Kardinal kerabat (bahasa Latin: cardinalis nepos;[1]bahasa Italia: cardinale nipote;[2]bahasa Spanyol: valido de su tío; bahasa Portugis: cardeal-sobrinho; bahasa Prancis: prince de fortune)[3] adalah julukan bagi orang yang dilantik menjadi kardinal oleh paus yang masih terhitung kerabatnya. Praktik melantik kerabat menjadi kardinal pertama kali muncul pada Abad Pertengahan, menjadi-jadi pada abad ke-16 dan ke-17,[4] terakhir kali dilakukan pada tahun 1689, dan dihapuskan pada tahun 1692.[4] Istilah nepotisme pertama kali muncul sebagai sebutan bagi praktik ini.[5] Mulai dari pertengahan zaman Kepausan Avignon (1309–1377) sampai Paus Inosensius XII mengeluarkan bula antinepotisme pada tahun 1692, Romanum Decet Pontificem, jarang sekali ada paus yang tidak melantik sanak-saudaranya menjadi kardinal.[a] Pada era Renaisans, setiap paus yang pernah melantik kardinal dapat dipastikan pernah melantik salah seorang kerabatnya menjadi anggota Dewan Kardinal, dan pada umumnya kerabat tersebut adalah kemenakannya.[6]Paus Aleksander VI bahkan melantik salah seorang putranya menjadi kardinal.
Praktik melantik kerabat menjadi kardinal berangsur-angsur melembaga dalam rentang waktu tujuh abad lebih, seiring perkembangan lembaga kepausan dan sejalan dengan kebijakan masing-masing paus. Dari tahun 1566 sampai tahun 1692, jabatan Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja di dalam Kuria Romawi dipegang seorang kardinal kerabat, sampai-sampai jabatan ini juga disebut "Kardinal Kerabat". Pamor kardinal kerabat di Kuria Romawi maupun kebiasaan melantik kerabat menjadi kardinal akhirnya meredup seiring meningkatnya kewenangan Kardinal Sekretaris Negara dan surutnya kewenangan sekuler Sri Paus pada abad ke-17 dan ke-18.
Pelantikan kerabat menjadi kardinal sudah terjadi sebelum jabatan kardinal dijadikan pangkat terpandang di dalam hierarki Gereja Katolik Roma oleh Paus Nikolaus II lewat bula In Nomine Domini tahun 1059. Bula ini menetapkan para kardinal uskup sebagai satu-satunya pihak yang berwenang memilih paus baru, dengan persetujuan para kardinal diakon dan para kardinal imam.[8] Kardinal pertama yang diketahui masih berkerabat dengan paus yang melantiknya adalah Lottario (bahasa Latin: Loctarius). Ia dilantik sekitar tahun 1015 oleh saudara sepupunya, Paus Benediktus VIII (1012–1024).[9] Paus Benediktus VIII juga melantik saudara kandungnya, Giovanni (kemudian hari menjadi Paus Yohanes XIX), dan seorang lagi saudara sepupunya, Teofilatto (kemudian hari menjadi Paus Benediktus IX), menjadi kardinal diakon.[9] Kardinal kerabat pertama yang diketahui dilantik sesudah tahun 1059 adalah Anselmus, Uskup Lucca, saudara sepupu atau mungkin juga saudara kandung Paus Aleksander II (1061–1073),[9] kendati sebagian besar dugaan pelantikan kerabat menjadi kardinal sampai dengan akhir abad ke-12 masih diragukan kebenarannya, baik karena tidak dapat dibuktikannya hubungan kekerabatan antara terlantik dan pelantik, maupun karena tidak dapat dipastikannya status kardinal dari kerabat yang bersangkutan,[b] tetapi tidak diragukan lagi bahwa pengangkatan sanak-saudara paus menjadi anggota Dewan Kardinal memang marak terjadi pada abad ke-13 .
