Korea Utara adalah satu-satunya negara di dunia di mana keadaan demografinya sangat sulit untuk diakses dikarenakan terbatasnya data-data dan informasi yang tersedia tentang negara tersebut. Data historis terakhir yang direkam adalah rekaman oleh seorang peneliti dan ahli kependudukan asal Amerika SerikatNicholas Eberstadt dan Judith Banister pada tahun 1992.
Walaupun merupakan negara yang sangat homogen, Korea Utara terbagi atas daerah-daerah dengan perbedaan regional masing-masing. Namun, sejak berakhirnya Perang Korea ragam stereotipe semacam dialek-dialek daerah mulai diatasi dengan pengesahan pendidikan yang tersentralisasi dan penyebarluasan media ke seluruh negeri serta perpindahan penduduk secara bertahap.
Sangat tidak mungkin untuk menjadi warga negara Korea Utara kalau bukan berasal dari etnis Korea–namun, James Dresnok, seorang Amerika kulit putih, masuk jadi warga negara Korea Utara pada tahun 1972, - [1] dan imigrasi ke luar sangat kecil, begitupula dengan populasi etnis selain Korea.
Sejarah rekaman tentang demografi
Sampai dengan perilisan data resmi pada tahun 1989, data kependudukan yang diketahui dunia luar adalah informasi dari edisi tahun 1963 North Korea Central Yearbook. Setelah tahun 1963, para ahli kependudukan menggunakan berbagai metode untuk memperkirakan jumlah penduduk Korea Utara. Mereka menjumlahkan total delegasi yang terpilih di MPR (setiap delegasi mewakili 50.000 orang sebelum tahun 1962 dan 30.000 sesudahnya) atau merujuk kepada data-data resmi yang merekam informasi tentang jumlah orang, atau dari persentase jumlah penduduk yang terlibat dalam suatu aktivitas tertentu. Selanjutnya, berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh Presiden Kim Il-sung pada tahun 1977 mengenai kehadiran siswa di sekolah, populasi pada tahun itu diperkirakan mencapai 17,2 juta jiwa. Selama dekade 80-an, data mengenai statistikkesehatan, termasuk harapan hidup dan penyebab kematian, secara perlahan dapat diketahui oleh dunia luar.
Pada tahun 1989, Central Statistics Bureau merilis data demografis untuk United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) untuk melanjutkan pelaporan sensus Korea Utara sejak pendirian negara komunis itu pada tahun 1946. Walaupun figur yang diberikan kepada PBB kemungkinan mengalami distorsi, tetapi tampaknya ini mulai menjadi titik baru untuk membuka negaranya terhadap dunia luar. Walaupun negeri itu kekurangan ahli kependudukan yang berkualitas, data-data akurat mengenai registrasi rumah tangga, migrasi dan kelahiran serta kematian berlaku di kantor-kantor otoritas Korea Utara. Berdasarkan peneliti Amerika Serikat Nicholas Eberstadt dan ahli kependudukan Judith Banister, informasi personal dan statistik penting disimpan oleh kantor-kantor di pedesaan (리, 里; ni) dan distrik-distrik di wilayah kota (동, 洞; dong).
Jumlah dan angka pertumbuhan
Dalam monograf mereka tahun 1992, The Population of North Korea, Eberstadt dan Banister menggunakan data UNFPA tapi juga membuat penaksiran mereka sendiri. Mereka menempatkan angka populasi total 21,4 juta jiwa pada pertengahan 1990-an, terbagi menjadi 10,6 juta populasi pria dan 10,8 juta wanita. Figur ini mendekati perkiraan 21,9 juta jiwa pada pertengahan 1988 yang dilampirkan di edisi tahun 1990 Demographic Yearbook yang diterbitkan PBB. Versi Korea Utara, buku yang diterbitkan oleh Pan Hwan Ju dari P'yongyang Foreign Languages Press pada tahun 1987, memberikan figur 19,1 juta jiwa pada tahun 1986.
