Aritkel ini adalah tentang demografi dan populasi Korea Selatan, termasuk kepadatan penduduk, etnisitas, taraf pendidikan, kesehatan, status ekonomi, agama, dan aspek lain dari populasinya.
Latar belakang
Walaupun banyak terjadi imigrasi dari berbagai negara Asia ke Semenanjung Korea dalam abad terakhir ini, sangat sedikit yang bermukim secara permanen, jadi sejak tahun 1990 kedua Korea (Selatan dan Utara) adalah salah sekian dari negara di dunia yang mempunyai komponen suku bangsa yang paling homogen. Jumlah suku minoritas sangat kecil. Di Korea Selatan, persentase populasi warga negara asing terdata sangat kecil dan umumnya bertempat tinggal hanya untuk sementara, di antaranya orang Cina, Jepang, kulit putih (Eropa, Amerika dll), Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Rakyat Korea cenderung menyamakan istilah kebangsaan atau kewarganegaraan dalam pandangan satu kelompok etnis yang homogen yang dinamakan minjok. Bahasa dan budaya yang sama dimiliki juga dipandang sebagai elemen penting sebagai identitas Korea. Ide negara yang multirasial atau multietnis dipandang ganjil dan tidak cocok untuk negara seperti Korea.
Perbedaan regional
Walaupun mempunyai latar belakang etnis yang homogen, namun setiap daerah mempunyai perbedaan regional masing-masing.
Di Korea Selatan, perbedaan regional yang terpenting ada di antara wilayah provinsi Gyeongsang yang terbagi atas Gyeongsang Utara dan Gyeongsang Selatan dengan provinsi Jeolla yang juga terbagi atas provinsi Jeolla Utara dan Jeolla Selatan. Dua wilayah yang dipisahkan oleh rangkaian Gunung Jiri ini, mewariskan sikap persaingan sejak zaman Tiga Kerajaan, saat kerajaan Baekje dan Silla bersaing untuk menguasai Semenanjung Korea.
Para peneliti mencatat bahwa perkawinan antar-wilayah ini sangat jarang, dan 4 jalur jalan tol baru yang dibuka pada tahun 1990 untuk menghubungkan Gwangju dan Daegu, ibu kota Jeolla Selatan dan Gyeongsang Utara, tidak pernah berhasil mempromosikan pariwisata kedua wilayah tersebut.
Elit politik Korea Selatan, termasuk presiden Park Chung Hee, Chun Doo Hwan, dan Roh Tae Woo, semuanya berasal dari wilayah Gyeongsang. Oleh karena itu Gyeongsang disebut-sebut sebagai lumbung elit politik Korea Selatan. Kontras, Jeolla masih tetap menjadi wilayah pedesaan yang kurang berkembang dan miskin. Selain itu rakyat Jeolla dikenal memiliki reputasi suka membangkang.
Kekacauan regional memuncak saat meletusnya Insiden Gwangju tahun 1980 yang menelan korban jiwa sekitar 200 orang di Jeolla Selatan akibat terbunuh oleh pasukan pemerintah. Banyak yang menyebut bahwa tentara yang dikirim berasal dari Gyeongsang.
Stereotipe
Ragam stereotipe regional seperti dialek, telah diatasi dengan pengesahan pendidikan yang tersentralisasi, penyebarluasan media ke seluruh negeri serta perpindahan penduduk secara bertahap. Namun begitu, stereotipe dipandang penting bagi kebanyakan rakyat Korea. Contohnya, orang Gyeonggi, termasuk Seoul dianggap sebagai masyarakat yang berbudaya, orang dari Chungcheong dipandang berperangai lemah lembut seperti yangban. Orang dari Gangwon dianggap miskin dan bebal, sementara orang dari Korea Utara seperti wilayah Pyongan, Hwanghae dan Hamgyong dipandang bersifat cerdas dan agresif. Orang Jeju dipandang berkemauan kuat dan kaum wanitanya mandiri.