Menurut sejarawan John Bargrave, "persidangan ke-21 Konsili Basel menetapkan bahwa jumlah kardinal tidak boleh melebihi 24 orang, dan tak seorang pun kerabat Sri Paus maupun kerabat kardinal yang dibenarkan termasuk di dalamnya (Berita Acara Persidangan ke-23 Konsili Basel)."[10]
Paus Klemens VI (1342–1352) adalah paus yang paling banyak melantik sanak-saudaranya menjadi kardinal, termasuk enam orang kerabat yang ia lantik pada tanggal 20 September 1342. Inilah pelantikan kardinal kerabat terbanyak dalam satu kali upacara. Kapitulasikonklaf tahun 1464 mewajibkan paus yang terpilih lewat konklaf tersebut (Paus Paulus II) untuk tidak melantik lebih dari satu orang kerabat menjadi kardinal. Kapitulasi konklaf tahun 1464 juga memuat ketentuan-ketentuan lain yang sengaja dirancang untuk mendongkrak kewenangan Dewan Kardinal sekaligus mempersempit peluang Sri Paus untuk membatasi kewenangan tersebut.[11]
Lantaran Konsili Lateran V tahun 1514 menetapkan bahwa menafkahi sanak-saudara adalah amalan terpuji, pelantikan kerabat menjadi kardinal sering kali dianjurkan atau dibenarkan atas dasar niat luhur untuk mengentaskan sanak-saudara yang kurang mampu.[12] Kardinal kerabat biasanya diberi jabatan basah, seperti yang terjadi pada Alessandro Farnese, kardinal kerabat Paus Paulus III (1534–1549) yang diserahi 64 beneficium sekaligus, selain diberi jabatan Wakil Panitera di Kuria Romawi.[13]
Konon kabarnya sesudah uzur, Paus Paulus IV (1555–1559) "nyaris sepenuhnya dikendalikan kardinal kerabatnya".[14] Pada bulan Agustus 1558, seorang padri tarekat Teatin mendakwa Carlo Carafa, kardinal kerabat Paus Paulus IV, telah menggoda Plautila de' Massimi, bangsawati Romawi yang mewarisi harta berlimpah dalam bentuk uang maupun perhiasan, tetapi dakwaan ini dimentahkan Sri Paus.[15]Santo Karolus Boromeus, kardinal kerabat Paus Pius IV (1559–1565), memastikan agar jabatan Secretarius Intimus (Sekretaris Pribadi) berada di bawah naungan jabatan Kardinal Kerabat, yang kala itu kadang-kadang disebut Secretarius Maior (Sekretaris Utama).[16] Paus Pius IV terkenal gemar melakukan nepotisme. Antara tahun 1561 sampai tahun 1565, sudah lebih dari 350.000 scudo ia kucurkan kepada sanak-saudaranya.[17]
1566–1692
Sesudah Konsili Trento berakhir pada tahun 1563, Paus Pius V (1566–1572) mulai berikhtiar membentuk jabatan Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja. Menurut rencana Sri Paus, Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja akan ditugasi menangani urusan-urusan sekuler Negara Gereja dan hubungan luar negeri Takhta Suci. Karena gagal membagi tugas-tugas jabatan Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja kepada empat orang kardinal yang bukan kerabatnya, Paus Pius V akhirnya menuruti desakan Dewan Kardinal dan Duta Besar Takhta Suci untuk Kerajaan Spanyol agar mengangkat Michele Bonelli, anak dari kemenakannya, menjadi Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja. Tugas-tugas jabatan Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja ia jabarkan di dalam bula tertanggal 14 Maret 1566.[18] Kendati demikian, Paus Pius V sedapat mungkin berusaha tidak melimpahkan kewenangan bertindak sendiri kepada Michele Bonelli.[19]
Jabatan Kardinal Kerabat (disebut pula Cardinale Padrone,[18] "Kardinal Induk Semang", atau Secretarius Papae et Superintendens Status Ecclesiasticæ,[20] "Sekretaris Paus dan Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja",[18] atau Sopraintendente dello Stato Ecclesiastico,[12] "Pelaksana Penyelenggaraan Negara Gereja") adalah jabatan resmi legatusKuria Romawi, kurang lebih setara dengan jabatan Kardinal Sekretaris Negara. Sesudah jabatan Kardinal Kerabat dihapuskan pada tahun 1692, tugas dan fungsinya memang dialihkan ke jabatan Kardinal Sekretaris Negara.[20][21] Para sejarawan pernah menyamakan jabatan Kardinal Kerabat dengan kedudukan "perdana menteri", "alter ego",[18] maupun "wakil paus".[22] Pengemban jabatan Kardinal Kerabat pada umumnya adalah salah seorang di antara kardinal-kardinal yang dilantik seorang paus untuk pertama kalinya sesudah terpilih, dan sudah menjadi adat bahwa pelantikan pengemban jabatan Kardinal Kerabat diramaikan dengan tembakan penghormatan dari moncong meriam-meriam Puri Sant'Angelo.[23]
