Prasetia Salib Kunan (bahasa Malayalam: കൂനൻ കുരിശ് സത്യം, Kunan Kurisu Satyam) atau Prasetia Salib Doyong, adalah prasetia yang diikrarkan beramai-ramai di Matanceri pada tanggal 3 Januari 1653 oleh umat Kristen Santo Tomas untuk tidak tunduk kepada padri-padri Yesuit, hierarki Katolik Latin, dan Padroado, baik dalam kehidupan bergereja maupun kehidupan bermasyarakat.[1][2][3] Ada bermacam-macam versi dari isi prasetia ini. Ada yang menyiratkan perlawanan terhadap bangsa Portugis, ada yang menyiratkan perlawanan terhadap padri-padri Yesuit, dan ada pula yang menyiratkan perlawanan terhadap kewibawaan Gereja Roma[4]
Pada tahun 1653, sesudah setengah abad lamanya diatur-atur Gereja Latin, mayoritas umat Kristen Santo Tomas akhirnya menolak padri-padri Yesuit Padroado dan berprasetia di Matanceri, mengikrarkan tekad mereka untuk membebaskan diri dari usaha latinisasi maupun penjajahan bangsa Portugis. Mereka mendapuk Toma I menjadi diakon agung sekaligus pemimpin komunitas mereka, dan memutuskan untuk kembali membina persekutuan dengan Gereja-Gereja Timur.[11][2][12]
Umat Kristen Santo Tomas di Malabar diyakini bersatu dengan Gereja Persia dari tahun 300 sampai 1599.[13][14] Mereka mengandalkan Batrik-Katolikos Gereja Persia sebagai pemasok uskup.[15] Meskipun digembalakan uskup-uskup asal Timur Tengah, tata usaha Gereja Kerala diselenggarakan oleh seorang diakon agung bumiputra.[16] Diakon agunglah pemimpin umat Kristen Santo Tomas yang sesungguhnya.[17] Bahkan bilamana ada lebih dari satu orang uskup asing, hanya akan ada satu orang diakon agung bagi segenap komunitas Kristen Santo Tomas.[17] Sesudah bangsa Portugis menjajah beberapa daerah di India, rohaniwan asal Portugal, khususnya padri-padri Serikat Yesus (Yesuit), berusaha melatinkan umat Kristen India.[18]
Bangsa Portugis mendirikan keuskupan ritus Latin di Goa pada tahun 1534, dan di Koci pada tahun 1558, lalu berusaha menggiring umat Kristen Santo Tomas ke dalam lingkup kewenangan hukum Padroado dan menjadi umat pengamal ritus liturgis Latin di haribaan Gereja Katolik. Sinode-sinode, termasuk Sinode Goa tahun 1585, diselenggarakan demi memasukkan unsur-unsur latin ke dalam peribadatan umat Kristen Santo Tomas. Pada tahun 1599, Sinode Udayamperur yang diketuai Aleixo de Menezes, Uskup Agung Goa, akhirnya secara resmi menempatkan umat Kristen Santo Tomas di bawah yurisdiksi Keuskupan Agung Goa Ritus Latin.[19]
Umat Kristen Santo Tomas merasa kemandirian Gereja purba mereka telah direnggut. Pemerintahan Padroado berlangsung singkat lantaran rasa tidak puas dan hasrat untuk merdeka di dalam sanubari umat Kristen Santo Tomas sungguh-sungguh nyata dan sudah tidak dapat dibendung lama-lama. Diakon Agung Tomas, pemimpin umat Kristen Santo Tomas, akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tiada lain penawar derita kaumnya kecuali kedatangan seorang uskup Gereja Timur dari latar belakang tradisi yang sudah berabad-abad lamanya mereka akrabi.[3] Ia lantas mengajukan permohonan bantuan lewat surat kepada Batrik Aleksandria Qubti, Batrik Antiokhia Yakubi, dan Batrik Babel Nestorian.[3] Sayang sekali tak sepucuk pun balasan ia dapatkan.
Pada tahun 1652, Ahatallah, seorang prelatus Gereja Timur, berkunjung ke India. Tersiar kabar bahwa ia mendarat di bandar Surat dan berkunjung ke Mayilapur, kota tempat ia ditahan padri-padri Yesuit pada tanggal 3 Agustus 1652.[20] Selama berada di Mayilapur, Ahatalla sempat bertemu dengan dua orang diakon Kristen Suryani, yakni Cengganur Iti dan Kurawilanggad Kizakedat Kurien dari Malangkara, yang sedang singgah dalam perjalanan ziarah ke makam Santo Tomas. Kepada mereka, Ahatalla menitipkan sepucuk surat berisi pesannya kepada Gereja Malangkara sebagai berikut:
Saya, Ignasius, Batrik Seluruh India dan Tiongkok, mengirimimu sepucuk surat lewat rohaniwan-rohaniwan yang datang dari tempat tinggal kamu. Bilamana surat ini sudah kamu baca dengan saksama, utuslah kepadaku dua orang imam dan sepuluh orang pria awam. Akan tetapi jika kamu sudah akan mengutus mereka dari tempat tinggal kamu, maka utuslah mereka dengan penuh kewaspadaan, dengan bergegas, dan dengan segera, supaya bilamana mereka melihat orang-orang yang kalian utus itu, ikhlas jua mereka melepas kepergian saya tanpa kendala apa-apa. Saya datang ke kota Mayilapur lantaran menurut hemat saya banyak orang yang datang ke mari, dan imam-imam akan mengantar saya ke tempat kamu berdiam di bumi India ini. Hatta pada tahun 1652 tarikh Tuhan kita, bulan Agustus, hari Senin, tibalah saya di Mayilapur, tepatnya di biara padri-padri Yesuit. Saya tinggal di biara yang sama, dan padri-padri itu pun banyak membantu saya, bertambah-tambahlah kiranya pahala mereka. Damai sejahtera menyertai mereka, menyertaimu, dan menyertai kita sekalian, sekarang dan senantiasa, amin. Saya, Ignasius, Batrik Seluruh India dan Tiongkok.