Kecenderungan populasi
Populasi Korea Selatan telah berkembang sangat pesat semenjak berdirinya negara republik ini pada tahun 1948. Pada saat sensus untuk pertama kalinya pada tahun 1949, jumlah populasi Korea Selatan mencapai 20.188.641 jiwa. Sensus pada tahun 1985 mencapai angka 40.466.577 jiwa. Pertumbuhan penduduk Korea Selatan cukup lambat, per tahunnya hanya 1,1 % dari tahun 1949 sampai 1955, saat jumlah penduduk menembus angka 21,5 juta jiwa. Pertumbuhan selanjutnya menjadi lebih cepat antara tahun 1955 dan 1966 dengan populasi mencapai 29,2 juta jiwa atau dengan angka pertumbuhan penduduk rata-rata 2,8 %, namun selanjutnya menurun secara signifikan selama periode 1966 sampai 1985 dengan persentase pertumbuhan 1,7. Sesudah itu pun menjadi semakin lambat sampai kurang dari 1 %, seperti yang terjadi di negara-negara industri lain dan ini juga merupakan hasil yang ditargetkan oleh Kementerian Kesehatan dan Hubungan Sosial pada tahun 1990-an. Populasi mencapai 42,2 juta jiwa pada tanggal 1 Januari 1989.
Proporsi total jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 1955, sekitar 41,2 % jumlah populasi adalah usia di bawah 15 tahun, persentase tersebut naik menjadi 43,5 % pada tahun 1966 sebelum turun drastis ke angka 38,3 % pada tahun 1975, 34,2 % pada tahun 1980 dan 29,9 % pada tahun 1985. Pada masa lalu, proporsi anak-anak yang besar dalam masyarakat turut membebani kondisi perekonomian negara, khususnya dikarenakan sejumlah besar sumber daya dicurahkan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan. Dengan menurunnya angka pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kelompok usia menengah (dari usia 18,7 tahun sampai 21,8 tahun antara tahun 1960 dan 1980), struktur usia piramida populasi telah berubah menjadi seperti yang umum dijumpai di negara-negara industri lain.
Penurunan angka pertumbuhan penduduk serta kelompok usia di bawah 15 tahun setelah tahun 1966 menunjukkan kesuksesan dari program pengendalian kelahiran, baik secara resmi maupun tidak. Pemerintahan Presiden Syngman Rhee (1948-1960) dikenal agak konservatif dalam menangani pengendalian kelahiran. Walaupun kampanye keluarga berencana pertama kali diprakarsai oleh kelompok gereja Kristen pada tahun 1957, baru sampai tahun 1962 pada masa pemerintahan Park Chung Hee dimana dimulainya program keluarga berencana secara luas di seluruh negeri, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Faktor lain yang ikut berkontribusi terhadap menurunnya angka pertumbuhan penduduk adalah urbanisasi, usia pernikahan yang melambat untuk pria maupun wanita, taraf pendidikan yang semakin tinggi, besarnya jumlah angkatan kerja wanita, serta standar kesehatan yang semakin baik.
Lembaga-lembaga masyarakat baik yang umum ataupun privat ikut terlibat dalam program keluarga berencana bersama badan-badan pemerintahan seperti Kementrian Kesehatan dan Hubungan Sosial, Kementrian Hubungan Rumah Tangga, Federasi Keluarga Berencana Korea serta Korea Institut bagian Keluarga Berencana. Di akhir tahun 1980-an, badan-badan ini aktif dalam membagikan informasi dan alat pengendalian kelahiran, membuka ruang bagi wanita tentang metode keluarga berencana, serta memberikan subsidi dan hak khusus (seperti pinjaman berbunga rendah) untuk para orang tua yang telah melakukan sterilisasi. Pada tahun 1983 terdapat 426.000 orang di Korea Selatan yang melakukan sterilisasi dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 502.000 orang.