Kewenangan dan tanggung jawab Kardinal Kerabat ditetapkan dalam breve Paus Pius V, yang dikembangkan dan disempurnakan paus-paus penggantinya sampai dengan Paus Paulus V (1605–1621).[18] Kardinal Kerabat adalah perantara korespondensi untuk semua nunsius maupun legatus kepala daerah, dan memangku jabatan prefek dua kongregasi, yakni Sacra Consulta dan Congregazione del Buon Governo.[12] Selain itu, Kardinal Kerabat adalah Kapten Jenderal (Panglima Perang) angkatan bersenjata Sri Paus, serta "saluran tempat beneficium menghilir dan emas memudik".[23]
Meskipun demikian, fungsi-fungsi resmi tersebut hanya berjalan pada masa jabatan paus-paus yang lemah, dan rata-rata Kardinal Kerabat adalah pejabat yang cuma menggugu apa saja kata Sri Paus.[12]
Kendali Paus Leo XI wafat pada tahun 1605 sebelum sempat melantik kemenakannya, Roberto Ubaldini, menjadi kardinal, si kemenakan pada akhirnya dilantik juga menjadi kardinal pada tahun 1615 oleh Paus Paulus V, pengganti Paus Leo XI.[24]
Ada sejarawan yang beranggapan bahwa Scipione Borghese, kardinal kerabat Paus Paulus V, adalah semacam "purwarupa" kardinal kerabat. Scipione berbeda dari kardinal-kardinal kerabat sebelumnya dirinya, karena dilantik menjadi kardinal dengan maksud untuk "mendanai dan mengupayakan pengentasan status sosial maupun ekonomi sanak-saudara paus yang sedang menjabat ke taraf menak Romawi".[25] Sebagai contoh, pada tahun 1616, Scipione Borghese menyewakan 24 dari 30 bangunan biara yang berada di bawah kewenangannya, padahal Konsili Trento sudah berusaha meniadakan praktik semacam itu.[17] Analisis menyeluruh Reinhard Volcker terhadap tata kelola keuangan Takhta Suci semasa Scipione Borghese menjadi kardinal (berdasarkan serangkaian buku catatan keuangan yang masih terlestarikan) menyingkap berbagai macam strategi Scipione Borghese untuk menimbun kekayaan selama masa jabatan pamannya, dan menambah jumlah aset di luar milik Gereja sebelum pamannya wafat. Bagi Reinhard Volcker, sepak terjang Scipione Borghese adalah contoh sempurna dari perilaku sanak-saudara para paus era Barok.[26] Dana dari perbendaharaan Takhta Suci yang sudah dikucurkan Paus Paulus V kepada sanak-saudaranya diperkirakan mencapai 4% dari total penerimaan Takhta Suci sepanjang masa jabatannya.[27] Pendapatan pribadi Paus Paulus V pada tahun 1610 berjumlah 153.000 scudo, berbanding jauh dari jumlah pendapatan seluruh anggota keluarganya pada tahun 1592 yang hanya sebesar 4.900 scudo.[28]
Paus Gregorius XIV (1590–1591) adalah paus pertama yang melantik kardinal-kardinal kerabat dengan melangkahi prosedur yang ada, karena pencalonan maupun penetapan resmi kerabat-kerabat tersebut secara de facto dilakukan secara bersamaan, sehingga prosedur pengangkatan kardinal kerabat menjadi suatu prosedur khusus yang berbeda dari prosedur pengangkatan kardinal pada umumnya.[24] Ketika jatuh sakit, kewenangan menjalankan Fiat ut petitur (hak mengabulkan permohonan) ia limpahkan kepada kardinal kerabatnya, Paolo Emilio Sfondrato, meskipun akhirnya ia urungkan atas desakan Dewan Kardinal.[29] Dengan motu proprio tertanggal 30 April 1618, Paus Paulus V secara resmi melimpahkan kepada kardinal kerabatnya kewenangan pernah diberikan Paus Klemens VIII kepada Pietro Aldobrandini. Kebijakan Paus Paulus V ini mengawali kurun waktu yang disebut l'age classiquenepotisme (abad klasik nepotisme) oleh sejarawan Madeleine Laurain-Portemer.[30]
Ludovico Ludovisi, kardinal kerabat Paus Gregorius XV (1621–1623), adalah kardinal kerabat pertama yang dijuluki il cardinale padrone (si kardinal induk semang).[31] Banyak lahan basah yang ia kuasai sendiri. Selain membawahi 23 biara keabasan, ia juga memegang jabatan Uskup Agung Bologna, jabatan Direktur Signatura Apostolik, jabatan Wakil Panitera, dan jabatan Kepala Rumah Tangga Kepausan. Menjelang akhir hayatnya, hampir semua sumber penghasilan tersebut dapat ia bagi-bagi kepada kepada 17 orang kerabatnya.[22] Segala beneficium dan jabatan tersebut mengalirkan pendapatan bersih senilai lebih dari 200.000 scudo per tahun ke dalam pundi-pundi Ludovico. Ia juga dianggap menyandang "lebih banyak kewenangan tanpa batas" dibanding kardinal-kardinal kerabat sebelum dirinya.[32] Bahkan yang lebih menarik lagi, kardinal-kardinal kerabat diizinkan membuat facultas testandi (surat wasiat) untuk mewariskan penghasilan dari beneficium yang mereka kuasai kepada sanak-saudara mereka yang bukan rohaniwan.[22] Praktik semacam ini dibenarkan dua panitia khusus ahli teologi yang dibentuk Urbanus VIII (1623–1644), pengganti Paus Gregorius XV.[33]
Selaku Fabio Chigi, saya hidup bersanak saudara. Selaku Aleksander VII, saya tidak bersanak saudara. Mustahil anda dapati nama saya di dalam buku-buku catatan permandian di Siena.
