Kerajaan Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di pesisir utara pulau Ambon, Maluku. Kawasan ini dikenal sebagai Jazirah Leihitu, salah satu dari dua jazirah utama di Ambon. Kerajaan Tanah Hitu berkuasa antara tahun 1470–1682, dengan raja pertama yang bergelar Upu Hatta atau Upu Latu Sitania. Kerajaan Tanah Hitu menurut legenda masyarakat setempat didirikan oleh Empat Perdana. Kerajaan ini pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Kepulauan Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pejuang rakyat pada zamannya. Beberapa diantaranya, yaitu Imam Ridjali, Kapitan Telukabessy, Kapitan Kakiali, dan banyak tokoh intelektual lainnya. SejarahPendirian oleh Empat PerdanaKata "perdana" berasal dari bahasa Sanskerta artinya 'pertama'. Empat Perdana adalah empat kelompok yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari empat kelompok tersebut dalam bahasa Hitu disebut sebagai Hitu Upu Hata. Kedatangan Empat Perdana merupakan sejarah awal datangnya manusia di Tanah Hitu, sekaligus sebagai penduduk asli pesisir utara pulau Ambon yang secara kolektif dikenal sebagai orang Hitu. Empat Perdana juga merupakan bagian dari penyebaran Islam di Kepulauan Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang dicatat oleh sejarah sejarawan lokal maupun Belanda dalam berbagai versi, seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius, dan Valentijn. Kedatangan Empat Perdana ke Tanah Hitu dibagi menjadi empat periode.
Oleh karena banyaknya kafilah dagang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu, dan Tiongkok yang berdagang dan mencari rempah-rempah di Tanah Hitu, serta banyaknya pendatang dari Ternate, Jailolo, Obi, Makian, dan Seram yang berdomisili di Tanah Hitu, maka atas gagasan perdana Tanah Hitu, keempat perdana itu bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik yang kuat. Atas dasar itu, kemudian Empat Perdana mendirikan sebuah negeri yang letaknya kira-kira 1 km dari negeri Hitu (saat ini dikenal sebagai dusun Amanhitu). Di tempat itulah awal berdirinya negeri Hitu yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu. Berdirinya negeri tersebut ditandai dengan pembangunan sebuah masjid yang menjadi bangunan keagamaan pertama di Tanah Hitu. Masjid tersebut bernama Masjid Pangkat Tujuh. Dinamai 'pangkat tujuh' karena struktur pondasinya terdiri dari tujuh lapis. Setelah merealisasikan gagasan tersebut, keempat perdana tersebut mengadakan pertemuan yang disebut sebagai tatalo guru ('duduk guru'), yang juga diartikan sebagai 'kedudukan adat atas petunjuk Upuhatala'. Nama Upuhatala merujuk pada metafora dari salah satu dewa dalam Kakehang, salah satu kepercayaan asli Alifuru. Musyawarah ini dimaksudkan untuk mengangkat pemimpin mereka, maka kemudian dipilihlah salah seorang pemuda yang dikenal pandai dari keturunan Empat Perdana tersebut, yakni anak dari Pattituri, adik kandung Pattikawa yang bernama Zainal Abidin sebagai raja pertama dari Kerajaan Tanah Hitu yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainKerajaan Tanah Hitu memiliki hubungan erat dengan berbagai kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kadipaten Tuban, Kesultanan Banten, Giri Kedaton di pulau Jawa, dan Kesultanan Gowa di Sulawesi, seperti yang dikisahkan oleh Imam Ridjali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitupun dengan hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (al-Jazirah al-Muluk; 'daratan raja-raja') seperti Kerajaan Huamual di Seram Barat, Kerajaan Iha di Saparua, Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan di Maluku Utara. Masa kolonialisme EropaPada pemerintahan raja Mateuna, negeri Hitu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu dipindahkan ke wilayah pesisir pada awal abad ke-15, berada tepat di wilayah negeri Hitumessing saat ini. Raja Mateuna merupakan raja kelima dari Kerajaan Tanah Hitu dan merupakan raja terakhir yang berdaulat. Pada masa pemerintahannya, terjadi kontak pertama antara Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu. Ia meninggal dunia pada tanggal 29 Juni 1634. Sepeninggalnya, raja Mateuna tercatat memiliki dua orang anak laki-laki, yakni Silimual dan Hunilamu. Sedangkan istrinya berasal dari Halong dan ibunya berasal dari Soya di Jazirah Leitimur. Ia kemudian digantikan oleh anaknya yang kedua, yakni Hunilamu (Latu Sitania VI) yang memerintah pada tahun 1637–1682. Perang Hitu I yang terjadi pada