Undang-Undang tahun 1973 mengenai Kesehatan Anak dan Ibu melegalkan aborsi. Pada tahun 1983, pemerintah mulai menghentikan pemberian keuntungan dari asuransi medis berupa perawatan untuk ibu mengandung yang memiliki 3 anak atau lebih. Selain itu pemerintah juga menghentikan pemberian potongan pajak untuk biaya pendidikan bagi orang tua yang mempunyai 2 anak atau lebih.
Seperti di Cina, orang Korea kebanyakan masih mempunyai pandangan kolot terhadap program keluarga berencana. Orang Korea lebih memilih mempunyai anak laki-laki dibanding perempuan, dimana di Korea yang sangat kuat pengaruh Konfusianisme sehingga anak laki-laki lebih diutamakan karena dianggap sebagai pelindung orang tua pada hari-hari tua mereka serta sebagai penerus nama keluarga, artinya orang tua yang hanya memiliki anak perempuan biasanya akan mempunyai anak lagi sampai mendapat anak laki-laki. Pemerintah telah mendorong pasangan suami istri agar mempunyai satu anak saja. Hal ini telah menjadi tema yang cukup dikenal dalam iklan di masyarakat, yang berbunyi ”mempunyai satu anak saja dan merawatnya dengan baik.”
Total angka fertilitas (jumlah kelahiran dari seorang ibu dalam hidupnya) telah menurun dari 6,1 kelahiran pada tahun 1960 menjadi 4,2 pada tahun 1970, 2,8 pada tahun 1980 dan 2,4 pada tahun 1984. Jumlah kelahiran yang selamat meningkat pesat dari 711.810 pada tahun 1978 menjadi 917.860 pada tahun 1982. Pada tahun 1986, jumlah angka kelahiran kembali menurun menjadi 806.041 kelahiran.
Berdasarkan Lembaga Perencanaan Ekonomi pemerintah, penduduk Korea Selatan akan mencapai total antara 46 juta sampai 48 juta jiwa sampai akhir abad ke-20, dengan angka perutumbuhan penduduk berkisar antara 0,9 sampai 1,2 persen. Lalu populasi akan mengalami stabilisasi (berhenti bertumbuh) pada tahun 2023 dengan populasi sekitar 52,6 juta jiwa.
Angka kelahiran di Korea Selatan kini menjadi salah satu yang terendah di dunia. Pada tahun 2006, tercatat 452.000 kelahiran dengan persentase 9,22, meningkat sedikit daripada tahun sebelumnya yakni 438.000 kelahiran pada persentase 8,97.
Pola permukiman populasi
Korea Selatan adalah salah satu negara dengan penduduk yang paling padat di dunia, dengan estimasi 425 jiwa per kilometer persegi pada tahun 1989 – 16 kali lebih padat dibanding Amerika Serikat pada akhir dekade 1980-an. Sebagai perbandingan, pada saat itu Republik Rakyat Tiongkok memiliki kepadatan penduduk 114 jiwa per km persegi, Jerman Barat 246 jiwa, dan Jepang 323. Karena 70 persen daratan Korea Selatan merupakan dataran bergunung-gunung dan populasi terkonsentrasi di dataran rendah, kepadatan penduduk aktual sebenarnya lebih tinggi dibanding kepadatan penduduk rata-rata. Pada awal tahun 1975 saja dari 35 kota dengan populasi 50.000 jiwa atau lebih kepadatan per kilometer perseginya adalah 3700 jiwa dan menjelang akhir tahun 1980-an angka tersebut pasti melonjak dikarenakan pesatnya urbanisasi.