Tidak semua pemegang jabatan Kardinal Kerabat adalah kardinal kerabat Sri Paus. Ahli sejarah lembaga kepausan, Valérie Pirie, berpendapat bahwa ketiadaan kerabat justru merupakan "aset besar bagi seorang calon paus" karena memungkinkan Sri Paus untuk menyerahkan kedudukan istimewa tersebut kepada seorang kardinal sekutu.[23] Sebagai contoh, Paus Klemens X mempercayakan jabatan Kardinal Kerabat kepada Kardinal Paoluzzi-Altieri, yang kemenakannya baru saja memperistri Laura Caterina Altieri, ahli waris tunggal keluarga Paus Klemens X.[35] Banyak sejarawan menganggap Olimpia Maidalchini, kakak ipar Paus Inosensius X (1644–1655), sebagai pengemban de facto jabatan Kardinal Kerabat, yang secara de iure dipegang putranya, Camillo Pamphili, dan selanjutnya oleh kemenakannya, Francesco Maidalchini (sesudah Camillo Pamphili melepaskan status kardinalnya agar boleh beristri), dan saudara saudara sepupunya, Camillo Astalli (sesudah Francesco Maidalchini terbukti tidak cakap).[36][37]
Para paus sering kali tidak punya banyak pilihan untuk dijadikan pengemban jabatan Kardinal Kerabat. Menurut ahli sejarah lembaga kepausan, Frederic Baumgartner, masa jabatan Paus Siktus V (1585–1590) "berawal buruk" karena Alessandro Peretti di Montalto adalah "satu-satunya kemenakan yang layak memangku jabatan Kardinal Kerabat, tetapi tidak mampu menjadi orang kepercayaan Sri Paus", sampai-sampai sejumlah kardinal menolak menghadiri upacara pelantikannya.[38] Menurut ahli sejarah lembaga kepausan lainnya, Ludwig von Pastor, "Paus Pamphili bernasib sial karena kerabat satu-satunya yang memenuhi syarat untuk memegang jabatan tersebut adalah seorang perempuan".[37]
Paus Inosensius XI (1676–1689) memandang keji praktik ini. Ia baru bersedia menerima keterpilihan dirinya menjadi paus sesudah Dewan Kardinal menyetujui rencana-rencana pembaharuan yang ia gagas, antara lain rencana untuk mengharamkan nepotisme.[4] Sayangnya, Paus Innosensius XI terpaksa mengurungkan rencana itu setelah tiga kali gagal menggalang dukungan mayoritas kardinal dalam rangka menerbitkan bula pengharaman nepotisme[39] yang sudah susah payah disusun dari tahun 1677 sampai tahun 1686.[40] Paus Inosensius XI menolak permohonan Rumah Tangga Kepausan untuk mendatangkan kemenakan satu-satunya, Livio Odescalchi, Pangeran Sirmio, ke Roma,[41] kendati ia memang melantik Carlo Stefano Anastasio Ciceri, salah seorang kerabat jauhnya, menjadi kardinal pada tanggal 2 September 1686.[42]Paus Aleksander VIII (1689–1691), pengganti Paus Inosensius XI, adalah paus terakhir yang melantik Kardinal Kerabat.[4] Paus Aleksander VIII juga mementahkan kembali usaha pembaharuan lain yang digagas Paus Innosensius XI dengan mengalihkan pendapatan dari bekas Jawatan Kepaniteraan Takhta Suci ke jabatan Wakil Panitera, yang kala itu dipegang kardinal kerabatnya, Pietro Ottoboni.[20] Edith Standen, konsultan Museum Seni Rupa Metropolitan, menyebut Pietro Ottoboni sebagai "contoh terakhir yang tidak kalah hebatnya" dari "sejenis makhluk hidup yang dulu begitu gilang-gemilang tetapi kini sudah punah, yakni kardinal kerabat".[43]
Sampai dengan tahun 1692 (dan sesekali sesudahnya), jabatan Kepala Arsiparis Kepausan dipegang kardinal kerabat Sri Paus (atau salah seorang kerabatnya yang bukan rohaniwan), yang biasanya memindahkan arsip-arsip paus ke kumpulan arsip keluarga sepeninggal paus yang bersangkutan.[44] Kumpulan-kumpulan arsip keluarga, teristimewa kumpulan arsip keluarga Barberini, kumpulan arsip keluarga Farnese, kumpulan arsip keluarga Chigi, dan kumpulan arsip keluarga Borghese, berisi dokumen-dokumen penting lembaga kepausan.[45]
Sejak 1692