Di Madras, Ahatalla dinaikkan ke atas sebuah kapal Portugis yang hendak berlayar ke Goa, dan akan singgah di bandar Koci sebelum meneruskan pelayarannya sampai ke tujuan. Saat mendengar kabar bahwa kapal itu akan singgah di bandar Koci, diakon agung bersama sejumlah besar imam dan beberapa ratus umat awam berkumpul di Matanceri. Usaha mereka untuk menemui Ahatallah selagi kapal itu berlabuh di Koci berakhir sia-sia. Mereka menyurati semua pihak berwenang di Koci, baik sipil maupun keagamaan, demi mendapatkan sekurang-kurangnya satu kesempatan tatap muka dengan Ahatallah untuk memastikan asal-usul dan jati dirinya, dengan berjanji akan menjadi pihak pertama yang menuntut supaya ia dijatuhi pidana jika nanti kedapatan berdusta. Permohonan mereka ditolak lantaran ditentang keras Uskup Agung Garcia dan padri-padri Yesuit.[20] Mereka diberi tahu bahwa kapal yang ditumpangi Ahatallah sudah berlayar ke Goa. Bahkan tersiar selentingan bahwa Ahatallah sudah mati ditenggelamkan orang-orang Portugis.
Apa yang dialami Ahatallah di tengah Laut Arab masih menjadi misteri. Menurut sejarawan-sejarawan terdahulu, Ahatallah mati ditenggelamkan orang-orang Portugis.[21] Beberapa penulis modern menyebutkan bahwa Ahatallah tidak mati dibunuh pada tahun 1653, tetapi diberangkatkan sebagai tahanan ke Lisboa, dan wafat secara wajar di penjara kota itu.[21] Menurut Jacob Kollamparambil, salah seorang pakar sejarah Gereja, sesudah kapal yang ditumpanginya sampai di Goa, Ahatallah diserahkan kepada inkuisisi, dan tinggal di wisma paguyuban Yesuit di bawah pengawasan ketat. Ia diberangkatkan ke Portugal dengan kapal Nosa Senhora da Graca dari Goa, dan tiba di Lisboa pada tanggal 14 Juli 1653.[20] Raja Portugal memutuskan untuk memberangkatkannya ke Roma. Joseph Thekkedath, pakar sejarah Gereja lainnya, mengemukakan bahwa Vinsensius de Paul, yang berjumpa dengan Ahatallah di Paris, menyebutkan bahwa "masih berdiam di kota ini seorang pria budiman lagi sepuh, delapan puluh tahun usia beliau, seorang asing, tinggal menumpang di rumah Tuan Uskup Agung Mira. Kata orang, beliau adalah Batrik Antiokhia. Andai pun benar demikian, beliau hidup sebatang kara, tanpa tanda-tanda jabatan rohaniwan berpangkat tinggi".[22] Joseph Thekkedath menambahkan pula bahwa kemungkinan besar Ahatalla wafat di Paris.[23]
Isi prasetia
Perlakuan yang diterima Ahatalla mengguncang komunitas umat Kristen Santo Tomas. Perasaan terluka pada akhirnya mengobarkan gerakan massa yang menuntut pemutusan hubungan dengan Padroado Kerajaan Portugal maupun dengan padri-padri Yesuit.[24]
"Andaikata batrik tidak dapat dijumpai, maka ia sudah mati dibunuh padri-padri Paulus (Yesuit). Baiklah orang lain, yang menyandang salah satu dari empat jabatan imamat, datang ke mari atas perintah imam besar, yakni orang yang paham bahasa Suryani, yang mampu mengajari kami ihwal ibadat-ibadat wajib kami, kecuali padri-padri Paulus, yang sama sekali tidak kami kehendaki, lantaran mereka adalah seteru kami dan seteru Gereja Roma. Selain mereka, siapa saja boleh datang, dan kami bersedia untuk patuh tanpa ragu-ragu."[25]
Umat Kristen Santo Tomas sekali lagi melakukan pendekatan damai sebelum mengambil tindakan tegas. Mereka menyurati Uskup Agung Garcia, memintanya untuk menghadiri suatu pertemuan tatap muka dengan mereka, tetapi undangan ini ditolak. Umat Kristen Santo Tomas benar-benar kesal lantaran niat baik mereka tidak diindahkan Uskup Agung Garcia. Pada tanggal 3 Januari 1653, Diakon Agung Tomas dan wakil-wakil umat berkumpul di Gereja Bunda Hayat di Matanceri untuk berprasetia "tidak lagi tunduk kepada orang-orang Portugis". Mereka mengikrarkan prasetia tersebut dengan lantang seraya berdiri menghadap sebuah tugu salib granit dan lilin-lilin bernyala, sementara diakon agung dan imam-imam menumpangkan tangan di atas Alkitab.[26] Lantaran sangat ramai orang yang hadir, tidak semuanya dapat berprasetya sambil menyentuh tugu salib. Oleh karena itu, seutas tambang disangkutkan pada tugu salib, lalu diulurkan untuk dipegang para hadirin.[26] Konon lantaran tambang dihela khalayak yang begitu ramai, tugu salib menjadi sedikit doyong, sehingga peristiwa itu pun akhirnya dikenang dengan nama "Prasetia Salib Doyong" (Kunan Kurisu Satyam).[27][28]
Sesudah diikrarkannya prasetia bersejarah ini, hanya 400 orang dari 200.000 jiwa umat Kristen Santo Tomas yang bertahan tunduk kepada Uskup Agung Garcia. Peristiwa ini menghancurkan supremasi Padroado selama 54 tahun atas umat Kristen Santo Tomas, terhitung sejak ditetapkan dalam Sinode Udayamperur tahun 1599.
