Meningkatnya imigrasi ke Korea Selatan sejak tahun 2000-an memicu ekspresi rasisme yang lebih terbuka, serta kritik terhadap ekspresi tersebut.[1][3] Surat kabar sering melaporkan dan mengkritik diskriminasi terhadap imigran dalam berbagai bentuk, seperti bayaran yang lebih rendah daripada upah minimum, gaji yang ditahan, kondisi kerja yang tidak aman, kekerasan fisik, dan pencemaran nama baik.[1]
Dalam Survei World Values 2017-2020, dari 1.245 warga Korea Selatan yang disurvei, 15,2% melaporkan bahwa mereka tidak menerima seseorang yang berbeda ras sebagai tetangga.[4] Hal ini merupakan penurunan tajam dari Survei World Values 2010-2014, di mana dari 1200 warga Korea Selatan yang disurvei, 34,1% menyatakan tidak mau bertetangga dengan seseorang dari ras yang berbeda.[5] Dalam survei 2010-2014, 44,2% melaporkan bahwa mereka tidak menginginkan "imigran/pekerja asing" sebagai tetangga.[3][6] Pada laporan 2017-2020, angka ini turun menjadi 22,0%.[7]
Sikap rasis lebih sering ditujukan terhadap imigran dari negara Asia lain serta Afrika, dan lebih jarang ditujukan terhadap imigran Eropa dan kulit putih dari Amerika Utara yang kadang-kadang dapat menerima "perlakuan yang terlalu baik".[1][8] Diskriminasi serupa juga dilaporkan menyasar anak-anak dari ras campuran, orang Korea Tiongkok, dan imigran dari Korea Utara.[8]
Sejarah
Para ahli percaya bahwa identitas nasional Korea yang kuat berasal dari tradisi "seribu tahun garis keturunan leluhur yang 'murni', persamaan bahasa, adat istiadat, dan sejarah"[9] dan kian menguat selama dan setelah penjajahan Jepang pada abad ke-20. Upaya Jepang untuk melenyapkan bahasa, budaya, dan sejarah Korea telah membangun etnosentrisme dan etnonasionalisme sebagai cara yang ditempuh rakyat Korea untuk merebut kembali dan mempertahankan kedaulatan mereka.
Krisis keuangan Asia 1997 adalah salah satu peristiwa yang membentuk sikap kebanyakan orang Korea terhadap pendatang dan orang asing. Pada krisis 1997, IMF memaksa Korea Selatan untuk mengambil bailout dan dampak buruknya terhadap ekonomi Korea berupa penutupan lembaga keuangan, 5% pekerja kehilangan pekerjaan, dan menurunnya pendapatan sebagian besar penduduk.[10]
Pandemi koronavirus
Selama krisis COVID-19, 1,4 juta orang asing yang tinggal di Korea Selatan dikecualikan dari rencana kebijakan subsidi pemerintah, yang mencakup dana bantuan hingga 1 juta won untuk keluarga Korea. Meskipun semua orang rentan terhadap virus tersebut, hanya orang asing yang menikah dengan warga negara Korea saja yang berhak atas uang tersebut karena "ikatan yang kuat dengan negara".[11]
Pandemi COVID-19 telah membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah Korea Selatan berlangsung daring, tetapi anak-anak imigran dan pengungsi belum menerima kesempatan pendidikan yang layak karena kurikulum daring yang kurang cocok untuk mereka.[12]
Berdasarkan bidang
Dalam pendidikan
Hanya 40% dari siswa sekolah dasar dan menengah dengan ras campuran yang dianggap sebagai orang Korea oleh teman sekelas mereka. Hampir 50% siswa mengaku kesulitan menjalin hubungan dengan siswa yang tidak memiliki latar belakang kebangsaan yang sama. Alasan yang diberikan oleh siswa Korea adalah karena perbedaan warna kulit (24,2%), takut dikucilkan oleh teman Korea yang lain (16,8%), dan rasa malu jika berteman dengan anak ras campuran (15,5%).[13]
Anak-anak Korea juga menunjukkan kecenderungan untuk mendiskriminasi orang Afrika atau keturunan Afrika. Dalam penelitian 2015 oleh Penelitian Pendidikan Internasional, anak-anak Korea cenderung memberi tanggapan negatif terhadap karakter berkulit gelap dalam ilustrasi di buku bergambar. Sikap ini dilihat sebagai cerminan dari prasangka buruk terhadap orang kulit hitam dan lingkungan yang dominan berkulit putih yang dicontohkan oleh orang tua mereka.[14]
Dalam ranah perkuliahan, penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Korea melakukan diskriminasi terhadap dosen asing dengan memanggil mereka memakai nama depan, dan tidak menunjukkan rasa hormat seperti yang mereka tujukan kepada dosen asli Korea.[15] Pendidikan sangat dihormati dalam budaya Korea, dan perbedaan perlakuan ini dialami oleh banyak dosen asing di berbagai universitas.
