Sandili (Dewanagari: शाण्डिली; ,IAST: Śāṇḍilī,शाण्डिली) adalah nama seorang tokoh wanita dalam mitologi Hindu. Kisahnya tercatat dalam kitab Garudapurana, Markandeyapurana, Skandapurana, dan wiracaritaMahabharata. Legenda Hindu menyebutnya sebagai wanita suci lagi mulia, setara dengan Anasuya. Kekuatan pengabdiannya yang besar terhadap suami membuat Dewa Surya tidak mampu menampakkan diri. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa Garuda kehilangan sayapnya karena meremehkan tempat tinggal dan gaya hidup yang ia terapkan. Sandili termasuk ke dalam kelompok tokoh wanita ideal pada zaman India Kuno.[2]
Melarang terbitnya Matahari
Dalam kitab Garudapurana, Skandapurana, dan Markandeyapurana dikisahkan bahwa Sandili merupakan istri dari seorang brahmana bernama Kosika (Kausika), berasal dari klan Sonaka.[3] Mereka tinggal di Pratisthana. Dalam Garudapurana disebutkan bahwa suaminya menderita penyakit kusta.[4] Kendati pun demikian, Sandili menghormati dan melayani suaminya dengan amat baik. Pada suatu hari, seorang wanita penghibur baru tiba di kota tersebut. Kosika ingin sekali menontonnya, tetapi ia tidak mampu berjalan dengan baik sehingga Sandili menggendongnya dalam suatu buntelan kain.
Saat malam tiba, mereka belum sampai di tempat tujuan sehingga memutuskan untuk beristirahat. Sandili pun menurunkan suaminya dan menyandarkannya pada suatu pilar. Tanpa ia ketahui, di ujung pilar tersebut ada Resi Animandaya yang sedang menjalani hukuman penyulaan — ditusuk sula dari lubang pantat sampai menembus kepala — karena dituduh melakukan pencurian. Berkat kesaktiannya, sang resi tidak mati tetapi hanya merasakan sakit. Saat Sandili menurunkan suaminya dari gendongan, tak sengaja Kosika menyenggol Animandaya sehingga menambah rasa sakit yang diderita sang resi. Animandaya pun mengucapkan kutukan bahwa orang yang telah menyenggolnya saat itu tidak akan bernyawa lagi saat fajar tiba. Nyawa suami Sandili pun terancam. Menanggapi kutukan tersebut, Sandili berkata bahwa matahari tidak akan pernah terbit lagi agar suaminya tetap hidup. Ucapan Sandili menjadi kenyataan sehingga dunia diliputi kegelapan selama enam bulan, mengakibatkan segala bentuk yadnya, brata, dan ritual suci lainnya tidak dapat terlaksana.[3]
Para dewa menghadap Brahma, dewa pencipta untuk mencari solusi atas kegelapan yang terjadi di dunia. Brahma menjelaskan bahwa kesaktian Animandaya yang diperoleh melalui tapa brata telah dilampaui oleh kekuatan yang diperoleh dari pengabdian, kasih sayang, dan kesucian seorang wanita. Maka dari itu, ia menyarankan para dewa agar memohon kepada Anasuya, wanita mulia yang menjadi istri Resi Atri, untuk menenangkan perasaan Sandili. Akhirnya Anasuya menemui Sandili, dan mereka berdialog. Setelah Anasuya meyakinkan Sandili bahwa suaminya tidak akan mati apabila fajar tiba, maka Sandili pun membiarkan matahari terbit. Bersamaan dengan itu, penyakit yang diderita suaminya juga sembuh.[1][3] Sedangkan menurut kitab Skandapurana, para dewa berhasil meyakinkan Sandili bahwa suaminya tidak akan mati apabila fajar tiba. Kemudian Sandili mengizinkan matahari terbit lagi, diiringi dengan kesembuhan suaminya.[5]
Versi lain