Beragam tafsir
Kalimat-kalimat yang dilisankan pada peristiwa Prasetia Salib Kunan masih diperdebatkan. Ada bermacam-macam versinya.[4]
Sumber sekunder
Stephen Neill
Di dalam bukunya, A History of Christianity in India: The Beginnings to AD 1707, Stephen Neill, sejarawan sekaligus misionaris Anglikan asal Skotlandia, menguraikan peristiwa itu sebagai berikut:
Pada bulan Januari 1653, imam maupun umat berhimpun di Gereja Bunda Maria di Matanceri. Seraya berdiri di hadapan sebuah tugu salib dan lilin-lilin bernyala, mereka berikrar demi Injil yang kudus untuk tidak lagi taat kepada Garcia, dan untuk tidak lagi berurusan dengan padri-padri Yesuit. Mereka akan menghormati diakon agung sebagai pemimpin Gereja mereka. Inilah peristiwa prasetia "Salib Kunan" (tugu salib di halaman gereja di Matanceri) yang terkenal itu. Umat Kristen Santo Tomas sama sekali tidak menyiratkan niat untuk memutuskan hubungan dengan Sri Paus. Mereka hanya sudah muak dengan arogansi Garcia. Ketidaksukaan mereka terhadap padri-padri Yesuit, yang lagak dan ketidakacuhannya dianggap sebagai biang keladi segala permasalahan mereka, juga tercermin di dalam semua dokumen dari masa itu. Namun andaikata sri Paus mengutus seorang uskup sejati kepada mereka, bukan seorang Yesuit, niscaya akan mereka sambut dan patuhi dengan senang hati.[24]
Bagi Stephen Neil, Prasetia Salib Kunan hanyalah ungkapan kemarahan terhadap Uskup Agung Garcia dan padri-padri Yesuit. Pakar sejarah Gereja lainnya, Dietmar W. Winkler, juga berpandangan bahwa Prasetia Salib Kunan bukanlah ikrar perlawanan terhadap Takhta Suci Roma, melainkan terhadap uskup agung ritus Latin dan karya misi padri-padri Yesuit.[29]
Robert Eric Frykenberg
Sejarawan Amerika, Robert Erick Frykenberg, meriwayatkan peristiwa tersebut di dalam bukunya, Christianity in India From Beginnings to the Present, sebagai berikut:
Pada peristiwa Salib Kunen, himpunan imam (katanar) dan umat dengan khusyuk berdiri di hadapan sebuah tugu salib dan lilin-lilin bernyala, lalu mengikrarkan prasetia demi Injil, bahwasanya mulai dari saat itu mereka akan berdaya upaya memulihkan kemerdekaan Gereja purba mereka separipurna sediakala, dan bahwasanya mereka tidak akan lagi mematuhi Fransiskus Garcia (SJ) maupun prelatus lain yang diutus Gereja Peringgi di Roma.[30]
Bagi Robert Eric Frykenberg, Prasetia Salib Kunan adalah penentangan terhadap Gereja Roma.