Dalam administrasi negara
Perundang-undangan baru-baru ini — khususnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan Pekerja Asing (2004) dan Dukungan untuk Keluarga Multikultural (2008) — telah memperbaiki situasi para pekerja migran, melindungi hak asasi dan hak pekerja mereka dengan lebih efisien.[1] Pada tahun 2011, militer Korea Selatan membatalkan peraturan yang melarang pria ras campuran untuk mendaftar, dan mengubah sumpah yang sebelumnya mengagungkan kemurnian ras (minjok) menjadi sumpah setia terhadap kewarganegaraan.[8] Selain itu, konsep serupa telah dicabut dari kurikulum sekolah.[8] Keputusan ini diambil karena tekanan internasional — khususnya, perhatian dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang menyatakan bahwa pemikiran etnosentris di Korea Selatan "mungkin menjadi penghalang untuk mewujudkan perlakuan yang setara dan menghormati orang asing serta orang-orang dari ras dan budaya yang berbeda".[8]
Hingga Januari 2018, Korea Selatan masih belum memiliki undang-undang antidiskriminasi, yang diusulkan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2015. Undang-undang tersebut dilaporkan terhenti karena "kurangnya konsensus publik".[3] Akibatnya, merupakan hal yang umum bagi seseorang untuk tidak mendapat pelayanan yang semestinya di tempat usaha atau di taksi hanya karena etnis mereka.[16][17][18][19]
Pada Juli 2018, protes massal terhadap pengungsi Yaman yang tiba di Pulau Jeju menjadi polemik di Korea Selatan.[20][21][22]
Menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Korea terhadap penduduk asing di Korea Selatan pada tahun 2019, 68,4% responden menyatakan pernah mengalami diskriminasi rasial, dan banyak dari mereka mengalaminya karena kemampuan berbahasa Korea (62,3%), karena bukan orang Korea (59,7%), atau karena ras (44,7%).[23] Perundang-undangan untuk melindungi mereka dari diskriminasi telah diajukan pada tahun 2007, 2010, dan 2012 [10] tetapi kalangan Protestan konservatif keberatan dengan UU tersebut. Upaya lain telah dilakukan pada tahun 2020 oleh Partai Keadilan yang liberal untuk "melarang segala jenis diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, disabilitas, usia, bahasa, negara asal, orientasi seksual, kondisi fisik, latar belakang akademis, dan alasan lainnya."[24]
Berdasarkan sasaran
Rasisme terhadap para migran
Anak-anak migran dibiarkan tidak berdokumen dan tak diberi banyak hak seperti yang dinikmati oleh kawan-kawan mereka yang asli Korea. Proses yang digunakan untuk menentukan status pengungsi dirancang "bukan untuk melindungi pengungsi tetapi untuk mencegah mereka masuk".[25]
Seiring dengan perbedaan budaya dan bahasa lainnya, diskriminasi dan kurangnya akses ke layanan dasar adalah beberapa hambatan yang dihadapi oleh para pengungsi dan pencari suaka, terutama pelarian Korea Utara. Banyak pasangan perempuan asing menjadi korban diskriminasi dan kekerasan dalam rumah tangga. Tidak adanya undang-undang yang mengatur hal ini membuat kasus-kasus ini sering kali dibiarkan dan tidak dilaporkan.[26]
Buruh migran hanya diperbolehkan berganti pekerjaan atas izin majikan lamanya. Pekerja migran yang bekerja di sektor pertanian, usaha kecil, dan jasa rumah tangga[25] paling rentan mengalami diskriminasi karena sifat pekerjaannya yang sementara.
^ abcdePark, Keumjae (2014), "Foreigners or multicultural citizens? Press media's construction of immigrants in South Korea", Ethnic and Racial Studies, 37 (9): 1565–1586, doi:10.1080/01419870.2012.758860Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcKim, Yugyun; Son, Inseo; Wie, Dainn; et al. (19 Juli 2016), "Don't ask for fair treatment? A gender analysis of ethnic discrimination, response to discrimination, and self-rated health among marriage migrants in South Korea", International Journal for Equity in Health, 15 (1): 112, doi:10.1186/s12939-016-0396-7, PMC4949882, PMID27430432
^ abcdeCampbell, Emma (2015), "The end of ethnic nationalism? Changing conceptions of national identity and belonging among young South Koreans", Nations & Nationalism, 21 (3): 483–502, doi:10.1111/nana.12120