Kisah Sandili melarang terbitnya matahari telah mengalami beberapa perubahan di sejumlah penuturan ulang; perubahan mencakup nama tokoh dan juga kondisi Animandaya dalam menjalani hukumannya. Dalam suatu penuturan ulang yang ditulis Priya dan Sanjay Tandon, nama Sandili berubah menjadi Sumati, sedangkan hukuman yang dijalani Animandaya ialah memakai kalung dari batu; suami Sumati bersalah karena kakinya menyentuh sang resi secara tidak sengaja.[6]Ramayana yang dikisahkan ulang Subha Villas mengandung cerita berbingkai tentang Sandili. Dalam bukunya, wanita yang melarang matahari terbit bernama Silawati, sedangkan suaminya bernama Ugrasrawa alias Kausika.[7] Dalam buku Tales from the Upanishads karya Mahesh Sharma terkandung sejumlah cerita mitologi Hindu dari berbagai sumber yang dituturkan ulang, termasuk kisah Kausika dan istrinya yang melarang terbitnya matahari. Namun di sana istri Kausika bernama Mridula.[8]
Hilangnya sayap Garuda
Kisah Sandili tercatat sepintas dalam suatu cerita berbingkai yang dinarasikan oleh Narada dalam Udyogaparwa, kitab kelima Mahabharata. Narada menceritakan kisah petulangan Resi Galawa dan Sang Garuda mencari 800 kuda putih berkuping hitam untuk memenuhi tuntutan Resi Wiswamitra. Mereka pergi menghadap Raja Yayati yang terkenal amat kaya dan dermawan dengan harapan dapat memohon kuda sesuai yang diinginkan. Dalam perjalanan ke sana, mereka beristirahat di Gunung Resaba. Di sana mereka mendapati suatu pertapaan yang dihuni oleh Sandili. Dengan ramah, Sandili mempersilakan mereka beristirahat dan bermalam sebelum melanjutkan perjalanan. Kebaikan hati Sandili membuat Garuda merasa bahwa wanita tersebut lebih layak untuk tinggal di Waikunta, Kailasa, Brahmaloka, atau di kota-kota lain tempat banyak orang suci berkumpul dan melaksanakan yadnya, daripada tinggal di pertapaan di Gunung Resaba.[9]
Keesokan hari — setelah bangun dari peristirahatan — Garuda menemukan bahwa kedua sayapnya telah lenyap. Galawa terkejut dan mempertanyakan dosa apa yang telah Garuda lakukan. Galawa juga menegaskan bahwa dosa tidak hanya berasal dari tindakan buruk, tetapi juga pikiran yang buruk. Garuda pun sadar bahwa ia telah berdosa karena berpikir bahwa tempat tinggal Sandili tidak layak, dan berencana untuk memindahkan Sandili dari pertapannya yang sekarang. Sandili menguatkan hati Garuda dan memaafkannya. Ia pun memberi anugerah bahwa sayap-sayap Garuda akan segera tumbuh kembali. Setelah kedua sayapnya tumbuh, Garuda dan Galawa mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya.[10]
Dalam Pancatantra
Tokoh lain bernama Sandili juga muncul dalam himpunan dongengPancatantra, tetapi dikisahkan sebagai seorang istri brahmana miskin yang licik.[11] Dikisahkan bahwa menjelang suatu hari raya, brahmana tersebut menyuruh istrinya untuk mengundang seorang pendeta untuk makan bersama, sedangkan ia sendiri akan mengumpulkan derma makanan di kota. Pada waktu itu, mereka hanya memiliki wijen yang belum dikupas sebagai makanan terbaik. Maka Sandili mengupas biji-biji tersebut, lalu menjemurnya. Namun seekor anjing telah menodai biji-biji yang sedang dijemur. Sandili pun berencana untuk menukarnya dengan wijen milik tetangganya yang belum dikupas. Pada awalnya tetangganya bersedia karena merasa tidak akan perlu repot lagi mengupas wijen, tetapi anak tetangga tersebut langsung mencegahnya karena merasa ada yang tidak beres, sebab seseorang menukar wijen yang sudah dikupas dengan yang belum dikupas pasti memiliki maksud terselubung. Tetangga tersebut pun menolak tawaran Sandili.[11] Kisah Sandili tersebut dianggap merupakan suatu alegori bahwa apabila seseorang tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tampaknya menggiurkan, sebaiknya dipertimbangkan masak-masak terlebih dahulu.[12]