan tujuannya pada ujung runcing pada virus yang terbuat dari protein dan variannya sebagai antigen utama dalam infeksi COVID-19.[27] Teknologi yang dikembangkan antara lain teknologi asam nukleat (RNA duta dengan nukleosida yang termodifikasi),[28] vektor virus yang tidak bereplikasi, peptida, protein rekombinan, virus yang dilemahkan, dan virus yang diinaktivasi.[29]
Banyak teknologi vaksin yang dikembangkan untuk COVID-19 bukanlah vaksin yang mirip dengan vaksin influenza, namun menggunakan strategi "masa depan" agar dapat menyerang mekanisme infeksi COVID-19 secara presisi.[30] Teknologi vaksin yang masih dalam pengembangan juga dapat meningkatkan fleksibilitas dari manipulasi antigen dan efektifitasnya[31] dalam melawan mekanisme infeksi COVID-19 pada sub-populasi yang rawan terinfeksi, seperti tenaga kesehatan, manula, anak-anak, wanita hamil, dan orang yang memiliki sistem imun yang lemah.
Vaksin RNA mengandung RNA yang nantinya akan dimasukkan kedalam sel dari jaringan manusia, seperti RNA duta. RNA duta yang dimasukkan ini akan ditranslasikan oleh sel untuk membangun protein yang mirip partikel virus dan protein tersebut akan menstimulasi respon imun adaptif. Hal ini memungkinkan sistem imun tubuh untuk mengenali virus dan mengetahui cara untuk menghancurkannya bahkan sebelum terinfeksi virus sesungguhnya. Vaksin RNA seringnya, walaupun tidak selalu, menggunakan RNA duta dengan nukleosida yang termodifikasi. Memasukkan RNA duta kedalam sel dapat dilakukan dengan koformulasi molekul ini menjadi nanopartikel lemak yang nantinya akan melindungi untai RNA dari kerusakan dan mendukung proses absropsinya.[32]
Vaksin RNA merupakan vaksin yang pertama kali digunakan sebagai vaksin COVID-19 di Amerika Serikat dan Uni Eropa.[33][34] Sejak 2021, vaksin yang sudah diizinkan adalah vaksin Pfizer-BioNtech[35] dan vaksin Moderna.[36]
Vaksin vektor adenovirus
Vaksin-vaksin ini merupakan contoh dari penggunaan vaksin dari virus yang tidak bereplikasi dengan menggunakan cangkang dari adenovirus yang memiliki DNA yang mengkodekan protein SARS-CoV-2.[37] Virus dari vaksin ini tidaklah bereplikasi, yang berarti bahwa mereka tidak membuat partikel virus baru, melainkan hanya memproduksi antigen yang akan menginduksi respon sistem imun.[38]
Pada Januari 2021, vaksin jenis ini yang sudah diotorisasi oleh pemerintah adalah vaksin inggris Oxford-AstraZeneca, Sputnik V, Cinvodecia dari China, dan vaksin Johnson & Johnson. Vaksin Cinvodecia dan Johnson & Johnson merupakan vaksin sekali suntik sehingga tidak terlalu merumitkan sistem logistik.[39] Kedua vaksin ini juga dapat disimpan dalam lemari es biasa untuk beberapa bulan.
Vaksin dengan virus yang diianktivasi
Vaksin ini terdiri dari partikel virus yang dikembangkan dalam kultur lalu dibunuh dengan cara seperti dipanaskan atau menggunakan fromaldehida sehingga virus tersebut kehilangan kemampuannya untuk menyebabkan penyakit, namun tetap dapat menstimulasi sistem imun.[40]
Pada januari 2021, vaksin jenis ini adalah CoronaVac dari China, BBIBP-CorV, Covaxin dari India, dan CoviVac.[41] Vaksin yang dalam uji klinis termasuk vaksin COVID-19 Valneva.
Vaksin subunit
Vaksin subunit merupakan vaksin yang hanya mengandung satu atau lebih antigen tanpa keseluruhan partikel patogennya. Antigen yang digunakan biasanya merupakan subunit protein, tapi dapat menjadi molekul apapun yang merupakan fragmen dari patogen tersebut.[42]
Pada Januari 2021, satu-satunya vaksin jenis ini yang diotorisasi adalah vaksin peptida EpiVacCorona.[43] Vaksin lainnya yang masih dalam uji klinis termasuk vaksin Novavax[44] dan RBD-Dimer. Sebelumnya, terdapat vaksin V451 yang sedang diuji klinis, namun dihentikan karena vaksin tersebut dapat menyebabkan hasil yang salah ketika resipien vaksin ini dites HIV.[45]
Jenis lainnya
Vaksin lain yang sedang dalam uji klinis termasuk beberapa vaksin plasmid DNA,[46] dua vaksin vektor lentivirus,[47] vaksin konjugat, dan virus stomatitis vesikuler yang mengimitasi protein pada SARS-CoV-2.[48]
Ilmuwan saat ini sedang meneliti apakah vaksin yang tersedia namun bukan ditujukan untuk COVID dapat digunakan untuk menguatkan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi keparahan gejala dari infeksi COVID-19.[49] Ada bukti sementara yang menunjukkan kalau vaksin BCG untuk tuberkolosis dapat memiliki efek yang non-spesifik untuk tuberkolosis pada sistem imun, namun belum ada bukti apkaah efek tersebut efektif untuk melawan COVID-19.[50]
Penelitian pada tahun 2020
SARS-CoV-2 berhasil diidentifikasi pada akhir tahun 2019. Virus tersebut merupakan penyebab dari penyakit koronavirus 2019. Virus tersebut telah menyebar ke seluruh dunia pada tahun 2020. Hal tersebut membuat pengembangan vaksin ini dilakukan sesegera mungkin dan dengan investasi yang besar.