Pada tahun 1988, daerah ibu kota Seoul mempunyai kepadatan sampai 17.030 jiwa per km², melonjak dari 13.816 jiwa pada tahun 1980. Kota terbesar ke-2, Busan, mempunyai kepadatan 8.504 jiwa per km² pada tahun 1988, lebih tinggi dari tahun 1980 yang mencapai 7.272 jiwa. Provinsi yang memiliki penduduk terpadat adalah provinsi Gyeonggi, yang mempunyai banyak kota urban seperti Incheon dan Suwon. Sementara wilayah dengan penduduk yang paling jarang adalah provinsi Gangwon.
Kepadatan penduduk yang luar biasa menjelang dekade 1990-an bukan hanya dikarenakan faktor perkembangan ekonomi dan standar hidup yang meningkat sangat pesat, tapi juga dikarenakan meningkatnya perilaku sosial dan hubungan antar masyarakat. Dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia, orang Korea harus beradaptasi untuk hidup dengan rukun bersama orang lain di dalam permukiman dan ruang yang terbatas dikarenakan kompetisi dalam memanfaatkan sumber daya yang tidak banyak tersedia, termasuk tanah untuk tempat tinggal. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat berarti ruang untuk tinggal atau bekerja akan semakin sempit. Berdasarkan Badan Perencanaan Ekonomi pemerintah, kepadatan penduduk akan menjadi 530 jiwa per km² pada tahun 2023, tahun dimana populasi Korea Selatan akan berhenti tumbuh.
Urbanisasi
Seperti halnya dengan negara-negara industri baru yang lain, Korea Selatan juga mengalami pertumbuhan area urban yang sangat pesat yang diakibatkan perpindahan sejumlah besar orang dari pedesaan. Pada abad ke-18 dan 19, Seoul adalah kota terbesar di Korea dengan jumlah penduduk sekitar 190.000 jiwa, kontras dengan Edo (Tokyo) yang telah berpopulasi melebihi satu juta jiwa dan populasi urban mencapai 10 – 15 persen dari jumlah penduduk pada Periode Tokugawa (1600-1868). Pada akhir periode Dinasti Joseon dan awal pendudukan Jepang, populasi urban di Korea kurang dari 3 persen dari jumlah penduduk. Setelah tahun 1930, saat Jepang mulai mengintensifkan industrialisasi di Korea, khususnya di bagian utara dan Manchuria, proporsi urban dari keseluruhan populasi mulai meningkat, dan mencapai 11,6 persen pada tahun 1940.
Antara tahun 1945-1985, populasi urban di Korea Selatan tumbuh dari 14,5 % menjadi 65,4 %. Pada tahun 1988, Badan Perencanaan Ekonomi menaksir angka itu akan tumbuh jadi 78,3 % di akhir abad ke-20. Peningkatan ini lebih karena terus berlangsungnya urbanisasi dibanding pertumbuhan masyarakat urban itu sendiri. Angka pertumbuhan penduduk urban nyatanya lebih rendah dibanding rata-rata nasional. Namun begitu statistik ini tidak sepenuhnya menentukan angka urbanisasi di Korea Selatan. Populasi urban didefenisikan dalam sensus nasional hanya untuk daerah permukiman dengan 50.000 jiwa atau lebih. Walau begitu, banyak permukiman yang berpeduduk lebih kecil dari 50.000 jiwa adalah kota-kota satelit khusus yang mengelilingi DKI Seoul serta beberapa kota yang berada di timur laut provinsi Gangwon. Kota-kota ini dianggap permukiman urban dilihat dari taraf hidup dan pekerjaannya namun dilihat dari posisinya sebenarnya adalah daerah pedesaan.
Pecahnya Perang Korea juga menjadi penyebab besarnya angka urbanisasi di awal 1950-an. Ratusan ribu pengungsi dari Korea Utara mengalir ke selatan. Pasca perang, warga desa berbondong-bondong pindah ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di akhir dekade 60-an, urbanisasi telah menjadi masalah serius karena memadati perkotaan dan menyebabkan berkurangnya pemuda di pedesaan yang produktif.