Rasio pria-wanita
Data yang diperlihatkan oleh pemerintah Korea Utara menunjukkan perbedaan proporsi jumlah pria yang sangat lebar dengan populasi wanita. Pada tahun 1980 dan 1987, rasio pria banding wanita masing-masing 86,2 banding 100, dan 84,2 banding 100. Rendahnya rasio pria dimungkinkan akibat dari perang, tetapi figur-figur ini tampaknya lebih rendah dibandingkan rasio 88,3 banding 100 yang direkam tahun 1953, tahun berakhirnya Perang Korea. Rasio pria-wanita berangsur-angsur normal dengan berjalannya tahun, seperti yang terjadi antara tahun 1953 dan 1970, saat angka menunjukkan kenaikan menjadi 95,1 banding 100. Setelah 1970, rasio ini menunjukkan kecenderungan menurun. Eberstadt dan Banister memperkirakan bahwa sebelum tahun 1970, figur populasi pria-wanita dihitung secara keseluruhan dibuktikan dengan tingginya rasio pria yang mencapai 90-an persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Central Statistics Bureau, Eberstadt dan Banister memperkirakan jumlah pria yang “tak dihitung” mencapai 1,2 juta pada tahun 1986 dan rasio pria-wanita yang sebenarnya adalah 97,1 banding 100 pada tahun 1990. Jika taksiran mereka benar, berarti 6,1 persen jumlah populasi Korea Utara adalah angkatan militer, yang jika diurutkan menjadi negara dengan angkatan militer terbesar ke-5 di dunia di akhir dekade 80-an (ke-4 pada tahun 2006).
Pertumbuhan
Jumlah pertumbuhan populasi Korea Utara pada tahun 1960 adalah 2,7 persen, meningkat 3,6 persen pada tahun 1970, lalu turun menjadi 1,9 pada tahun 1975. Penurunan ini diakibatkan oleh menurunnya angka fertilitas: angka rata-rata anak yang dilahirkan menurun dari 6,5 pada tahun 1966 menjadi 2,5 pada tahun 1988. Asumsikan jika data tersebut benar, alasan penyebab dari turunnya angka pertumbuhan dan kesuburan adalah melambatnya usia pernikahan, urbanisasi, terbatasnya rumah tinggal, dan keterlibatan wanita dalam angkatan kerja. Pengalaman dari negara sosialis lain menunjukkan partisipasi angkatan kerja wanita sering kali dipikul dengan peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga. Tingginya persentase laki-laki usia 17 sampai 26 mungkin juga menjadi penyebab rendahnya angka fertilitas. Berdasarkan data Eberstadt dan Banister, angka pertumbuhan penduduk tahunan Korea Utara pada tahun 1991 mencapai 1,9 persen. Berbeda dengan CIA World Fact Book yang menaksir 1,02 % pada tahun 1991 dan angka ini turun drastis menjadi 0,42% pada tahun 2009.
Promosi pertumbuhan populasi
Pemerintahan Korea Utara tampaknya menganggap populasinya lebih kecil dibandingkan dengan Korea Selatan. Dalam pernyataan resminya, Pyongyang telah melakukan program peningkatan pertumbuhan populasi dan mendorong keluarga untuk mempunyai anak banyak. Berdasarkan pengamatan seorang Korea-Amerika yang mengunjungi Korea Utara pada awal tahun 1980-an, negara tersebut tidak memiliki kebijakan yang mengatur kelahiran; orang tua dianjurkan untuk mempunyai sampai 6 orang anak. Negara menyediakan t’agaso (rumah perwatan untuk anak-anak) untuk meringankan beban orang tua serta memberikan bonus bayaran 77 hari setelah kelahiran. Eberstadt dan Banister menyebutkan bahwa metode pengendalian kelahiran yang paling banyak digunakan adalah dengan memberikan alat kontrasepsi. Berdasarkan pengakuan dari seorang mantan warga Korea Utara, alat seperti itu didistribusikan gratis di klinik-klinik.