Paus Inosensius XII (1691–1700) menerbitkan bulaRomanum decet pontificem tertanggal 22 Juni 1692 yang meniadakan jabatan Kardinal Kerabat, membatasi kewenangan paus-paus selanjutnya sehingga hanya dapat mengangkat satu orang kerabat saja menjadi kardinal, meniadakan berbagai sinecura yang sudah teradat menjadi jatah para kardinal kerabat, dan memangkas stipendium atau dana abadi yang boleh diterima seorang kerabat Sri Paus menjadi 12.000 scudo saja.[46][47][48]Romanum decet pontificem kemudian hari dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanonik Tahun 1917 pada kanon 240 ayat 2, kanon 1414 ayat 4, dan kanon 1432 ayat 1.[49] Pada tahun 1694, upaya-upaya perbaikan yang digagas Paus Inosensius XII dituntaskan dengan suatu kampanye berbiaya tinggi yang bertujuan meniadakan praktik penyalahgunaan jabatan-jabatan kuria sembari mengganti pengeluaran-pengeluaran dinas para pejabat.[50] Sebagian sarjana menganggap upaya-upaya perbaikan ini sebagai reaksi tertunda terhadap krisis keuangan yang timbul akibat praktik nepotisme Paus Urbanus VIII (1623–1644).[46]
Meskipun demikian, sesudah terbitnya bula Romanum decet pontificem, hanya tiga dari delapan paus pada abad ke-18 yang tidak melantik salah seorang kemenakan atau saudaranya menjadi kardinal.[51] Agaknya Dewan Kardinal lebih suka diatur-atur seorang kerabat paus daripada diperintah seorang anak emas Sri Paus, yang mereka anggap sebagai alternatif dari kardinal kerabat. Sebagai contoh, Dewan Kardinal mendesak Paus Benediktus XIII (1724–1730) untuk melantik seorang kardinal kerabat yang mereka harapkan dapat menggeser Niccolò Coscia, wakil Paus Benediktus XIII yang sangat mereka benci.[47]Paus Gregorius XIII (1572–1585) juga didesak salah seorang tokoh penting di dalam Dewan Kardinal untuk melantik kemenakannya, Filippo Boncompagni, menjadi kardinal.[52]
Kewenangan para kardinal kerabat pada abad ke-18 kian merosot seiring meningkatnya kewenangan Kardinal Sekretaris Negara.[47] Tata laksana Gereja pada masa jabatan Paus Benediktus XIII (1724–1730) disifatkan sejarawan Eamon Duffy dengan kalimat "segala kebobrokan nepotisme tanpa kerabat Sri Paus".[53][54]Neri Maria Corsini, kardinal kerabat Paus Klemens XII (1730–1740), semasa hidupnya adalah kardinal kerabat yang paling berkuasa pada abad ke-18, lantaran pamannya sudah uzur dan mengalami kebutaan.[47] Meskipun demikian, Paus Benediktus XIV (1740–1758), pengganti Paus Klemens XII, disifatkan Hugh Walpole sebagai "seorang imam tanpa kelalaian maupun kepentingan, seorang raja tanpa anak emas, dan seorang paus tanpa kaum kerabat".[53]
Romualdo Braschi-Onesti, kardinal kerabat Paus Pius VI (1775–1799), adalah kardinal kerabat terakhir urutan kedua. Meskipun Paus Pius VI adalah putra keluarga ningrat Cesena, saudara perempuan satu-satunya menikah dengan seorang pria dari keluarga Onesti yang miskin. Oleh karena itu ia menyuruh seorang pakar silsilah untuk mencari (dan menambah-nambahkan) jejak-jejak nasab ningrat di dalam silsilah keluarga Onesti. Si pakar silsilah hanya mampu menemukan keterkaitan yang simpang siur antara keluarga Onesti dengan Santo Romualdus.[55]
Seusai konklaf tahun 1800 yang penuh huru-hara, Paus Pius VII (1800–1823) mengesampingkan peran kardinal kerabat dan mengandalkan kemampuan Ercole Consalvi, orang yang ia lantik menjadi Kardinal Sekretaris Negara.[56] Sepanjang abad ke-19, satu-satunya kardinal yang masih berkerabat dengan Sri Paus adalah Gabriele della Genga Sermattei, kemenakan Paus Leo XII yang dilantik menjadi kardinal oleh Paus Gregorius XVI pada tanggal 1 Februari 1836.[57] Meskipun nepotisme yang terlembagakan menghilang pada abad ke-18, "pietas" (kewajiban menafkahi sanak saudara) masih menjadi salah satu tema ketatalaksanaan lembaga kepausan sampai memasuki abad ke-20, kendati jarang sekali dilakukan tanpa campur tangan terang-terangan sang mamanda yang menjabat sebagai paus.[46] Mengikuti jejak Paus Pius VI, Paus Leo XIII (yang melantik adiknya, Giuseppe Pecci, menjadi kardinal pada tanggal 12 Mei 1879) dan Paus Pius XII (1939–1958) melemahkan birokrasi resmi Kuria Romawi dengan membentuk semacam lembaga pemerintahan paralel yang dikuasai sanak saudara mereka.[46] Hilangnya kekuasaan temporal Sri Paus atas Negara Gereja (secara de facto pada tahun 1870 dengan mencuatnya "Permasalahan Roma" dan secara de jure pada tahun 1929 dengan ditandatanganinya Perjanjian Lateran) juga melenyapkan syarat-syarat struktural yang sebelumnya sangat menonjol di dalam politik keluarga para paus terdahulu.[46]
Peran dalam konklaf
Seorang kemenakan paus mati dua kali; kali kedua sama saja seperti semua orang, sedangkan kali pertama saat pamannya mangkat.