Pada tahun 1970, pemerintahan Park Chung Hee mencanangkan Gerakan Desa Baru (Saemaul Undong) untuk merekonstruksi kehidupan dan kondisi ekonomi masyarakat pedesaan, mengatasi urbanisasi ke kota, juga menutup jurang pemisah pendapatan dengan masyarakat kota, serta membangun basis politik. Walau program ini gencar dilancarkan semasa pemerintahan Park, tidak begitu jelas menjelang akhir 1980-an apakah program Saemaul Undong berhasil atau tidak mencapai targetnya. Nyatanya sebagian besar pedesaan pertanian dan nelayan masih didominasi kaum tua; sangat sedikit pemuda yang masih menjalankan pekerjaan di sawah atau sebagai nelayan. Kecenderungan ini nyata pada periode 1986-1987: proporsi usia 50 tahun ke atas dalam komunitas pertanian meningkat dari 28,7 % menjadi 30,6 % pada tahun 1987, sementara jumlah usia produktif menurun dari 11,3 % menjadi 10,8%. Persentase usia 50 tahun/lebih dan usia produktif (20-an tahun) secara nasional pada tahun 1986 masing-masing adalah 14,9 % dan 20,2 %.
Pada tahun 1985, kota-kota terbesar adalah Seoul (9.645.932 jiwa), Busan (3.516.807 jiwa), Daegu (2.030.672 jiwa), Incheon (1.387.491), Gwangju (906.129) dan Daejeon (866.695). Berdasarkan statistik pemerintah, populasi Seoul, salah satu kota terbesar di dunia, melebihi 10 juta jiwa pada akhir tahun 1988. Pertumbuhan rata-rata tahunan Seoul pada akhir 1980-an lebih dari 3 %. Dua per tiga angka pertumbuhan ini lebih disumbangkan oleh angka urbanisasi daripada pertumbuhan alami. Survei menunjukkan bahwa faktor-faktor utama orang datang ke Seoul dari daerah adalah "untuk mencari pekerjaan" atau "baru direkrut", "mendapat transfer kerja" dan "bisnis". Faktor lainnya adalah "mengejar pendidikan" dan "menginginkan tempat yang nyaman untuk tinggal".
Untuk mengurangi kepadatan pusat kota Seoul, pemerintah kota mencanangkan program-program di pertengahan tahun 1980-an yang berfokus pada pengembangan 4 zona inti sampai tahun tahun 2000; daerah pusat kota, Yongdeung-po-Yeouido, Yongdong dan Jamsil. Kota-kota satelit mulai diperbaharui dan didirikan. Pada akhir tahun 1980-an statistik menunjukkan populasi siang hari atau pekerja dari kota-kota sekitar 6 kali lebih banyak daripada penduduk terdaftar. Program pengembangan 4 zona inti akan mengurangi kepadatan penduduk di pusat kota. Banyak menteri pemerintahan telah pindah dari Seoul, kemudian markas angkatan darat dan udara telah direlokasikan ke kota Daejeon.
Pada tahun1985, populasi Seoul adalah 23,8 persen dari populasi nasional. Kota-kota di daerah juga mengalami pertumbuhan pesat, terutama di daerah pesisir selatan, seperti kota-kota pelabuhan Busan, Masan, Yeosu, Jinhae, Ulsan dan Pohang. Sensus menunjukkan bahwa populasi Ulsan meningkat 8 kali lipat dari 30.000 jiwa pada tahun 1960 menjadi 551.300 pada tahun 1985. Kebanyakan kota-kota ini ada di wilayah Gyeongang Selatan, kecuali Yeosu. Provinsi Gyeongsang Selatan memang menjadi daerah yang paling sering menerima proyek pemerintah.
