Beberapa upaya pencegahan penyebaran virus yang dilakukan di beberapa negara seperti menjaga jarak, karantina, dan isolasi mandiri dinilai efektif dalam membatasi jumlah orang yang terinfeksi selama pandemi untuk jangka pendek, tidak adanya kekebalan imunitas tubuh membuat mereka rentan terhadap gelombang kedua dari infeksi SARS-CoV-2. Sejak wabah dimulai, peneliti di seluruh dunia telah mencoba mengembangkan vaksin untuk COVID-19. Salah satunya adalah vaksin Sinovac.[4]
Vaksin sinovac adalah salah satu vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh perusahaan biofarmasi, Sinovac Biotech Ltd. Vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech dibuat dengan platform atau metode virus yang telah dilemahkan (inactivated virus). Saat virus dimatikan lalu partikelnya dipakai untuk membangkitkan imun tubuh sehingga tubuh bisa belajar mengenali virus penyebab COVID-19, SARS-COV-2, tanpa harus menghadapi risiko infeksi serius. Vaksin ini diberikan dalam dua dosis atau perlu dua kali suntikan.[5]
CoronaVac, vaksin buatan Sinovac, bekerja dengan menggunakan partikel virus yang dimatikan untuk mengekspos sistem kekebalan tubuh terhadap virus tanpa mempertaruhkan respons penyakit yang serius. Salah satu keunggulan utama Sinovac adalah dapat disimpan di lemari es standar pada suhu 2-8 derajat Celcius, seperti vaksin Oxford, yang dibuat dari virus rekayasa genetika yang menyebabkan flu biasa pada simpanse.[6]
CoronaVac (Sinovac Life Sciences, Beijing, China) adalah kandidat vaksin yang tidak aktif terhadap COVID-19 yang telah menunjukkan imunogenisitas yang baik pada anak tikus, tikus dewasa, dan primata non-manusia dengan antibodi penawar yang diinduksi vaksin terhadap SARS-CoV-2, yang dapat menetralkan sepuluh strain representatif SARS-CoV-2. Selain itu, hasil menunjukkan CoronaVac memberikan perlindungan parsial atau lengkap pada kera dari pneumonia interstisial yang parah setelah tantangan SARS-CoV-2, tanpa peningkatan infeksi yang bergantung pada antibodi yang dapat diamati, yang mendukung perkembangan lebih lanjut ke uji klinis pada manusia.[4]
Perkembangan uji klinis
Uji klinis tahap I dan II vaksin COVID-19 Sinovac Biotech telah dilakukan pada bulan April hingga Mei 2020 lalu. Hasilnya telah dipublikasi di jurnal ilmiah The Lancet pada 17 November dengan kesimpulan bisa dilanjutkan ke uji klinis tahap III. Vaksin COVID-19 Sinovac Biotech lalu menjalani uji klinis III di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tim peneliti dari Universitas Padjadjaran yang dipimpin oleh Profesor Kusnandi Rusmil ditunjuk untuk menjalankan uji klinis ini. Dari hasil uji klinis yang dilakukan di Indonesia, (tingkat kemanjuran) dari vaksin Sinovac untuk mencegah penularan virus corona mencapai 65.3%.[7]
Dari sumber lain yang memuat pengumuman hasil fase III dari vaksin Sinovac Biotech, pengamatan terhadap partisipan vaksinasi dilakukan selama 14 hari sejak dosisi kedua vaksin diberikan karena kemungkinan imunitas akan meningkat setlah 14 hari.[8] Sinovac belum memberikan data memadai di aspek keamanan dan kemanjuran dari uji fase III ini. Uji klinis vaksin Sinovac diperkirakan selesai sekitar Februari 2021. Selain Indonesia, uji klinis dilakukan di China, Brasil, Arab Saudi, Pakistan, Filipina, Turki, hingga Chili. Di Indonesia, Bio Farma bekerja sama dengan Sinovac agar Bio Farma dapat memproduksi vaksin yang bernama CoronaVac. Oleh karena itu, uji klinis fase III dilakukan di Indonesia. Untuk pengujian klinis di Indonesia, Bio Farma bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk menyiapkan uji klinis vaksin Covid-19.[9]
Dalam editorial di harian Ming Pao, peneliti vaksin Tao Lina, yang turut meneliti dampak dari vaksin Sinopharm, menyimpulkan bahwa Sinopharm adalah "vaksin yang paling tidak aman" setelah mendapati bahwa lebih dari 70 efek samping yang mungkin bereaksi setelah penginjeksian vaksin, semisal sakit kepala, tekanan darah tinggi dan penglihatan yang kabur. Dia juga menyoroti tentang masalah tuntutan hukum untuk ganti rugi yang bisa diakibatkan dari vaksin ini.[10]