Bahkan sampai pada abad ke-18, kardinal kerabat adalah pialang kekuasaan alamiah di dalam konklaf yang diselenggarakan sepeninggal pamannya, karena dipandang sebagai tokoh pemersatu kardinal-kardinal yang menghendaki langgengnya status quo.[47] Apalagi kardinal kerabat sering kali sangat disegani kardinal-kardinal yang dilantik pamannya, karena biasanya mereka diangkat berkat campur tangannya.[58] Sebagai contoh, Alessandro Peretti di Montalto memimpin kardinal-kardinal yang dilantik pamannya dalam konklaf tahun 1590 kendati baru berumur 21 tahun.[59] Menurut sejarawan konklaf Frederic Baumgartner, "pengangkatan kardinal semacam itu memang bertujuan untuk memastikan agar kaum kerabat Sri Paus dapat memiliki kuasa dan pengaruh yang bertahan melampaui masa jabatan Sri Paus yang bersangkutan".[60] Kekecualian yang menonjol adalah Paus Gregorius XV (1621–1623) yang menjelang ajalnya menampik permohonan Ludovico Ludovisi untuk melantik beberapa kerabat lagi menjadi kardinal. Ia merasa "sudah cukup bingung bagaimana mempertanggungjawabkan keputusannya melantik orang-orang tidak becus saat kelak menghadap Allah".[61]
Meskipun demikian, bukan berarti para kardinal kerabat dijamin bakal dijadikan pemimpin oleh kardinal-kardinal yang dilantik paman mereka. Sebagai contoh, dalam konklaf tahun 1621, Scipione Borghese hanya mampu mengumpulkan dua puluh sembilan suara (kurang dari jumlah suara lima puluh enam kardinal yang dilantik pamannya), Pietro Aldobrandini hanya mampu mengendalikan sembilan orang (dari tiga belas orang kardinal tersisa yang dilantik pamannya), dan Montalto hanya menguasai lima orang dari keseluruhan kardinal yang dilantik pamannya.[62] Pada kenyataannya persaingan internasional kadang-kadang mengalahkan loyalitas keluarga bilamana para kardinal kerabat relatif "tidak terorganisasikan dengan baik".[62] Ketika Paus Inosensius X (1644–1655) mangkat meninggalkan jabatan Kardinal Kerabat dalam keadaan lowong, para pendukungnya ternyata terpecah-belah dan tidak berpemimpin di dalam konklaf, sekalipun kakak iparnya, Olimpia Maidalchini, diundang ke ruang konklaf untuk menyuarakan pendapatnya di hadapan para kardinal. Olimpia Maidalchini adalah satu-satunya perempuan yang pernah mendapatkan kesempatan istimewa semacam ini.[63]
Dokumen berjudul Instruzione al cardinal Padrone circa il modo come si deve procurare una fazione di cardinali con tutti i requisiti che deve avere per lo stabilimento della sua grandezza (Petunjuk bagi kardinal induk semang tentang cara membentuk kubu kardinal berikut semua prasyarat yang wajib dipenuhi untuk mengukuhkan marwahnya) yang ditemukan di dalam kumpulan arsip Gereja Santa Maria de Monserrato memuat saran-saran bagi para kardinal kerabat untuk memantapkan kekuasaan mereka di dalam Dewan Kardinal.[3] Dokumen lain berjudul Ricordi dati da Gregorio XV al cardinale Lodovisio suo nipote (Wasiat Gregorius XV untuk kemenakannya Kardinal Lodovisio) berisi saran seputar cara menjadi pribadi yang terkemuka di dalam Kuria Romawi.[64]
Suatu analisis atas lima konklaf yang digelar dalam rentang waktu 1605 sampai 1644 menunjukkan bahwa kardinal-kardinal kerabat pada umumnya tidak berhasil memenangkan calon yang mereka usung, kendati sang pemenang biasanya adalah seorang kardinal orbitan Sri Paus yang baru saja mangkat.[65] Apalagi kardinal-kardinal mahkota pada khususnya, bila kebetulan sudi berangkat ke Roma untuk menghadiri konklaf, cenderung menentang pencalonan kardinal-kardinal kerabat, kendati mereka juga menentang pencalonan kardinal-kardinal mahkota dari kerajaan lain.[66] Pada umumnya, seorang kardinal kerabat harus mampu bertahan hidup lebih lama daripada seorang atau lebih dari seorang pengganti pamannya demi dianggap papabile, baik karena usia mereka yang masih muda maupun karena mereka cenderung dipersalahkan andaikata sang paman semasa hidupnya pernah menetapkan kebijakan-kebijakan yang menggusarkan orang banyak.[58]