Struktur populasi dan proyeksi
Para ahli kependudukan menentukan struktur usia dari sebuah populasi dengan membaginya menjadi 5 kelompok usia dan menyusunnya secara kronologis dalam strukur piramida yang tersusun terbalik atau ke-atas jika menunjukkan jumlah orang dalam usia tertentu. Banyak negara miskin dan berkembang yang mempunyai dasar piramida yang lebar dan semakin kecil tersusun ke atas yang menunjukkan tingginya angka kelahiran dan jumlah anak-anak namun pada tahun-tahun selanjutnya usia harapan hidup menjadi lebih kecil. Korea Utara tidak sepenuhnya sesusai dengan pola ini; data menunjukan wilayah usia dewasa menempati daerah yang cukup lebar dalam piramida. Pada tahun 1991, usia harapan hidup untuk pria mencapai 66 tahun dan hampir 73 untuk wanita.
Tampaknya angka populasi tahunan Korea Utara akan meningkat pada masa mendatang, salah satunya dikarenakan semakin sulitnya negara sosialiskomunis itu mempekerjakan kaum muda pria maupun wanita dalam kondisi perekonomian yang sudah mengalami stagnansi. Eberstadt dan Banister menaksir jumlah populasi akan meningkat menjadi 25,5 juta jiwa di akhir dekade 90-an dan menjadi 28,5 juta pada tahun 2010. Populasi akan stabil pada angka 34 juta jiwa pada tahun 2045 dan selanjutnya secara perlahan akan menurun. Sebagai perbandingan, Korea Selatan akan mengalami stabilisasi pada angka 52,6 juta pada tahun 2023.
Pola permukiman dan urbanisasi
Sebagian besar penduduk Korea Utara terkonsentrasi di wilayah dataran rendah. Wilayah yang paling jarang penduduknya adalah daerah pegunungan di provinsi Chagang dan Yanggang yang berbatasan langsung dengan Cina. Konsentrasi penduduk terpadat ada di wilayah provinsi P'yŏngan Utara dan P'yŏngan Selatan, DKI P'yongyang, dan provinsi Hamgyŏng Selatan, yang mencakup wilayah urban Hamhŭng-Hŭngnam. Eberstadt dan Banister menghitung kepadatan penduduk rata-rata 167 orang per kilometer persegi, dengan yang terpadat adalah DKI Pyongyang yang mencapai 1178 jiwa per km dan 44 jiwa di provinsi Yanggang. Kontras dengan Korea Selatan yang mempunyai kepadatan penduduk 425 jiwa per km pada tahun 1989.
Seperti Korea Selatan, Korea Utara juga mengalami migrasiurban yang signifikan sejak akhir Perang Korea. Statistik resmi menunjukkan bahwa 59,6 % dari total populasi dikategorikan sebagai masyarakat urban pada tahun 1987, jauh lebih tinggi dengan figur 17,7 % pada tahun 1953. Tidak sepenuhnya jelas standar apa yang digunakan untuk menentukan jumlah populasi urban. Eberstadt dan Banister menduga bahwa di Korea Utara, permukiman yang mempunyai populasi sampai 20.000 jiwa sudah dapat dikategorikan sebagai urban, sementara di Korea Selatan permukiman di bawah 50.000 jiwa tidak dikategorikan sebagai urban. Dan di Korea Utara, masyarakat yang menjalankan pertanian di dalam daerah munisipalitas kadang-kadang tidak dikategorikan sebagai urban.
Urbanisasi di Korea Utara mencapai tingkat tertinggi terjadi antara tahun 1953 dan 1960, saat populasi urban meningkat antara 12 dan 20 persen per tahun. Angka urbanisasi menurun sampai 6 persen per tahun pada tahun 1960 dan menjadi antara 1 dan 3 persen dari 1970 sampai 1987.
