Dalam kitab pertama Mahabharata, yaitu Adiparwa bagian Sambhawaparwa, diceritakan bahwa Ambika, janda Raja Wicitrawirya diminta untuk berhubungan dengan ResiByasa agar memperoleh keturunan. Saat bersama sang resi, Ambika merasa takut dengan raut wajah sangar sang resi sehingga ia menutup mata. Resi Byasa pun meramalkan bahwa Ambika akan melahirkan anak buta. Kecewa dengan menantunya, ibu suri Satyawati pun meminta agar Ambika melakukan hubungan sekali lagi. Karena tidak mau lagi menemui Resi Byasa, maka Ambika mengirimkan seorang pelayan untuk menemui sang resi. Pelayan tersebut melayani Resi Byasa dengan baik sehingga sang resi berkata bahwa kelak anak yang akan dilahirkan dari rahim pelayan tersebut akan berperilaku mulia. Resi Byasa juga berkata bahwa anak yang akan dilahirkan sang pelayan merupakan penjelmaan Dewa Darma. Anak tersebut diberi nama Widura.[2]
Karena terlahir dari ayah berkasta brahmana dan ibu berkasta sudra, maka Widura memiliki nama panggilan 'Kesatri' (क्षत्तृ Kṣattṛ), meskipun sebutan itu biasanya ditujukan untuk anak yang berayah sudra, beribu brahmana.[1] Kitab Adiparwa juga menjelaskan bahwa Dewa Darma menitis sebagai Widura, anak dari seorang wanita sudra karena sang dewa pernah melakukan kesalahan terhadap seorang resi bernama Animandaya.[3]
Masa muda dan pendidikan
Menurut Mahabharata, Widura merupakan anak yang paling bijaksana jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Saat masih muda, ia belajar di bawah bimbingan Bisma bersama dengan kedua orang saudaranya. Ia belajar menjadi menteriraja, sementara Pandu diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Dretarastra dipilih sebagai putra mahkota. Karena Dretarastra buta, Pandu menggantikannya dan memerintah atas nama Dretarastra, sedangkan Widura menjadi penasihat raja dan menemani Dretarastra.
Istri
Nama istri Widura tidak disebutkan dalam naskah Mahabharata Sanskerta terjemahan Kisari Mohan Ganguli, tetapi ia dinamai "Sulaba" dalam versi-versi Mahabharata yang disusun belakangan.[4][5][6] Ia diceritakan sebagai wanita dari keluarga terpandang atau bangsawan. Ia pernah menjamu Kresna di rumahnya saat Kresna berada di Hastinapura demi melakukan perundingan damai antara Pandawa dan Korawa.
Peran dalam Dinasti Kuru
Dalam wiracarita Mahabharata, Widura merupakan orang yang tanggap ketika timbul niat jahat di hati Sangkuni dan Duryodana untuk menyingkirkan para Pandawa. Maka sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata untuk berlibur, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati terhadap para Korawa dan paman mereka, yaitu Sangkuni. Setelah mengetahui bahwa keselamatan para Pandawa dan ibunya terancam di Laksagreha, Widura mengirimkan pesuruh untuk menggali terowongan sehingga mempermudah para Pandawa untuk meloloskan diri dari musibah kebakaran di sana, yang didalangi oleh Duryodana.[7]
Dalam kitab Sabhaparwa, Widura mencegah Yudistira untuk bermain dadu, tetapi usahanya sia-sia.[8] Selain pangeran Wikarna, Widura merupakan orang yang menentang pelecehan Dropadi di balairung Dinasti Kuru. Duryodana pun membalas kata-kata Widura, dan mengatakan bahwa Widura adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Dretarastra tidak setuju akan tindakan Duryodana yang telah berkata kasar terhadap seorang paman, tetapi setelah mengingat kata-kata Widura bahwa orang buta tidak layak menjadi raja, maka Dretarastra memarahi Duryodana karena telah memarahi seorang perdana menteri.[9][10] Sejak peristiwa tersebut, hubungan Widura dengan Dinasti Kuru mulai renggang, dan ia lebih memihak Pandawa saat persiapan perang Kurukshetra.
Dalam pertikaian antara Korawa dan Pandawa mengenai masalah pewarisan takhta kerajaan Kuru, Widura telah berusaha untuk mendamaikannya, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah satu keluarga dan saudara. Dalam usahanya mencari perdamaian ia menghubungi sesepuh-sesepuh Pandawa dan Korawa, antara lain Bisma, Drona, dan Krepa, dengan bantuan dari Kresna. Berbeda dengan Bisma, Drona, Krepa, dan Karna, Widura tidak terikat dengan Hastinapura maupun Duryodana, melainkan dengan keluarganya. Mengetahui bahwa Dretarastra tidak mengakui hubungan tersebut, maka Widura semakin mantap untuk berpihak kepada darma dan Pandawa.[11]
Dalam bagian Sanatsujatiya dari kitab Mahabharata, sebelum perang Kurukshetra dimulai, Dretarastra bertanya kepada Widura tentang kematian dan atma (roh). Widura yang terlahir dari seorang wanita sudra merasa tak layak untuk mengupas masalah tentang kematian dan atma, sehingga ia memanggil resiSanatsujata untuk menjawab pertanyaan Dretarastra. Sebagai aksi protesnya terhadap perang saudara di Kurukshetra, Widura mengundurkan diri dari jabatan menteri. Dalam suatu versi Mahabharata dikatakan bahwa Widura adalah seorang pemanah ulung. Saking hebatnya, apabila ia berpihak pada Korawa saat perang berlangsung, maka Pandawa akan kalah.