István Perczel
István Perczel, pakar Kristen purba asal Hungaria sekaligus pakar hal-ihwal umat Kristen Santo Tomas, menjabarkan peristiwa tersebut sebagai berikut:
Akan tetapi, pada masa jabatan uskup agung Yesuit sesudahnya di Keuskupan Kodunggalur, situasi justru bertambah buruk, dan pada akhirnya mengobarkan pemberontakan komunitas Kristen Santo Tomas melawan bangsa Portugis dan padri-padri Yesuit, yakni Prasetia Salib Doyong (kūnan kuriśu satyam) yang termasyhur itu. Umat Kristen menolak untuk patuh kepada bangsa Portugis dan padri-padri Yesuit, lantas sang diakon agung, Tomas Pakalomatam, ditahbiskan menjadi Metropolit India dengan nama Mar Toma, dan komunitas Kristen Santo Tomas pun berprasetia kepada Batrik Kasdim.[31]
Sumber primer
Surat Mar Gabriel, Metropolit Suryani Timur di Malabar (1705–1731)
Di dalam sepucuk surat bertajuk "Purbakala Umat Kristen Suryani dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah yang Berkaitan dengan Mereka", yang dialamatkan kepada Jacobus Canter Visscher, pendeta Belanda yang berkarya di Koci dari tahun 1717 sampai 1720, Mar Gabriel meriwayatkan peristiwa Prasetia Salib Kunan sebagai berikut:[32]
Sementara itu, seorang imam bernama Mar Mati [maksudnya Ahatalla] datang ke Mayilapur, diutus Batrik Katolik. Orang-orang Portugis menahannya dan membawanya ke kota, kemudiannya menyeretnya ke pelabuhan dan melemparkannya ke laut. Ketika mendengar kabar tentang kejadian itu, umat Kristen Malabar berkumpul di gereja Mar Tanceri [Matanceri], berembuk, lalu sepakat mengikat janji dengan berprasetia, dan dengan demikian mencampakkan kuk bangsa Portugis dari tengkuk mereka, lantaran sebelumnya mereka lebih dulu menulis dan menandatangani sepucuk surat pernyataan untuk tidak lagi berurusan dengan bangsa Portugis, baik dalam susah maupun senang, mulai dari saat itu sampai selama-lamanya.[33]
Versi Anggamali Padiyola tahun 1787
Di dalam Anggamali Padiyola, deklarasi umat Katolik Suryani (umat Kristen Santo Tomas golongan Pazayakur) tahun 1787, Prasetia Salib Kunan diriwayatkan sebagai berikut:
Nenek moyang kami menerima iman sejati akan Yesus Kristus melalui Rasul Tomas yang kudus. Oleh karena itulah uskup-uskup Suryani Kasdim memimpin kami sampai dengan mangkatnya Metropolit Mar Abraham di Gereja Timur di Anggamali pada tahun 1596. Selanjutnya padre Sampalur [padri-padri Yesuit] menghalangi masuknya uskup-uskup Suryani, menindas orang-orang kami, dan memerintah atas mereka dengan tangan besi. Meskipun demikian, seorang Metran [uskup] Suryani [maksudnya Ahatalla] tiba di Koci hendak melawat kami, tetapi tidak lama kemudian terbetiklah kabar bahwa beliau sudah mati ditenggelamkan ke laut. Itulah sebabnya nenek moyang kami bersidang di Matanceri, lalu berikrar bahwa baik mereka maupun anak cucu mereka tidak boleh berurusan lagi dengan padre Sampalur. Kemudian mereka bersidang lagi di gereja Alanggad, dan di sanalah mereka mendapuk Diakon Agung Toma menjadi uskup mereka.[34]
Laporan Perhimpunan Misi Gereja tahun 1818-1819
Laporan Perhimpunan Misi Gereja tahun 1818-1819 (halaman 319) memuat uraian singkat tentang sejarah Gereja Suryani Malangkara (umat Kristen Santo Tomas golongan Putengkur) yang terlestarikan di kalangan umat Gereja itu sendiri. Di dalam uraian tersebut, peristiwa Prasetia Salib Kunan dipaparkan sebagai berikut:
Diakon agung menyurati semua jemaat Suryani, dan sesudah dihimpunnya semua imam, siswa, dan umat Kristen, diwartakanlah berita bahwa orang-orang Portugis sudah membawa Mar Ignasius, sang batrik, ke Koci. Maka bangkitlah mereka lalu bergegas menghadap Raja Koci, meluahkan keluh-kesah mereka ke hadapannya, dan memohonnya untuk melepaskan batrik mereka dari cengkeraman orang-orang Portugis. Raja menjawab bahwa ia pasti akan menyerahkan sang batrik kepada mereka besok pagi. Ia segera memanggil wali negeri Portugis yang berdiam di benteng Koci, lantas bersabda kepadanya, "engkau sudah menahan batrik yang dimuliakan kawula Kristen beta, maka tidak akan senang hati beta sebelum engkau serahkan dia kepada mereka tanpa ditunda-tunda". Akan tetapi orang-orang Portugis memberi raja banyak uang, sehingga diizinkan untuk terus menahan sang batrik. Malam itu juga mereka mengikatkan sebongkah batu besar ke leher sang batrik, lalu mencampakkannya ke laut. Pada waktu mereka berbuat demikian, mangkatlah Raja Koci. Sesudah itu, segenap umat Suryani berhimpun di gereja di Matonceri lantas bersepakat - Orang-orang Portugis sudah membunuh Mar Ignasius, jangan lagi kita mau bergaul dengan mereka. Kita tolak mereka, dan jangan lagi mengharapkan kasih sayang maupun uluran tangan mereka. Fransiskus, uskup yang sekarang menjabat, bukan lagi pemimpin kita. Kita bukanlah anak-anak maupun pengikutnya. Jangan lagi kita mau mengakui kewenangan uskup-uskup Portugis.[35]