Pada tahun 1987, kota terbesar Korea Utara adalah P'yongyang, dengan jumlah penduduk hampir 2, 3 juta jiwa; Hamhŭng, 701.000; Ch'ŏngjin, 520.000; Namp'o, 370.000; Sunch'ŏn, 356.000; dan Sinŭiju, 289.000. Pada tahun yang sama sekitar 11,5 % populasi Korea Utara terkonsentrasi di Pyongyang. Pemerintah mulai membatasi dan mengendalikan urbanisasi ke kota dan distribusi populasi di daerah-daerah.
Imigrasi ke luar negeri
Imigrasi skala besar dari Korea dimulai sejak tahun 1904 dan terus berlanjut sampai akhir Perang Dunia II. Selama masa Pendudukan Jepang dari tahun 1910-1945, banyak orang Korea yang berimigrasi ke Manchuria (Heilongjiang, Jilin, Liaoning), Uni Soviet, Hawaii dan Amerika. Orang Korea dari bagian selatan berimigrasi ke Jepang, sementara dari utara ke Manchuria, Cina, dan Siberia. Sebagian besar pindah dikarenakan alasan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik, serta dikarenakan penindasan Jepang yang memperkenalkan sistem kepemilikan tanah yang menuntut pajak berlebihan sehingga banyak petani yang kehilangan tanah mereka.
Di Jepang terdapat lembaga yang dibentuk oleh masyarakat Korea pro Korea Utara bernama Chongryon dan Mindan yang pro Korea Selatan.
Antara tahun 1959 dan 1982, Chongryon mengadakan repatriasi penduduk Korea di Jepang ke Korea Utara. Lebih dari 93.000 jiwa pergi meninggalkan Jepang, mayoritas 80.000 kembali antara 1960-1961. Angka repatriasi menurun pada tahun-tahun selanjutnya dikarenakan adanya tekanan yang dilakukan pemerintah Korea Utara. Sekitar 6.637 wanita Jepang yang menjadi istri mereka juga ikut ke Korea Utara. Sekitar 1.828 dari mereka kembali ke Jepang dan menjadi warga negara Jepang di awal 1990-an. Awalnya Pyongyang menjanjikan bahwa para istri dari repatriat dapat mengunjungi keluarga mereka di Jepang setiap 2 atau 3 tahun sekali, tapi nyatanya mereka tidak diperbolehkan pulang dan tidak banyak yang bisa mengetahui sanak saudara mereka di Jepang. Dalam pembicaraan normalisasi antara Korea Utara dan Jepang di awal 1990-an, solusi yang mengizinkan para istri mengunjungi Jepang tidak membuahkan hasil yang baik.
Statistik demografis CIA World Factbook
Berikut adalah statistik demografis yang dikeluarkan NATO.
20,01 kelahiran/1.000 populasi (perkiraan 1991)
17,58 kelahiran/1.000 populasi (perkiraan 1996)
14,61 kelahiran/1.000 populasi (perkiraan 2006)
14,61 kelahiran/1.000 populasi (perkiraan 2008)
Angka kematian
8,94 kematian/1.000 populasi (perkiraan 1991)
9,52 kematian/1.000 populasi (perkiraan 1996)
7,29 kematian/1.000 populasi (perkiraan 2006)
7,29 kematian/1.000 populasi (perkiraan 2008)
Angka migrasi
-0.09 migran/1.000 populasi (perkiraan 2009)
Rasio jenis kelamin
pada saat kelahiran:
1,06 laki-laki/perempuan
di bawah 15 tahun:
1,03 laki-laki/perempuan
15–64 tahun:
0,98 laki-laki/perempuan
65 tahun dan lebih:
0,63 laki-laki/perempuan
jumlah populasi:
0,95 laki-laki/perempuan (perkiraan 2009)
Angka kematian bayi
total: 51,34 kematian/1.000 bayi lahir (perkiraan 2009)
Harapan hidup
total populasi:
63,81 tahun
pria:
61,23 tahun
wanita:
66,53 tahun (perkiraan 2009)