Pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada industri mode di seluruh dunia. Pembatasan sosial yang diterapkan oleh banyak pemerintah di dunia berimplikasi pada penutupan pabrik dan toko, serta pembatalan peragaan busana dan kegiatan mode lainnya.[1] Pandemi juga berdampak signifikan pada seluruh merek dan perusahaan mode di dunia,[2] mulai dari penurunan pemasukan hingga pengajuan pailit.[3] Tantangan lain yang muncul adalah bagaimana menangani permintaan konsumen saat ini.[4] Selain tantangan dan kesulitan, pandemi juga membawa sejumlah peluang baru, antara lain berupa produksi masker wajah yang modis[5] dan pengembangan industri mode yang lebih berkelanjutan,[6] termasuk di antaranya platform penyewaan pakaian.[7]
Manufaktur
Masalah manufaktur yang dihadapi mencakup ketersediaan bahan baku yang kurang dan pembatalan pesanan. Perusahaan yang diuntungkan di masa pandemi adalah mereka yang telah mengimpor bahan dan menyimpannya di gudang mereka sebelum pandemi meluas.[8] Sejak beberapa tahun yang lalu, perusahaan dan merek mode mewah banyak bergantung pada produsen di Tiongkok, yang telah menyumbang 70% dari seluruh pertumbuhan produk mode di seluruh dunia. Namun, Cina juga menjadi salah satu negara yang paling terdampak COVID-19, sehingga banyak pabrik yang tutup dan meliburkan karyawannya.[3]
Akibat penutupan toko dan menurunnya omset penjualan, beberapa perusahaan pakaian di Barat telah membatalkan pesanan seharga 2.8 juta dolar Amerika Serikat dari pabrik di Bangladesh. Pembatalan ini dapat berpengaruh besar pada kelangsungan hidup sekitar 1,2 juta pekerja yang terdampak. Ribuan pemasok kehilangan kontrak dan para buruh terancam tidak menerima gaji dan pesangon saat harus dirumahkan akibat pembatalan.[3] Setelah kampanye internasional #PayUp bergaung, sejumlah merek mode dan pakaian terkemuka, di antaranya Lululemon, H&M, Zara, Nike, dan Ralph Lauren, akhirnya berkomitmen untuk membayar penuh pesanan yang diproduksi sebelum pandemi atau sekitar 15 miliar dolar Amerika.[6]
Saluran distribusi
Pembatasan sosial menyebabkan banyak toko tutup, baik itu total selama pandemi maupun pengurangan jam operasional. Hal ini mendorong masyarakat untuk beralih ke sistem belanja daring. Selain itu, kewajiban untuk tinggal di rumah juga menjadi faktor pendorong kenaikan transaksi daring. Bagi pedagang, beralih ke perdagangan elektronik merupakan jalan satu-satunya untuk mempertahankan usaha.[9]
Penjualan
Penjualan pakaian dan produk-produk mode lainnya secara fisik cenderung menurun selama pandemi.[1] Namun, penjualan daring dilaporkan mengalami peningkatan.[10] Masyarakat yang tinggal di rumah memenuhi kebutuhan sandangnya dengan berbelanja jarak jauh. Untuk mempertahankan usaha, banyak perusahaan retail kelas atas berusaha menjual semua produk yang mereka miliki dengan harga diskon di toko-toko daring mereka, di antaranya Gap dan H&M.[11] Di samping itu, banyak merek pakaian yang kemudian berinovasi dengan membuat baju yang dapat dikenakan semua musim.[12] Selama setahun pandemi, ada kecenderungan konsumen untuk membeli pakaian santai yang lebih nyaman dipakai sehari-hari, bukan karena alasan untuk tampil modis.[13] Perubahan gaya berpakaian selama bekerja dari rumah ini mendorong produsen di Jepang untuk mendesain baju piama yang juga dapat difungsikan sebagai baju kerja.[14]
Peragaan busana
Industri mode beradaptasi dengan cara beralih dari peragaan busana konvensional ke digital dan tanpa pengunjung fisik.[15] Pada April 2020, Dewan Mode Inggris mengumumkan rencana mereka untuk mengembangkan platform pekan mode budaya digital. Pekan modeShanghai dan Moskwa dihadirkan secara digital pada akhir Maret dan April 2020.[16]
Mode yang berkelanjutan
Industri mode merupakan salah satu industri paling boros dan paling banyak menyumbang sampah di dunia.[17] Salah satu laporan menyebutkan bahwa sekitar 85% bahan tekstil berakhir di tempat sampah setiap tahunnya.[18]Pandemi COVID-19 mendorong orang untuk tinggal dan bekerja dari rumah dan tidak berganti-ganti baju dalam sehari. Kondisi ini dapat membuat orang berpikir ulang saat akan berbelanja pakaian baru. Dewan Mode Inggris bersama Dewan Desainer Amerika dalam sebuah forum menyatakan bahwa pandemi membuka peluang untuk perombakan industri secara mendasar dan mengarah pada industri mode yang benar-benar baru dan lebih lambat.[6]
Beberapa pakar bidang keberlanjutan mengkaji dampak pandemi COVID-19 terhadap prospek pengembangan industri mode berkelanjutan.[6] Mereka juga membahas kemungkinan mendorong industri mode agar lebih berkelanjutan dan di saat yang sama, mampu berlaku etis dan mengurangi ketidaksetaraan di pihak buruh.[19] Tren yang muncul di saat pandemi dan diperkirakan akan bertahan adalah kenaikan konsumsi baju bekas dan membuat pakaian dan padu padan sendiri.[19] Perbincangan juga menyentuh peluang penerapan ekonomi sirkular dalam industri mode. Beberapa bentuk penerapannya untuk kalangan produsen antara lain berupa reorientasi metode dari pembelian ke sewa, menjual garmen dengan cara berlangganan, dan mempromosikan perbaikan dan regenerasi pakaian, sehingga menciptakan pakaian dengan siklus hidup yang tidak terbatas.[20]