Pandemi Covid-19 di Libya
Pandemi koronavirus yang sedang berlangsung terkonfirmasi telah memasuki Libya pada 24 Maret 2020, ketika kasus pertama dikonfirmasi di Tripoli. Libya dinilai merupakan daerah yang sangat rentan terhadap pandemi koronavirus karena efek dari Perang Saudara Libya yang menyebabkan situasi kemanusiaan mengerikan[2] dan telah merusak infrastruktur kesehatan Libya.[3] Latar BelakangPada 12 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkonfirmasi Novel koronavirus sebagai penyebab dari penyakit pernapasan sekelompok orang di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok yang dilaporkan ke WHO pada 31 Desember 2019.[4][5] Tingkat fatalitas kasus pada COVID-19 lebih rendah dibandingkan kasus Sindrom pernapasan akut berat (SARS) pada tahun 2003[6][7] tetapi penularan penyakit lebih besar dengan jumlah kematian yang lebih tinggi.[6][8] Lini MasaMaret 2020Sebelum masa pandemi coronavirus, sistem kesehatan Libya telah berada di ujung kekacauan, hal ini merupakan efek dari kekacauan yang telah terjadi di negara tersebut sejak 2011.[9] Faksi-faksi yang bertikai pada Perang Saudara Libya tidak menghiraukan permohonan mendesak dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan gencat senjata selama terjadinya pandemik.[3][10] Government of National Accord berbasis di Tripoli diakui dunia internasional dan pemerintahan saingannya dibawah Khalifa Haftar yang berbasis di timur Libya telah mengambil langkah-langkah untuk mengontrol penyebaran COVID-19 melalui penutupan sekolah, pasar, dan beragam bisnis.[9] Pasukan Haftar mencoba mengambil alih Tripoli, ibu kota Libya melalui serangan yang dimulai pada April 2019.[9] Ratusan orang terbunuh dan ribuan orang menjadi pengungsi karena pertarungan.[9] Pada 24 Maret, Libya mengkonfirmasi kasus COVID-19 pertama,[2] pria berusia 73 tahun yang kembali setelah berpergian dari Arab Saudi pada awal Maret.[9] Pada 30 Maret, GNA mengumumkan melepas 466 tahanan di Tripoli, sebagai bagian dari mencegah penyebaran virus diantara para tahanan.[9] April 2020Pada 2 April 2020, Libya mengkonfirmasi kematian pertama akibat COVID-19, wanita berusia 85 tahun asal Aljazair. Pada 5 April 2020, Mahmoud Jibril berusia 68 tahun yang memimpin Dewan Peralihan Nasional Sementara pada 2011, wafat karena COVID-19 di Kairo, Mesir, setelah dirawat di rumah sakit sejak 21 Maret 2020.[11] Pada 6 April 2020, pasukan dibawah komando Khalifa Haftar meluncurkan serangan menggunakan BM-21 Grad[12] kepada Rumah Sakit Jendreal Al Khadra, salah satu rumah sakit terbesar di Tripoli, menyebabkan enam tenaga kesehatan terluka dan kerusakan yang parah pada rumah sakit[3] dimana 300 pasein, termasuk dua pasein COVID-19 diobati.[12] Ini adalah serangan ketiga pasukan Haftar menyerang fasilitas kesehatan pada masa pengepungan intensif terhadap Tripoli.[12] Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk serangan tersebut sebagai "pelanggaran yang mengerikan" dan "pelanggaran yang jelas terhadap hukum kemanusiaan internasional ... itu tidak dapat diterima pada saat pelayanan kesehatan dan pekerja kesehatan merupakan aset vital untuk melawan pandemi global[3]". Kantor tersebut menyatakan "peningkatan yang tidak masuk akal harus dihentikan sehingga otoritas kesehatan dan lembaga bantuan bisa merespon COVID-19 dan terus menjangkau orang-orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak.[10] Serangan roket terbaru ke rumah sakit terus terjadi dihari-hari kemudian.[12] Pada 7 April 2020, Kirenaika mengkonfirmasi kasus perdana,[13] sampai dengan 7 April 2020, Libya telah mengkonfirmasi 20 kasus COVID-19 yang kebanyakan berada di barat Libya.[12] Pada April 2020, Government of National Accord menerapkan jam malam selama 24 jam untuk periode 10 hari yang dimulai pada 17 April 2020.[14] Lihat juga
Referensi
Pranala luar
|