Kematian
Perang Kurukshetra dimenangkan oleh pihak Pandawa sehingga Yudistira diangkat sebagai Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Dalam kitab Asramawasikaparwa diceritakan bahwa bertahun-tahun setelah perang usai, Dretarastra, Gandari, Kunti, dan Widura memutuskan untuk pensiun lalu pergi ke hutan demi menjalani kehidupan yang sederhana (wanaprastha). Pelayan pribadi Dretarastra yang bernama Sanjaya juga menemani mereka. Dua tahun kemudian, Yudistira pergi menjenguk mereka. Setibanya di hutan, ia menemukan bahwa tubuh Widura sudah tak bernyawa. Saat ia mendekati jenazah tersebut, atma Widura merasuk ke dalam tubuhnya, sehingga ia menyadari bahwa ia dan Widura sesungguhnya berasal dari sumber yang sama, yaitu "Dewa Yama" atau Sang Darma. Yudistira meninggalkan jenazah Widura di tengah hutan tanpa upacara pembakaran jenazah yang layak, karena suara dari langit menyuruhnya agar tidak melakukan hal tersebut.[12]
Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, tokoh Widura sering pula disebut dengan nama Yamawidura. Ia berkedudukan sebagai adipati Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil bawahan Astina. Widura merupakan putra ketiga Maharesi Abiyasa yang lahir dari dayang bernama Datri. Dikisahkan bahwa Prabu Citrawirya raja Hastina meninggal tanpa keturunan. Maharesi Abiyasa, putra pertama ibu suri Durgandini (Satyawati) diundang untuk menyambung dinasti Astina dengan cara menikahi kedua janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Namun keduanya ketakutan ketika melihat wujud Maharesi Abiyasa yang mengerikan karena pendeta tersebut baru saja menjalani tapa brata cukup lama. Akibatnya, masing-masing melahirkan anak-anak cacat, yaitu Dretarastra dan Pandu. Abyasa kemudian diperintah ibunya untuk berhubungan dengan Dewi Ambalika sekali lagi. Namun Dewi Ambalika memerintahkan dayangnya yang bernama Datri supaya menyamar sebagai dirinya. Ternyata Datri juga ketakutan saat bertemu dengan Maharesi Abiyasa. Ia mencoba lari berjingkat ke luar kamar. Akibatnya, Datri pun melahirkan bayi berkaki pincang, yang diberi nama Yama Widura.
Widura menikah dengan Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra dari Pagombakan, bawahan negeri Astina. Widura kemudian menggantikan kedudukan Adipati Dipacandra sepeninggal mertuanya itu. Yang menjabat sebagai patih di Kadipaten Pagombakan adalah Patih Jayasemedi. Widura memiliki putra bernama Raden Sanjaya yang menjadi juru penuntun Adipati Dretarastra. Sementara itu dalam Mahabharata versi aslinya (versi India), antara Widura dengan Sanjaya sama sekali tidak terdapat hubungan darah.
Sepeninggal Prabu Pandu, kelima putranya yang disebut Pandawa tidak menetap di istana Astina, melainkan tinggal bersama Widura di Kadipaten Pagombakan. Widura berhasil mendidik kelima keponakannya itu menjadi manusia-manusia utama. Dalam dunia politik, Widura bermusuhan dengan Sangkuni, adik ipar Dretarastra yang berpangkat patih. Sangkuni sendiri menanamkan kebencian kepada Pandawa di hati para keponakannya, yaitu Korawa. Ketika Pandawa hendak diserahi takhta Astina warisan Pandu, mereka terlebih dulu dijebak oleh para Korawa di dalam gedung Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar. Namun, karena Widura membangun terowongan rahasia di bawah gedung tersebut, Pandawa dan ibunya, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari maut.
Widura berusia sangat panjang. Sementara itu putranya gugur dalam perang Bharatayuddha melawan Karna. Widura meninggal dunia saat bertapa di dalam hutan, ketika Pandawa telah berhasil mendapatkan kembali kekuasaan atas negeri Astina setelah tertumpasnya Korawa, Versi lainnya Yama Widura meninggal dibunuh oleh Patih Sengkuni disaat perang tanding di Bharatayudha.