Pertumbuhan urban yang begitu pesat merupakan masalah sama yang dihadapi negara maju dan berkembang. Konstruksi besar-besaran kompleks apartemen tinggi di Seoul dan kota-kota besar lain bermanfaat mengatasi kelangkaan ruang untuk tinggal. Tapi juga membuat masalah bagi puluhan ribu orang yang diharuskan pindah dari tempat tinggal mereka dikarenakan mereka tidak mampu membayar sewa bangunan yang baru. Di akhir 1980-an, masih terdapat permukiman kumuh dan padat di beberapa bagian Seoul. Masalah lingkungan juga menjadi serius karena pabrik-pabrik yang terkonsentrasi di daerah permukiman, pertumbuhan kendaraan bermotor, dan penggunaan batu bara untuk penghangat pada musim dingin telah menyebabkan pencemaran air dan udara yang parah.
Imigrasi ke luar negeri
Imigrasi skala besar dari Korea dimulai sejak tahun 1904 dan terus berlanjut sampai akhir Perang Dunia II. Selama masa Pendudukan Jepang dari tahun 1910-1945, banyak orang Korea yang berimigrasi ke Manchuria (Heilongjiang, Jilin, Liaoning), Uni Soviet, Hawaii dan Amerika. Orang Korea dari bagian selatan berimigrasi ke Jepang, sementara dari utara ke Manchuria, Cina, dan Siberia. Sebagian besar pindah dikarenakan alasan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik, serta dikarenakan penindasan Jepang yang memperkenalkan sistem kepemilikan tanah yang menuntut pajak berlebihan sehingga banyak petani yang kehilangan tanah mereka.
Pada masa Perang Dunia II banyak orang Korea yang dipekerjakan sebagai tenaga kerja pembantu militer Jepang. Pada tahun 1940-1944, hampir 2 juta orang Korea tinggal di Jepang, 1,4 juta di Manchuria, 600.000 di Siberia dan 130.000 di Cina. Sekitar 40.000 tersebar di berbagai negara. Pada saat Perang Dunia II berakhir, sekitar 2 juta orang Korea kembali dari Jepang dan Manchuria ke tempat asal mereka.
Di awal 1980-an, sekitar 4 juta orang Korea tinggal di luar negeri. Kelompok terbesar sebanyak 1,7 juta jiwa tinggal di Cina dan menjadi warga negara Cina. Uni Soviet (Asia Tengah) memiliki populasi warga keturunan Korea sebanyak 430.000 orang. Sebagian besar dari mereka sukses mengusahakan pertanian kolektif.
Kontras, sebagian besar dari 700.000 warga keturunan Korea di Jepang hidup di bawah standar. Kondisi ini terjadi dikarenakan diskriminasi oleh sebagian besar warga Jepang yang menganggap warga Korea di Jepang berhaluan ke Korea Utara. Di Jepang terdapat lembaga yang dibentuk oleh masyarakat Korea pro Korea Utara bernama Chongryon dan Mindan yang pro Korea Selatan. Sejak dibukanya hubungan diplomatik antara Seoul dan Tokyo pada tahun 1965, pemerintah Korea Selatan telah berperan aktif dalam mempromosikan kepentingan warganya dengan mengadakan pembicaraan dengan pemerintah Jepang. Pemerintah Korea Selatan juga membuka sekolah-sekolah Korea di Jepang.
Di akhir tahun 1988 terdapat lebih dari 2 juta warga Korea Selatan yang pergi ke luar negeri untuk menetap, dengan Amerika Utara sebagai tujuan utama. Di Amerika Serikat dan Kanada, para pendatang asal Korea, baik yang sudah menjadi warga negara ataupun pendatang baru yang jumlahnya mencapai lebih dari 1,2 juta orang terbilang sukses dalam menjalankan bisnis di sana.
