Rasisme di RusiaRasisme di Rusia terutama terjadi dalam bentuk perlakuan-perlakuan negatif terhadap warga negara non-suku Rusia, imigran atau wisatawan dan tindakan negatif terhadap mereka oleh beberapa orang bersuku Rusia. Secara tradisi, rasisme di Rusia mencakup antisemitisme dan Tatarofobia, juga permusuhan terhadap berbagai suku bangsa dari Kaukasus, Asia Tengah, Asia Timur dan Afrika.[1] Menurut PBB, populasi imigran di Rusia adalah yang terbesar ketiga di dunia, berjumlah lebih dari 11,6 juta.[2] Diakibatkan penurunan populasi negara, dan tingkat kelahiran rendah serta tingkat kematian tinggi orang-orang bersuku Rusia, pemerintah Rusia telah mengupayakan kenaikan jumlah imigrasi ke negara ini satu dekade terakhir;[3] yang telah menyebabkan jutaan migran membanjiri Rusia terutama dari negara-negara bekas Uni Soviet, banyak dari mereka masuk secara ilegal dan masih belum terdokumentasi.[4][5][6] Di bawah tekanan serius oleh polisi, jumlah tindakan rasis di Rusia mulai menurun sejak tahun 2009.[7] Pada tahun 2016, dilaporkan bahwa Rusia mengalami penurunan yang "mengesankan" terkait kejahatan kebencian.[8] XenofobiaPada akhir abad ke-19, khususnya setelah gejolak-gejolak nasionalisme yang menyeruak di Polandia, pemerintah menunjukkan sikap xenofobia dalam perlakuan mereka memusuhi suku bangsa minoritas yang tidak berbahasa Rusia. Pemerintah memutuskan untuk mengurangi mereka menggunakan bahasa mereka, dan pemerintah bersikeras kaum minoritas yang tidak berbahasa Rusia harus di-Rusifikasi.[9] Pada permulaan abad ke-20, sebagian besar Yahudi Eropa yang mendiami Batas Permukiman, perbatasan Kekaisaran Rusia di bagian barat yang pada umumnya terdiri dari negara modern Polandia, Lituania, Belarus dan daerah tetangga. Banyak pogrom-pogrom disertai Revolusi tahun 1917 dan dilanjutkan perang saudara, diestimasikan 70.000 hingga 250.000 warga sipil Yahudi terbunuh dalam kekejaman-kekejaman yang dilakukan di seluruh bekas wilayah Kekaisaran Rusia; jumlah anak yatim piatu Yahudi melebihi 300.000.[10][11] Pada tahun 2000-an, puluhan ribu orang bergabung dengan kelompok-kelompok neo-Nazi di dalam Rusia.[12] Rasisme terhadap warga negara Rusia (suku bangsa dari Kaukasus, penduduk asli Siberia dan Timur Jauh Rusia, dsb.) dan non-warga negara Rusia dari Afrika, Asia Tengah, Asia Timur (Vietnam, Tiongkok, dsb.) dan Eropa (Ukraina, dsb.) menjadi masalah yang penting.[13] Pada tahun 2016, Radio Free Europe/Radio Liberty melaporkan bahwa "Para ahli yang meneliti xenofobia di Rusia berhasil mencatat penurunan yang "mengesankan" terkait kejahatan kebencian dikarenakan pemerintah tampaknya meningkatkan tekanan kepada kelompok-kelompok kanan jauh".[14] Menggunakan informasi yang dikumpulkannya selama survei yang diadakan pada tahun 1996, 2004, dan 2012, Hannah S. Chapman, dkk. melaporkan peningkatan stabil dalam perlakuan negatif orang Rusia terhadap tujuh kelompok luar (outgroup). Khususnya penduduk Moskow yang menjadi lebih xenofobia.[15] Kelompok sasaranOrang AfrikaPerlakuan resmi terhadap orang Afrika secara resmi netral pada zaman Uni Soviet, dikarenakan agenda internasionalis-nya.[16] Sebagai bagian dukungan mereka terhadap dekolonisasi Afrika, Uni Soviet menawarkan pendidikan gratis untuk warga negara terpilih dari negara-negara Afrika.[17] Namun, pernah terjadi di Uni Soviet, siswa-siswa ini mengalami rasisme setiap hari yang diarahkan kepada mereka oleh semua kelas masyarakat. Pada tahun 1963, Moskow merupakan lokasi unjuk rasa spontan yang di mana siswa-siswa Afrika memprotes pembunuhan seorang pria kulit hitam, yang dibunuh oleh keluarga dari wanita bersuku Rusia yang merupakan pacarnya.[18][19][20] Pada tahun 2006, beberapa siswa pertukaran mengklaim hinaan "monyet" begitu sering dilontarkan sehingga para siswa berhenti melaporkannya.[21] Pada tahun 2010, Jean Sagbo menjadi pria kulit hitam pertama di Rusia yang terpilih di pemerintahan. Ia menjadi anggota dewan munisipal di desa Novozavidovo, 100 kilometer (62 mi) di utara Moskow. Pada tahun 2013, Anggota Duma bernama Irina Rodnina memposting gambar yang menunjukkan Barack Obama bersama pisang secara publik di Twitter.[22] Seorang dari suku Tatar pemilik supermarket di daerah Tatarstan menjual kalender dengan gambar presiden Amerika Serikat Barack Obama digambarkan sebagai monyet dan awalnya menolak untuk meminta maaf karena menjual kalender tersebut.[23][24] They were then forced to issue an apology later.[25] Pada pertengahan tahun 2016, setelah ketegangan meningkat di antara Amerika Serikat dan Rusia, sebuah pabrik es krim di Tatarstan memproduksi es krim "Obamka" (Obama kecil) dengan kemasan yang menampilkan anak kulit hitam memakai anting-anting; tindakan ini dianggap sebagai ilustrasi sikap anti-Amerikanisme di Rusia dan rasisme era Uni Soviet yang masih bertahan hingga di negara ini.[26][27][28] Perusahaan ini yang sudah menyatakan es krim mereka tidak memiliki maksud politik, menghentikan produksi lini tersebut tak lama setelah kontroversi muncul.[29] Lihat pula
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Racism in Russia.
|