Tidak ada data resmi tentang agama di Korea Utara dan secara institusi, negara ini termasuk negara Ateis, di mana 64% penduduknya tidak memiliki agama.[2][3] Berdasarkan perkiraan tahun 1990-an[4] dan 2000-an,[1][5]Korea Utara merupakan negara paling tidak religius, tetapi ada beberapa yang menganut kepercayaan tradisi Korea, yakni Shamanisme dan Chondoisme. Sejumlah pemeluk agama Buddha dan Kekristenan menjadi minoritas di negara ini.[6]
Agama Utama
Cheondoisme
Chondoisme (Korea: 천도교 Ch'ŏndogyo) atau Cheondoisme merupakam agama yang berakar dari ajaran Konghucu. Ajaran ini dipelopori oleh Choe Je-u (1824–1864), anggota keluarga miskin yangban,[7] pada tahun 1860 sebagai balasan untuk melawan gerakan "agama luar", menurut pandangannya, termasuk ajaran Budha dan Kekristenan (bagian dari Seohak, pengaruh budaya barat ke Korea diakhir abad ke-19). Choe Je-u membentuk Chondoisme setelah mendapatkan ilham Sangje atau Haneullim, dewa dari Surga dalam tradisi shamanisme. Berdasarkan penelitian, sekitar 13.5% atau 3.245.000 jiwa merupakan pemeluk Chondoisme.[1]
Chondoisme menjadi agama satu-satunya yang paling disukai oleh pemerintahan Korea Utara. Ini merupakan perwakilan dari Partai Chondoist Chongu, dan ini diakui pemerintahan Korea sebagai agama negara."[8] karena ini merupakan identitas minjung (kepopuleran)[9] dan revolusi anti-imperialisme.
Shamanisme Korea atau perdukunan Korea dikenal juga sebagai "Muism" (무교 Mugyo, "mu "agama" [shaman])[10] atau "Sinism" (신교 Singyo, "agama shin (agama Tiongkok) (dewa),[11] adalah agama tradisi Korea dan orang Korea.[12] Terkadang diartikan sama:[12] Jung Young Lee mengartikan "Muism" sebagai sebuah bentuk Sinisme–tradisi shamanik dengan agama.[13] Nama lain untuk agama ini adalah "Sindo" (신도 "Jalan para dewa") atau "Sindoisme" (신도교 Sindogyo, "agama jalan para dewa").[14][note 1] Pemeluk Shamasime atau perdukunan di Korea Utara sekitar16% atau sekitat 3.846.000 jiwa penduduk.[1]
Dalam bahasa kontemporer Korea, pendeta-shaman atau mu dikenal dengan sebutan mudang untuk perempuan dan baksu untuk laki-laki, dan ada pula sebutan lain yang digunakan.[12][note 2]. Peran dari mudang adalah sebagai perantara antara spiritual atau dewa, dan rencana manusia, dengan melakukan "ritual khusus" dalam usaha mencari solusi atas masalah manusia.[15]
Pusat keyakinan dari Haneullim atau Hwanin adalah "sumber dari semua makhluk",[16] dan semua kehidupan para dewa,[13] dewa tertinggi atau pikiran tertinggi.[17]Mu dianggap sebagai "Raja Surga", anak dari "Ibu Surga [Raja Surgawi]", yang penobatannya dari garis keturunan perempuan.[17]
Mudang sendiri ada kemiripan dengan bahasa Jepangmiko dan Ryukyuan. Muisme telah memberikan pengaruh pada beberapa agama baru Korea, seperti Chondoisme di Korea Utara. Dan dalam hasil penelitian sociological studies, banyak gereja Kristen di Korea Utara menggunakan praktik-praktik yang berakar pada perdukunan karena teologi perdukunan Korea memiliki kesamaan dengan agama Kristen.[21]
Agama Minoritas
Sejumlah pemeluk agama lain seperti Budha, Konghucu, dan Kristen ada di negara ini. Data penelitian menyebutkan, sekitar 1.820.000 jiwa (4.5%) merupakan pemeluk agama Budha dan sekitar 400.000 jiwa (1.7%) merupakan pemeluk agama Kekristenan. Sedangkan 3.000 jiwa (0.1%) adalah pemeluk agama Islam dan umumnya adalah para perwakilan di kedutaan negara dari negara lain.[1]
Beberapa rumah ibadah yang diakui di Korea Utara adalah Katedral Jangchun bagi pemeluk Katholik Roma, lalu ada pula Gereja Chilgol dan Gereja Pongsu untuk pemeluk agama Kristen Protestan dan gereja Jongbaek bagi pemeluk agama Ortodoks, khususnya dari Rusia. Sedangkan bagi pemeluk Islam, shalat jumat umumnya dilaksanakan di Masjid Ar-Rahman yang terletak di kompleks Kedutaan Besar Iran.[6]
^Sebutan atau nama lain untuk pendeta-shaman ialah dangol
Referensi
^ abcdeAlton, 2013. p. 79. As of 2005 the agency "Religious Intelligence UK" estimated 3,846,000 believers of Korean shamanism, 3,245,000 Chondoists, 1,082,888 Buddhists, 406,000 Christians, and the rest non-believers.
Daniel Tudor. Korea: The Impossible Country. Tuttle Publishing, 2012. ISBN0804842523
David Alton. Building Bridges: Is There Hope for North Korea?. Lion Hudson, 2013. ISBN0745955983
Donald L. Baker. Korean Spirituality. University of Hawaii Press, 2008. ISBN0824832574
George D. Chryssides, Ron Geaves. The Study of Religion: An Introduction to Key Ideas and Methods. Continuum International Publishing Group, 2007. ISBN0826464491
James H. Grayson. Korea–A Religious History. Routledge, 2002. ISBN070071605X
Joon-sik Choi. Folk-Religion: The Customs in Korea. Ewha Womans University Press, 2006. ISBN8973006282
Justin Corfield. Historical Dictionary of Pyongyang. Anthem Press, 2013. ISBN0857282344
Jung Young Lee. Korean Shamanistic Rituals. Mouton De Gruyter, 1981. ISBN9027933782
Laurel Kendall. Shamans, Nostalgias, and the IMF: South Korean Popular Religion in Motion. University of Hawaii Press, 2010. ISBN0824833988
Sang Taek Lee. Religion and Social Formation in Korea: Minjung and Millenarianism. Walter de Gruyter & Co, 1996. ISBN3110147971
Sorensen, Clark W. University of Washington. The Political Message of Folklore in South Korea's Student Demonstrations of the Eighties: An Approach to the Analysis of Political Theater. Paper presented at the conference "Fifty Years of Korean Independence", sponsored by the Korean Political Science Association, Seoul, Korea, July 1995.
Young Park. Korea and the Imperialists: In Search of a National Identity. Author House, 2009. ISBN1438931409