Surat Punatara Dionisius III di dalam surat kepada Perhimpunan Misi Gereja
Versi berikut ini termuat di dalam sepucuk surat yang ditulis dalam bahasa Suryani oleh prelatus Gereja Suryani Malangkara, Dionisius Punatara (wafat sekitar tahun 1825), dan dialamatkan kepada ketua Perhimpunan Misi Gereja Anglikan:
Mar Dionisius, Metropolit umat Suryani-Yakubi di Malabar, tunduk kepada bapa kami, Mar Ignasius, batrik, yang bersemayam di atas Takhta Rasuli Antiokhia di Suriah, kekasih Mesias. Cinta kasih dari Kristus dan segenap umat dari semua gereja tercurah ke atas Tuan Gambier dan .... Pada tahun 1653 tarikh Tuhan kita, datanglah bapa rohani kami, Mar Ignasius, sang batrik, dari Antiokhia ke Malabar. Akan tetapi ketika orang-orang Peringgi mengetahui kedatangannya, mereka membawa orang kudus itu ke benteng Koci, mengurungnya di dalam bilik tahanan, dan memberikan uang yang tidak sedikit jumlahnya kepada Raja Koci. Kemudian mereka membawa pergi pria budiman itu, lalu menenggelamkannya ke laut, dan dengan demikian menghilangkan nyawanya. Tatkala kami mengetahui kejadian itu, segenap umat Suryani Yakubi di Malabar berhimpun di gereja Matanceri di Koci, lalu mengikrarkan mahaprasetia, demi Bapa, Putra, dan Roh Kudus, untuk mulai dari saat itu tidak lagi menuruti orang-orang Peringgi, maupun menerima akidah Paus Roma, dan oleh karena itu kami terpisah dari mereka. Tidak lama kemudian, sebagian dari umat kami kembali bergabung dengan mereka, dan menerima akidah Paus.[36]
Di dalam surat ini, Prasetia Salib Kunan ditafsirkan sebagai penentangan terhadap Sri Paus.
Majalah Idawakapatrika tahun 1896
Berikut ini adalah riwayat Prasetia Salib Kunan menurut Matanceri Padiyola yang dimuat di dalam majalah Idawakapatrika (buku 5, jilid 3, bulan Minam), terbit tahun 1896 dan disunting sejarawan dan penulis Ortodoks Suryani, E.M. Philip:
Hari ketiga bulan Makaram, 1653 tahun sesudah kelahiran Māran Isyo Misyiha [Tuhan Yesus Kristus], inilah keputusan yang diumumkan dan dilaksanakan oleh Bapa Diakon Agung beserta imam-imam paroki dan imam-imam pribumi dari gereja-gereja Keuskupan Malangkara, maupun semua orang lain yang hadir di gereja di Matanceri: Lantaran Batrik yang diutus ke Malangkara, bagi kami, dari Gereja Katolik yang kudus, sudah dirampas dari kami oleh uskup dan padre Sampalur demi kepentingan mereka sendiri, kami berikrar bahwa Uskup Mar Fransius, yang saat ini memerintah di Malangkara, bukan lagi uskup kami, dan kami bukan lagi warga keuskupannya, kecuali jika batrik datang ke Malangkara dan kami saksikan dengan mata kepala kami sendiri. Supaya ada uskup yang memimpin Gereja kami menurut tata tertib Gereja yang kudus, maka mulai sekarang Diakon Agung Tomaslah yang harus memimpin. Oleh sebab itu Ititoman Katanar dari Gereja Kaliseri, Kadawil Candi Katanar dari Gereja Kaduturuti, Wenggur Giwargis Katanar dari Gereja Anggamali, dan Candi Katanar dari Gereja Kurawilanggad diangkat menjadi penyelenggara. Keempat-empatnya diberi kuasa, dan harus bersidang tiga tahun sekali [secara teratur] untuk bermusyawarah maupun berfatwa. Maklumat ini ditulis oleh Kadawil Candi Katanar.[37]
Sampalur berarti biara atau kota Santo Paulus, sebutan masyarakat pribumi untuk pangkalan pertahanan Portugis di dekat Waipikota yang menjadi tempat tinggal padri-padri Paulus alias padri-padri Yesuit.[38]
Selepas insiden Prasetia Salib Kunan, beredar tiga pucuk surat berisi pernyataan bahwa penulisnya adalah Ahatalla. Sepucuk surat dibacakan di hadapan sidang di Edapali pada tanggal 5 Februari 1653, berisi pelimpahan beberapa kewenangan uskup agung kepada diakon agung. Seusai pembacaan isi surat, khalayak ramai dengan gegap gempita mengelu-elukan Diakon Agung Tomas sebagai pemimpin Gereja mereka,[39] dan menunjuk empat orang imam menjadi penasihatnya, yakni Kaliseri Anjilimutil Iti Tomen Katanar, Kurawilanggad Parambil Paliwitil Candi Katanar, Kaduturuti Kadawil Candi Katanar, dan Anggamali Wenggur Giwargis Katanar.[40]