tahun 1520–1605 dipimpin oleh Kapitan Sepamole (Tubanbessy I) menyebabkan Portugis harus keluar dari Tanah Hitu, hingga kemudian Portugis mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Semenanjung Leitimur) pada tahun 1575 dan mulai melakukan kristenisasi terhadap penduduk di Jazirah Leitimur. Menyusul keluarnya Portugis dari Tanah Hitu, kemudian datang Belanda ke Tanah Hitu pada tahun 1599, hingga kemudian mendirikan sebuah kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Belanda berusaha untuk mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan sebuah benteng pertahanan di bagian barat Tanah Hitu, tepatnya di pesisir pantai, di kaki Gunung Wawane. Akibat dari politik adu domba yang dilancarkan oleh Belanda, maka tiga perdana Tanah Hitu, yakni Totohatu, Jamilu, dan Pattituban, memutuskan untuk pergi meninggalkan Tanah Hitu dan mendirikan sebuah negeri (pemukiman) baru. Negeri tersebut kemudian dinamakan Hila, merupakan negeri yang sama dengan Hila saat ini. Sedangkan negeri asal mereka, yakni Hitu berganti nama menjadi Hitumessing. Sejak kedatangan Belanda ke Tanah Hitu, terjadi beberapa pertempuran antara Belanda dengan Kerajaan Tanah Hitu. Hal itu didasari oleh kesewenang-wenangan Belanda dan kebijakan monopoli mereka terhadap perdagangan rempah-rempah. Ketegangan tersebut memuncak, hingga kemudian terjadi peperangan pada tahun 1634–1643 yang dikenal sebagai Perang Hitu II (Perang Wawane). Dalam perang ini, pihak Kerajaan Tanah Hitu dipimpin oleh Kapitan Tahalielei (Pattiwane II), seorang keturunan dari perdana Patituban dan Tubanbessy II. Perlawanan lainnya yang juga menjadi perlawanan terakhir dari Kerajaan Tanah Hitu, yakni Perang Kapahaha yang terjadi pada tahun 1643–1646, sebagai upaya Belanda untuk merebut Benteng Kapahaha dari Kerajaan Tanah Hitu. Perang ini dipimpin oleh Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) dan Imam Ridjali setelah di perang sebelumnya Kapitan Tahalielei dinyatakan menghilang. Setelah berakhirnya perang ini, Belanda secara de facto telah menguasai seluruh wilayah kekuasaan Tanah Hitu dan mengakhiri kedaulatan Kerajaan Tanah Hitu. Setelah berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Tanah Hitu, Belanda kemudian melakukan perubahan besar-besaran terhadap struktur pemerintahan di bekas wilayah Kerajaan Tanah Hitu, yakni dengan mengangkat orang kaya menjadi raja dari setiap uli sebagai 'raja tandingan' dari Kerajaan Tanah Hitu. Hitu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu dibagi menjadi dua wilayah administrasi, yakni Hitumessing dan Hitulama dengan politik pecah belah (devide et impera). Setelah penaklukan atas Kerajaan Tanah Hitu, anak pertama dari raja Mateuna, Silimual hijrah ke Kerajaan Huamual dan memutuskan untuk bermukim di sana. Di Kerajaan Huamual, ia diangkat menjadi Kapitan Huamual. Ia memimpin perang melawan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada tahun 1625–1656 yang dikenal sebagai Perang Huamual. Sepeninggalnya, keturunan Silimual masih bermukim di negeri Luhu hingga saat ini, keturunannya memakai nama fam Silehu. Wilayah kekuasaanSetelah terbentuknya negeri Hitu sebagai pusat pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu, kemudian datang tiga klan Alifuru untuk bergabung, diantaranya yaitu Tomu, Hunuth, dan Masapal. Kerajaan Tanah Hitu yang mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri kemudian menjadi gabungan dari tujuh negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu uli (persekutuan) yang disebut Uli Halawan ('Persekutuan Emas'). Pemimpin dari Ketujuh negeri dalam Uli Halawan disebut sebagai Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. Tujuh negeri dalam Kerajaan Hitu tersebut, antara lain:
Kemudian diantara tujuh negeri tersebut juga terdapat negeri-negeri di Jazirah Leihitu yang tidak termasuk di dalam Uli Halawan. Negeri-negeri tersebut kemungkinan adalah negeri yang baru berdiri atau belum ada pada zaman kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu (1470–1682). Negeri-negeri (uli) baru tersebut, antara lain;
Daftar penguasaBerikut ini daftar penguasa Kerajaan Tanah Hitu yang bergelar raja (Upu Latu).
KebudayaanSastra lisanKapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu.
Lane atau Kapatah (sastra lisan) dari klan Hunuth dalam bahasa Hitu yang masih berdiri hingga saat ini menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu):
Lihat jugaPranala luar |