Menurut Mahabharata, Rewati putri Kakudmi sangatlah cantik dan saat menginjak usia dewasa, ia menjadi sosok gadis yang ideal dengan kepribadian tak tercela, sampai-sampai Kakudmi berpikir bahwa tiada seorang pun di Bumi yang layak untuk menjadi suaminya. Maka dari itu, ia dan putrinya pergi menghadap dewa pencipta, Brahma, di Brahmaloka untuk mendapatkan saran tentang jodoh yang tepat bagi Rewati.
Saat mereka tiba di Brahmaloka, Brahma sedang menikmati pertunjukan musik yang dimainkan para gandarwa. Maka dari itu, mereka menghadap ketika pertunjukan selesai. Kakudmi menjelaskan kepada Brahma tentang daftar calon menantu yang dipilihnya dan meminta saran sang dewa untuk memilih yang terbaik di antara mereka. Brahma tertawa, lalu menjelaskan kepada Kakudmi bahwa terdapat perbedaan waktu yang sangat jauh berbeda antara dunia manusia dengan Brahmaloka. Waktu yang berjalan di Brahmaloka, mulai dari saat Kakudmi tiba hingga menghadap Brahma, setara dengan 27 mahayuga di dunia manusia. Maka dari itu, orang-orang yang dijadikan calon menantu oleh Kakudmi, termasuk anak, cucu, cicit, hingga keluarga mereka sebanyak tujuh turunan sudah tiada.[1][2]
Kakudmi tercengang setelah mengetahui kenyataan tersebut.[2] Akan tetapi, Brahma menenangkan perasaan sang raja. Brahma menyatakan bahwa saat itu Dewa Wisnu sedang turun ke dunia dalam wujud Kresna dan Baladewa. Ia menyarankan Baladewa sebagai suami yang tepat bagi Rewati.
Kakudmi dan Rewati kembali ke dunia seakan-akan mereka pergi hanya beberapa jam saja. Namun, mereka terkejut saat menyaksikan bahwa keadaan dunia saat mereka pergi sudah jauh berbeda dengan keadaan saat mereka kembali. Tidak hanya kondisi alam yang berubah, tetapi moral manusia juga mengalami degradasi. Bagaimanapun, Kakudmi dan Rewati segera mencari Baladewa. Lamarannya disetujui dan pernikahan pun segera dilaksanakan.
Setelah pernikahan putrinya berlangsung, Kakudmi merasa bahwa tugasnya sebagai ayah sudah terlaksana. Dengan mengikuti saran Brahma, ia pergi menuju Badrinath, kota di wilayah pegunungan Himalaya (tempat Dewa Nara-Narayana dipuja saat ini) untuk melaksanakan tapa brata, yoga, dan semadi. Ia berada di tepi sungai saat ajalnya tiba, lalu jiwanya menuju tempat para dewa.[3]