Suku bangsa
Korea Selatan adalah negara yang memiliki komposisi suku bangsa yang sangat homogen, hampir seluruhnya adalah etnis Korea. Pada tahun 1970, sekitar 120.000 orang Cina (etnis Tionghoa) menetap di Korea Selatan dan jumlah itu terus menurun hingga menjadi 21.000 orang saat ini. Bagaimanapun juga di akhir 1990-an, jumlah mereka sempat meningkat tajam, diperkirakan saat itu terdapat 300.000 sampai 1.000.000 warga negara Cina yang tinggal di Korea Selatan, termasuk warga Cina keturunan Korea (Joseonjok;朝鮮族) dan etnis Tionghoa (Hwagyo;華僑).[1]
Para pekerja migran dari Asia Tenggara dan Asia Selatan juga mengalami pertumbuhan pesat. Mereka umumnya bekerja di pabrik-pabrik dan proyek di berbagai kota di Korea Selatan, terutama di Gyeonggi dan Seoul. Jumlah pernikahan campur antara orang Korea dengan orang asing juga meningkat dalam 5 tahun belakangan. Pada tahun 2005, jumlah pernikahan dengan orang asing mencapai tingkat 14 persen atau sebanyak 26.000 pernikahan di Korea Selatan. Kebanyakan pria Korea Selatan menikah dengan wanita asal Cina dan Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Di Korea Selatan terdapat sekitar 29.000 personel militer Amerika Serikat yang ditugaskan di basis militer untuk membantu mengamankan perbatasan dengan Korea Utara.
Statistik demografis CIA World Factbook
Tahun
|
Populasi
|
Angka pertumbuhan
|
Struktur usia
|
2007
|
49.044.790
|
0,578%
|
- 0-14 tahun: 18,3% (pria 4.714.103/wanita 4.262.873)
- 15-64 tahun: 72,1% (pria 18.004.719/wanita 17.346.594)
- 65 tahun atau lebih: 9,6% (pria 1.921.803/wanita 2.794.698)
|
2006
|
48.846.823
|
0,58%
|
- 0-14 tahun: 18,9% (pria 4.844.083/wanita 4.368.139)
- 15-64 tahun: 71,8% (pria 17.886.148/wanita 17.250.862)
- 65 tahun atau lebih: 9,2% (pria 1.818.677/wanita 2.678.914)
|
Struktur usia
- 0-14 tahun: 18,3% (pria 4.714.103/wanita 4.262.873)
- 15-64 tahun: 72,1% (pria 18.004.719/wanita 17.346.594)
- 65 tahun atau lebih: 9,6% (pria 1.921.803/wanita 2.794.698)
Pertumbuhan
- Angka kelahiran: 9,38 kelahiran/1.000 populasi (perkiraan 2006)
- Tingkat fertilitas: 1,25 anak lahir/wanita (Agustus 2006)
- Angka kematian: 5,94 kematian/1.000 populasi (perkiraan 2006)
- Angka kematian bayi: 6,05 kematian/1.000 bayi lahir (perkiraan 2006)
- Angka migrasi: 0 migran/1.000 populasi (perkiraan 2006)
Rasio jenis kelamin
- pada saat kelahiran: 1,13 laki-laki/perempuan
- di bawah 15 tahun: 1,12 laki-laki/perempuan
- 0-1 tahun: 1,03 laki-laki/perempuan
- 65 tahun dan lebih: 0,63 pria/perempuan
- total populasi: 1,01 pria/wanita (perkiraan 2000)
Harapan hidup
- total populasi: 79,05 tahun
- pria: 75,7 tahun
- wanita: 82,4 tahun (perkiraan 2007)
Agama
- Nonreligius: 46,92%
- Kristen: 29,25%
- Buddha: 22,8%
- Kong Hu Chu: 0,23%
- Islam: 0,08%[2][3][4]
- Lain-lain: 0,53% - 0,72%
Melek huruf
- Definisi: usia 15tahun dan lebih yang mampu menulis dan membaca bahasa Korea
- total populasi: 97,9%
- pria: 99,2%
- wanita: 96,6% (2002)
- sumber: CIA World Factbook 2006; International Religious Freedom Report 2006
Referensi
Lihat pula
Pranala luar