Berbagai organisasi menggunakan genom yang diterbitkan untuk mengembangkan vaksin untuk menangani SARS-CoV-2.[51][52] Terdapat kurang lebih 35 perusahaan dan lembaga akademik yang terlibat dalam penelitian ini.[53]
Organisasi yang terlibat dalam pengembangan vaksin antara lain:
Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) bekerja sama dengan Moderna untuk mengembangkan vaksin berbasis RNA yang dapat berpasangan dengan reseptor COVID-19.[51] Vaksin tersebut dinamai mRNA-1273. Pada Februari 2020, NIAID mengajukan permohonan untuk melakukan uji klinis fase 1 dan membuka pendaftaran bagi yang bersedia menjadi subjek di Seattle, WA.[61][62] Pada 16 Maret 2020, uji klinis fase 1 dimulai.[63]
Pada Januari 2020, Janssen mulai mengembangkan vaksin.[68] Janssen mengembangkan vaksin oral bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi, Vaxart.[69]
Emergent Biosolutions bekerja sama dengan Novavax Inc untuk mengembangkan. Mereka merencanakan untuk melakukan uji praklinis dan uji klinis fase 1 pada Juli 2020.[70]
Pada 12 Maret 2020, pejabat Kementerian Kesehatan India dari Institut Virologi Nasional India di Pune mengatakan mereka sedang meneliti 11 isolat, Mereka juga memprioritaskan pengembangan vaksin hingga diharapkan secepatnya pada 1,5-2 tahun kemudian telah tersedia untuk masyarakat.[71]
Pada 17 Maret 2020, Pfizer mengumumkan kerja sama dengan perusahaan Jerman BioNTech untuk mengembangkan vaksin berbasis RNA duta untuk COVID-19.[72]
Pada 18 Maret 2020, Emergent BioSolutions mengumumkan kesepakatan dengan Vaxart untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin.[73]
^Cavanagh, Dave (2003). "Severe acute respiratory syndrome vaccine development: Experiences of vaccination against avian infectious bronchitis coronavirus". Avian Pathology. 32 (6): 567–582. doi:10.1080/03079450310001621198. PMID14676007.
^Gao, Wentao; Tamin, Azaibi; Soloff, Adam; d'Aiuto, Leonardo; Nwanegbo, Edward; Robbins, Paul D.; Bellini, William J.; Barratt-Boyes, Simon; Gambotto, Andrea (2003). "Effects of a SARS-associated coronavirus vaccine in monkeys". The Lancet. 362 (9399): 1895–1896. doi:10.1016/S0140-6736(03)14962-8. PMID14667748.
^Kim, Eun; Okada, Kaori; Kenniston, Tom; Raj, V. Stalin; Alhajri, Mohd M.; Farag, Elmoubasher A.B.A.; Alhajri, Farhoud; Osterhaus, Albert D.M.E.; Haagmans, Bart L. (2014). "Immunogenicity of an adenoviral-based Middle East Respiratory Syndrome coronavirus vaccine in BALB/C mice". Vaccine. 32 (45): 5975–5982. doi:10.1016/j.vaccine.2014.08.058. PMID25192975.
^ abJiang, Shibo; Lu, Lu; Du, Lanying (2013). "Development of SARS vaccines and therapeutics is still needed". Future Virology. 8 (1): 1–2. doi:10.2217/fvl.12.126.
^Tripp, Ralph A.; Haynes, Lia M.; Moore, Deborah; Anderson, Barbara; et al. (September 2005). "Monoclonal antibodies to SARS-associated coronavirus (SARS-CoV): Identification of neutralizing and antibodies reactive to S, N, M and E viral proteins". Journal of Virological Methods. 128 (1–2): 21–8. doi:10.1016/j.jviromet.2005.03.021. PMID15885812.Parameter |dead-url=Smith tidak valid (bantuan)
^Roberts, Anjeanette; Thomas, William D.; Guarner, Jeannette; Lamirande, Elaine W.; et al. (March 2006). "Therapy with a Severe Acute Respiratory Syndrome–Associated Coronavirus–Neutralizing Human Monoclonal Antibody Reduces Disease Severity and Viral Burden in Golden Syrian Hamsters". The Journal of Infectious Diseases. 193 (5): 685–92. doi:10.1086/500143. PMID16453264.
^"Safety and immunogenicity of an anti-Middle East respiratory syndrome coronavirus DNA vaccine: a phase 1, open-label, single-arm, dose-escalation trial". doi:10.1016/S1473-3099(19)30266-X. PMID31351922.
^White, Mike (2020-09-17). "What are Adenovirus-Based Vaccines?". News-Medical.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-25. Because adenoviruses ... and their viral replication can be inhibited by genetic modifications