Pada sidang berikutnya yang diselenggarakan di Alanggat pada tanggal 23 Mei 1653, sepucuk surat lagi dibacakan. Selain memuat pernyataan bahwa penulisnya adalah Ahatalla, surat ini juga berisi arahan kepada umat Kristen Santo Tomas agar bilamana belum ada uskup, dua belas orang katanar (imam) harus menumpangkan tangan ke atas Tomas, dan dengan demikian dapat dianggap menahbiskannya menjadi uskup.[39]
Keaslian surat-surat tersebut tidak dapat dipastikan. Beberapa pihak beropini bahwa surat-surat tersebut hanyalah hasil rekayasa Anjilimutil Iti Tomen Katanar yang memang menguasai bahasa dan aksara Suryani.[39] Meskipun demikian, Hieronimus memang menyebut-nyebut tentang adat kuno di Gereja Aleksandria pra-Konsili Nikea untuk mengangkat seorang presbiter menjadi batrik melalui penumpangan tangan dua belas orang rekan sejawatnya sesama presbiter.[41] Demikianlah Diakon Agung Parambil Tomas diangkat menjadi metropolit dengan penumpangan tangan dua belas orang katanar, dan kemudian menyandang gelar Mar Toma I.[42]
Salinan-salinan ketiga pucuk surat yang konon ditulis Ahatalla dan dialamatkan kepada umat Kristen Santo Tomas tersebut masih tersimpan di dalam arsip Propaganda Fide. Ketiga-tiganya diterbitkan dalam bentuk faksimili oleh pakar sejarah Gereja, Jacob Kollaparambil.[43] Di dalam surat yang pertama, Ahatalla mengabari umat Kristen Santo Tomas tentang kedatangannya ke India dan penahanan dirinya oleh padri-padri Yesuit. Di dalam surat yang kedua, ia memberi perintah agar Diakon Georgius (Georgius Parampil, salah satu dari orang-orang yang mengunjunginya di Mayilapur) ditahbiskan menjadi Diakon Agung, dan agar umat Kristen Santo Tomas membentuk dewan yang beranggotakan dua belas orang presbiter, salah seorang di antaranya harus dipilih menjadi uskup. Di dalam surat yang ketiga, ia menetapkan bahwa Metropolit Toma I harus dicalonkan menjadi Batrik Seluruh India.[44] István Perczel, mendapati bahwa bahasa Suryani di dalam surat-surat tersebut terkesan sangat ganjil. Dua surat pertama ditulis dengan gaya yang sama, sayangnya dalam bahasa Suryani yang tidak begitu bagus, tetapi surat yang ketiga ditulis dengan gaya yang berbeda. Beberapa sejarawan di Kerala beranggapan bahwa surat kedua dan ketiga adalah hasil rekayasa, sementara beberapa sejarawan lain menganggap ketiga-tiganya asli. István Perczel mengemukakan bahwa keaslian surat-surat tersebut sukar untuk dipastikan. Surat pertama dan surat kedua ditulis dalam bahasa Suryani yang tidak begitu bagus, mungkin sekali sudah dipengaruhi bahasa Malayalam. Selain itu, surat pertama mengandung banyak sekali kekeliruan yang tidak masuk akal. Kekurangan-kekurangan tersebut mungkin sekali muncul dalam proses penyalinan. Di lain pihak, rendahnya mutu bahasa Suryani di dalam surat-surat tersebut dan gaya penulisannya dapat saja merupakan indikasi rekayasa yang dilakukan dengan tujuan mempersiapkan dan/atau membenarkan pemberontakan Salib Kunan, oleh imam-imam Kristen Santo Tomas yang belajar bahasa Suryani pada Francisco Ros.[40] Ia menegaskan lebih lanjut bahwa surat kedua, yang dijadikan dasar bagi pengangkatan Diakon Agung Tomas, sama sekali tidak menyebut-nyebut namanya, malah berisi arahan kepada umat Kristen Santo Tomas untuk mengangkat Diakon Georgius Parambil menjadi diakon agung dan untuk membentuk dewan dua belas presbiter guna mengangkat metropolit sesudah Fransiskus Garcia mangkat.[40] István Perczel mengemukakan bahwa kenyataan tersebut berkontadiksi dengan hipotesis bahwa surat tersebut adalah hasil rekayasa para pencetus pemberontakan Salib Kunan. Pada kenyataannya, pihak-pihak yang mengobarkan pemberontakan itu dan menahbiskan Diakon Agung Tomas menjadi uskup harus memutarbalikkan isi surat tersebut untuk membenarkan tindakan mereka, antara lain dengan melimpahkan kepada Diakon Agung Tomas hak-hak yang menurut surat tersebut seharusnya dilimpahkan kepada Georgius Parambil.[40]