Pemilihan paus dapat saja mengubah nasib seorang kardinal kerabat secara dramatis, karena kerap memperseterukan para mantan anak emas dengan paus yang baru terpilih. Sebagai contoh, Prospero Colonna dan Francisco de Borja dijatuhi hukuman ekskomunikasi,[67][68] sementara Carlo Carafa dijatuhi hukuman mati.[69]Konklaf bulan Mei 1605 adalah salah satu contoh konklaf yang menjadi ajang kekalahan seorang calon paus (Antonmaria Sauli) lantaran cukup banyak kardinal yang yakin bahwa mereka membutuhkan "seorang paus yang bersedia menghukum para kardinal kerabat sebagai ganjaran atas kejahatan merampok lembaga kepausan".[70] Seorang kardinal kerabat juga dipandang sebagai ancaman potensial terhadap siapa pun yang kelak terpilih menjadi paus baru. Sebagai contoh, Ludovisi memimpin kubu yang menentang Paus Urbanus VIII (1623–1644), bahkan mencuatkan wacana penyelenggaraan konsili demi menjatuhkan paus (kendati tidak kunjung terlaksana karena Ludovisi wafat pada tahun 1632) dengan alasan "tidak ada lagi orang yang tahan menghadapi tabiat pemarah Urbanus yang kelewatan".[71]
Warisan sejarah
Nepotisme merupakan hal yang lazim dijumpai di dalam sejarah pemerintahan, khususnya di dalam kebudayaan-kebudayaan tempat identitas dan loyalitas lebih ditentukan pada tingkatan keluarga ketimbang pada tingkatan negara bangsa.[72] Pengaryaan kemenakan, alih-alih keturunan langsung, adalah produk dari tradisi selibat kaum rohaniwan di Gereja Katolik, kendati pewarisan jabatan dari paman kepada kemenakan juga dijumpai di kebatrikanGereja Asyur.[73]
Pengangkatan kerabat dan kenalan dekat menjadi kardinal hanyalah salah satu cara yang dipakai para paus Abad Pertengahan dan Renaisans dalam usaha mereka untuk menggerus kewenangan Dewan Kardinal selaku "saingan gerejawi" dan melanggengkan pengaruh di dalam Gereja sesudah mereka wafat.[74] Dampak dari penciptaan kedudukan kardinal kerabat adalah memperkaya keluarga Sri Paus dengan berbagai beneficium yang menguntungkan, dan memodernisasi tata laksana lembaga kepausan dengan melapangkan jalan bagi Sri Paus untuk menjalankan pemerintahan lewat kaki tangannya yang lebih gampang dituding tidak lepas dari kehilafan bilamana perlu serta menciptakan suatu jarak resmi di antara pribadi Sri Paus dan urusan sehari-hari lembaga kepausan.[46]
Papal Nepotism, or the True Relation of the Reasons Which Impel the Popes to make their Nephews Powerful (terbit tahun 1667) yang ditulis Gregorio Leti adalah salah satu contoh kritik sezaman terhadap penciptaan kedudukan kardinal kerabat. Gregorio Leti mencapai prestasi langka sebagai penulis yang semua judul bukunya tercantum di dalam Index Librorum Prohibitorum (Daftar Buku Terlarang).[75]Catholic Encyclopedia tahun 1913 membela penciptaan kedudukan kardinal kerabat sebagai suatu langkah penanggulangan yang perlu dilakukan terhadap intrik Gereja yang sudah lama berdiri itu.[76] Menurut Francis A. Burkle-Young, para paus abad ke-15 pada khususnya merasa perlu menempatkan kerabat mereka ke dalam Dewan Kardinal lantaran syak wasangka mereka terhadap para kardinal mahkota, keluarga-keluarga ningrat Roma, dan keluarga-keluarga para penguasa di Italia yang juga duduk di dalam Dewan college.[77]
Menurut Thomas Adolphus Trollope, pakar sejarah lembaga kepausan yang terkenal, "mudaratnya di dalam dan terhadap Gereja nyaris sekali berakibat fatal kepada Gereja; dan mudarat ini kian menjadi-jadi sampai bahaya yang kian membesar menyadarkan para paus untuk mengekang diri. Kardinal-kardinal terburuk, yang tentu saja merupakan cikal bakal paus-paus terburuk, sebagian besar adalah kardinal-kardinal kerabat. Godaan untuk melantik kardinal-kardinal semacam ini sudah dibuat sulit dilawan oleh kewenangan, marwah, dan kekayaan kelewat besar yang dihubung-hubungkan dengan para anggota Dewan Suci. Nilai dari "hadiah-hadiah" besar tersebut sangat menggiurkan, sehingga "kopiah" itu menjadi objek ambisi para penguasa, dan sudah menjadi tujuan utama bagi sederetan panjang paus-paus untuk menganugerahkannya kepada kerabat mereka."[67]