Emergency use authorization
Vaksin Sinovac dapat digunakan bila mendapat izin darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kepala BPOM, Penny K Lukito, menjelaskan EUA bisa diberikan dengan mempertimbangkan data-data yang sudah tersedia terkait keamanan dan efektivitas vaksin. Sejauh ini masih ada data dari vaksin COVID-19 Sinovac Biopharm yang perlu dilengkapi sehingga izin belum bisa diberikan.[5]
Pada bulan februari 2021, Indonesia telah menyetujui vaksin COVID-19 Sinovac Biotech untuk digunakan pada orang tua. BPOM mengizinkan penggunaan CoronaVac Sinovac untuk orang tua dengan mempertimbangkan situasi darurat pandemi COVID-19 dan informasi terbatas tentang manfaat dan keamanan dari vaksin tersebut.[11]
Efikasi vaksin
Berdasarkan hasil proses vaksinasi massal kepada pejabat dan masyarakat umum di berbagai daerah di Indonesia sejak awal 2020, terdapat sejumlah pejabat pemerintahan yang diberitakan masih tertular virus Covid-19 meski sudah disuntik vaksin Sinovac,[12][13][14] atau bahkan berakibat risiko fatal pada beberapa kasus lain.[15]
Disisi lain, disebutkan bahwa vaksin Sinovac ditemukan 50,65% efektif melawan virus COVID-19 dalam uji coba di Brazil yang telah menguji 12.396 pekerja medis yang berusia lebih dari 18 tahun pada 16 Desember terhadap 253 kasus. Tingkat keberhasilan dari uji coba di Turki adalah 91,25%, berdasarkan analisis awal terhadap 29 kasus. Ada tingkat kemanjuran 65,3% dalam percobaan di Indonesia.[16]
Terdapat kasus kematian di Hong Kong yang melibatkan wanita berusia 55 tahun setelah diberikan vaksin sinovac. Namun, Komite Ahli Penilaian Kejadian Klinis di Hong Kong menyatakan bahwa wanita tersebut mendapatkan vaksin pada tanggal 2 Maret 2021 dan meninggal pada tanggal 6 Maret 2021 karena stroke. Dari laporan otopsi menunjukkan bahwa wanita tersebut menderita penyakit kronis seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi. Ronald Lam Man-kin, Pengendali dari Pusat Perlindungan Kesehatan Departemen Kesehatan menyatakan sebanyak 91.800 dosis vaksin COVID-19 Sinovac dan 1.200 dosis vaksin dari BioNTech telah diberikan di Hong Kong. Dan 64 persen dari populasi berusia 60 tahun keatas sudah divaksinasi. Setelah dilakukan vaksinasi, terdapat 16 kasus tidak serius yang mengalami demam dan sakit kepala, 45 kasus lainnya mengalami efek samping yang rentan dan perlu dirawat di rumah sakit. Para ahli memutuskan bahwa gejala yang mereka alami tidak disebabkan oleh vaksin. Efek samping pertama dialami oleh seorang pria berusia 80 tahun yang sebelumnya sudah menderita diabetes dan sebelumnya mengalami stroke. Efek samping kedua dialami oleh wanita berusia 72 tahun yang sebelumnya menderita penghentian insulin.[17]
Untuk dapat divaksinasi, diperlukan suhu tubuh kurang dari 37 C dan tekanan darah antara 90 mmHg dan 140 mmHg. Jika tekanan darah melebihi 160 mmHg, maka partisipan harus istirahat dan menunggu selama 30 menit sampai turun menjadi 138 mmHg. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka vaksinasi akan di tunda.[18]
Di Indonesia, vaksin sinovac disebutkan dapat menimbulkan efek samping seperti mual hingga lemas namun masih dalam gejala yang ringan. Ketakutan akan vaksinasi dinilai dapat mempengaruhi sebanyak 64 persen munculnya efek samping tersebut. Vaksin akan bekerja secara optimal dalam waktu 28 jam dan paling cepat dalam dua minggu. Vaksin dilakukan untuk menambah perlindungan, jadi masyarakat tetap perlu mematuhi protokol kesehatan.[19]
Uji coba Sinovac memberikan hasil yang berbeda di berbagai negara. Di Turki, vaksin Sinovac disebutkan efektif 91,25%, sementara di Indonesia vaksin Sinovac efektif 65,3%. Di lain negara seperti di Brazil, vaksin Sinovac memiliki keefektifan sebesar 50.4% dalam melawan kasus Covid-19 dengan gejala ringan hingga berat.[20]