Sesudah Toma I ditahbiskan, warta tentang penahbisannya disiarkan ke semua jemaat. Kebanyakan jemaat menerima Toma I sebagai uskup mereka.[45] Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat Kristen Santo Tomas memiliki seorang uskup dari bangsa mereka sendiri, dan yang mereka pilih sendiri.[45] Pada waktu itu, para misionaris Portugis mengupayakan rekonsiliasi dengan umat Kristen Santo Tomas, tetapi tidak membuahkan hasil. Kemudian hari, Paus Aleksander VII mengutus Yosef Sebastiani, seorang imam Karmelit, selaku ketua delegasi Karmelit. Padri-padri Karmelit menegaskan bahwa penahbisan diakon agung oleh klerus tidak sesuai dengan hukum Gereja. Yosef Sebastini berhasil membujuk umat Kristen Santo Tomas, termasuk Paliwitil Candi Katanar dan Kadawil Candi Katanar, penasihat-penasihat Toma I. Karena keabsahan tahbisannya dipertanyakan, Toma I mulai kehilangan pengikut. Sementara itu, Yosef Sebastiani kembali ke Roma dan ditahbiskan menjadi uskup oleh Sri Paus pada tanggal 15 Desember 1659.[46] Yosef Sebastiani kembali ke Kerala pada tahun 1661, dan dalam waktu singkat membawa sebagian besar jemaat yang tadinya mendukung Toma I kembali ke pangkuan Roma. Oleh karena itu, pada tahun 1663, 84 dari keseluruhan 116 jemaat sudah memihak Yosef Sebastiani, tinggal 32 jemaat saja yang memihak Toma I.[47] Pada tahun 1663 Belanda merebut Koci, mengakhiri dominasi Portugis atas daerah Pesisir Malabar, dan mengusir semua misionaris Portugis dari Kerala. Sebelum meninggalkan Kerala, pada tanggal 1 Februari 1663, Yosef Sebastiani menahbiskan Paliwitil Candi menjadi metran bagi umat Kristen Santo Tomas yang bersatu dengan Gereja Roma.[48][49][50]
Sementara itu Toma I mengajukan permohonan kepada berbagai Gereja Ortodoks Oriental untuk mendapatkan pengesahan atas penahbisan dirinya menjadi uskup. Pada tahun 1665, Gregorios Abdul Jalil, uskup yang diutus Batrik Antiokhia Ortodoks Suryani, tiba di India. Kedatangannya disongsong golongan yang dipimpin Toma I. Gregorios Abdul Jalil diutus sebagai tanggapan terhadap surat yang dilayangkan Toma I kepada Kebatrikan Antiokhia Ortodoks Oriental. Gregorios Abdul Jalil mengesahkan tahbisan Toma I,[51][52] dan dengan demikian membuat perpecahan umat Kristen Santo Tomas menjadi resmi sifatnya. Golongan yang berafiliasi dengan Gereja Katolik di bawah pimpinan Uskup Paliwitil Candi menyebut diri mereka sebagai Pazayakutukar atau "Kawanan Lama", dan menyebut golongan yang berafiliasi dengan Toma I sebagai Putengkutukar atau "Kawanan Baru".[53][54][55][56] Sebutan-sebutan tersebut agak kontroversial karena kedua belah pihak sama-sama menganggap diri sendiri sebagai ahli waris sejati tradisi Santo Tomas, dan menganggap pihak lawan sebagai golongan sempalan.[53]
Golongan Pazayakur tetap melestarikan tradisi Suryani Timur di pangkuan Gereja Katolik dengan akidah Diofisitnya.[61] Meskipun demikian, sepeninggal Uskup Paliwitil Candi pada tahun 1687, golongan ini kembali dipimpin misionaris asing untuk waktu yang lama,[62] dan harus menghadapi berbagai rongrongan terhadap khazanah warisan sejarah maupun ritus peribadatan mereka yang asli, ketimuran, dan suryani.[63]
^ abCensus of India (1961: Kerala (dalam bahasa Inggris). Office of the Registrar General. 1965. hlm. 111. Ada berbagai versi dari isi prasetia tersebut, yang satu menyiratkan perlawanan terhadap bangsa Portugis, yang lain menyiratkan perlawanan terhadap padri-padri Yesuit, tapi ada pula yang menyiratkan perlawanan terhadap kewibawaan Gereja Roma
^I. Gillman and H.-J. Klimkeit, Christians in Asia Before 1500, (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1999), hlm. 177. [tanpa ISBN]
^"Thomas Christians". britannica.com. Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 26 Mei 2021. Umat Kristen purba India mengandalkan Gereja Asyur (kerap dinista dengan embel-embel “Nestorian” oleh umat Kristen Barat atau umat Kristen Katolik Roma, yang mengaitkannya dengan Nestorius, uskup yang dianatema itu) dan katolikos (atau batrik) Gereja itu sebagai sumber kewenangan gerejawi
^"Thomas Christians". e-GEDSH:Gorgias Encyclopedic Dictionary of the Syriac Heritage. Sekalipun India dipasoki uskup-uskup dari Timur Tengah, kendali efektif berada di tangan diakon agung yang asli bumiputra.
^ abJoseph, Clara A.B (2019). Christianity in India: The Anti-Colonial Turn (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN9781351123846. Di dalam dokumen-dokumen, ia digelari Jatiku Kartawyan [penghulu kaum], yakni pemimpin umat Kristen Santo Tomas.....bahkan bilamana ada lebih dari satu orang uskup asing, hanya ada satu orang diakon agung bagi segenap komunitas Santo Tomas..
^Thekkedath, Joseph (1982). History of Christianity in India. Theological Publications in India for the Church History Association of India. hlm. 213.