Dalam banyak hal, jabatan kuria Kardinal Sekretaris Negara merupakan perkembangan dari peranan-peranan yang sebelumnya dijalankan kardinal-kardinal kerabat. Dari tahun 1644 sampai 1692, kewenangan Kardinal Sekretaris Negara pada hakikatnya berbanding terbalik secara proporsional dengan kewenangan Kardinal Kerabat, yang merupakan atasan Sekretariat Negara.[78] Pada masa jabatan beberapa paus, misalnya masa jabatan Paus Pius V (1566–1572) dan kemenakannya, Michele Bonelli, kardinal kerabat dan sekretaris negara merupakan satu jabatan yang sama.[79]
Menurut Baumgartner, "tumbuhnya administrasi terpusat berikut birokrat-birokrat profesional dengan karier di dalam dinas lembaga kepausan" terbukti lebih efektif daripada nepotisme di mata orang-orang yang kemudian hari menjadi paus, dan oleh karena itu "sangat memperkecil kebutuhan akan para kerabat paus".[80] Terangkatnya jabatan Kardinal Sekretaris Negara merupakan "unsur yang paling gamblang dari pendekatan baru tersebut".[80]
^ abWilcock, John. "The Popes, in chronological order: AD 1700-1800". Popes and Anti-Popes. www.ojaiorange.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 07 Oktober 2007. Diakses tanggal 25 Juni 2007.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |archive-date= (bantuan)
Ambrosini, Maria Luisa; Willis, Mary (1996), The Secret Archives of the Vatican, Barnes & Noble Publishing, ISBN0-7607-0125-3
Bargrave, John (1867), Pope Alexander the Seventh and the College of Cardinals, Camden Society
Baumgartner, Frederic J. (2003), Behind Locked Doors: A History of the Papal Elections, Palgrave Macmillan, ISBN0-312-29463-8
Bireley, Robert (2004), Book Review of Bürokratie und Nepotismus unter Paul V. (1605–1621): Studien zur frühneuzeitlichen Mikropolitik in Rom by Birgit Emich, The Catholic Historical Review
Brixius, J. M. (1912), Die Mitglieder des Kardinalkollegiums von 1130–1181, Berlin
Boutry, Philippe, Levillain (2002), Innocent XPemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Hsia, Ronnie Po-chia (2005), The World of Catholic Renewal, 1540–1770, Cambridge University Press, ISBN0-521-84154-2
Hüls, R. (1977), Kardinäle, Klerus und Kirchen Roms: 1049–1130, Tübingen
Klewitz, H.W. (1957), Reformpapsttum und Kardinalkolleg, Darmstadt
Laurain-Portemer, Madeleine, Levillain (2002), Superintendent of the Ecclesiastical State
Levillain, Philippe (2002), The Papacy: An Encyclopedia, Routledge, ISBN0-415-92228-3
Maleczek, W. (1984), Papst und Kardinalskolleg von 1191 bis 1216, Wina
Munck, Thomas (1999), Europa XVII wieku, Warsawa
Osheim, Duane J, Review of Kardinal Scipione Borghese, 1605–1633: Vermögen, Finanzen und sozialer Aufstieg eines Papstnepoten, The American Historical Review
Signorotto, Gianvittorio; Visceglia, Maria Antonietta (2002), Court and Politics in Papal Rome, 1492–1700, Cambridge University Press, ISBN0-521-64146-2
Vidmar, John (2005), The Catholic Church Through The Ages: A History, Paulist Press, ISBN0-8091-4234-1
von Rankle, Leopold (1848), The History of the Popes
Williams, George L. (2004), Papal Genealogy: The Families and Descendants of the Popes, McFarland, ISBN0-7864-2071-5
Zenker, B. (1964), Die Mitglieder des Kardinalkollegiums von 1130 bis 1159, Würzburg
Hansman, Silvia (1999). "The Vatican Secret Archives". Seminar on Records and Archives in Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-26. Diakses tanggal 2016-08-08.
Keyes, Jeffrey. "A YOUNG MAN IN THE ROME OF PIUS VII"(PDF). Archived from the original on 2007-09-30. Diakses tanggal 2019-11-21.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
Miranda, Salvador (1998). "Consistory of 1127". Florida International University.