^István Perczel (2011), hlm. 196-footnote: "tetapi dicegat, diinterogasi, diserahkan ke pihak Inkuisisi di Goa, dan kemudian diberangkatkan ke Lisbo dan Roma. Pada akhirnya – mungkin sekali – ia wafat di Paris. Lih. Joseph Thekkedatthu, S.D.B., The Troubled Days of Francis Garcia S.J., Archbishop of Cranganore (1641-59)"
^Eastern Churches Journal : A Journal of Eastern Christendom-Volume 10 (dalam bahasa Inggris). Society of Saint John Chrysostom. 2003. hlm. 55. ISBN9780521548854. Khalayak ramai di luar gereja turut berprasetia dengan berpegangan pada seutas tambang yang disangkutkan ke sebuah tugu salib di halaman gereja. Kata orang sampai-sampai tugu itu doyong. Itulah sebabnya prasetia ini dikenal dengan sebutan Prasetia Salib (Doyong).
^Oommen, M. A. (1999). Rethinking Development - Kerala's Development Experience · Volume 1 (dalam bahasa Inggris). Institute of Social Sciences and Concept Publishing Company. hlm. 81. ISBN9788170227649. Prasetia ini dikenal di dalam sejarah dengan nama Kunan Kurisu Satyam, prasetia yang diikrarkan sembari berpegangan pada seutas tambang yang disangkutkan pada sebuah tugu salib yang mengakibatkan tugu itu menjadi sedikit miring.
^Winkler, Dietmar W. (2018). Daniel King, ed. The Syriac Church denominations. The Syriac World. Routledge. hlm. 130. ISBN9781317482116. Rapat dilangsungkan di sebuah gereja di Matanceri pada tahun 1653. Hadirin mengikrarkan prasetia – yang disebut Prasetia Salib Kunan – untuk tidak lagi taat kepada uskup agung ritus Latin maupun padri-padri Yesuit lainnya. Dua belas orang imam menumpangkan tangan ke atas diakon agung, dan dengan demikian termeteraikanlah perpecahan pertama umat Kristen Santo Tomas. Prasetia Salib Kunan bukanlah ikrar melawan takhta Roma, melainkan melawan uskup agung ritus Latin dan karya misi Yesuit
^Visscher, Jacobus Canter (1862). Heber Drury, ed. "Letter XVI". Letters from Malabar, Tr.: To Which is Added an Account of Travancore, and Fra Bartolomeo's Travels in That Country. Oleh H. Drury: 105–109.
^Neil, Stephen (2004). A History of Christianity in India: The Beginnings to AD 1707 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 320. ISBN9780521548854. Dasar dari pernyataan ini adalah keterangan Hieronimus tentang adat kuno Gereja Aleksandria. Di sana, bilamana batrik mangkat, dua belas imam dari gereja-gereja di kota itu akan memilih salah seorang dari antara mereka menjadi batrik. Kemudian sebelas imam akan menumpangkan tangan ke atas imam yang terpilih, dan dengan demikian menahbiskannya menjadi batrik mereka, dan juga langsung memilih satu orang lain menjadi imam, supaya jumlah keanggotaan dewan imam tersebut tetap dua belas orang.
^Fryckenberg, Robert (2008). Christianity in India From Beginnings to the Present (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 368. Diakon Agung Tomas, sesudah diangkat menjadi Metran Besar melalui penumpangan tangan dua belas orang katanar, menyandang gelar Mar Toma I.
^István Perczel (2011), hlm. 213: "Salinan ketiga surat dari Mor A'tallah terlestarikan di dalam arsip Congregatio De Propaganda Fide dan diterbitkan dalam bentuk faksimili oleh Jacob Kollaparambil, disertai terjemahannya ke dalam bahasa Inggris."
^Neil, Stephen (2004). A History of Christianity in India: The Beginnings to AD 1707 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 324. ISBN9780521548854. Untuk memberangkatkan salah seorang dari antara para katanar ke Roma untuk ditahbiskan tentunya akan berbuntut penangguhan yang berlarut-larut...Oleh karena itu, pada umur tiga puluh enam tahun, Yosef Sebastiani alias Rama Yosef Santa Maria OCD, namanya selaku anggota tarekat Karmelit, ditahbiskan secara diam-diam pada tanggal 15 Desember 1659, dan dianugerahi gelar "Uskup Hierapolis".....Ia diangkat menjadi komisaris apostolik atas seluruh Serra
^Frykenberg 2008, hlm. 360: "...dan kemudian, sesudah tahun 1653, teristimewa antara tahun 1663 sampai 1710, di bawah pemerintahan ganda Padroado dan Propaganda, yang tersurat adalah kisah penyelenggaraan pemerintahan yang buruk, kepahitan, tirani, dan celaka yang tidak berkesudahan."
^Frykenberg 2008, hlm. 369: "Akan tetapi golongan yang Katolik tidak kunjung bisa mengikhlaskan hilangnya warisan sejarah, keterkaitan, atau ritus mereka yang bersifat ‘Ketimuran’, ‘Malabar’, atau ‘Suryani’. Sebagian besar dari mereka menginginkan uskup dan rohaniwan sendiri yang sepenuhnya otonom dan khas secara etnis."