Sejarah Sarawak bermula pada zaman paleolitikum pada 40,000 tahun yang lalu dimana bukti terawal pemukiman manusia ditemukan di gua-gua Niah. Serangkaian keramik Tionghoa yang berasal dari abad ke-18 sampai ke-13 Masehi diangkat di situs arkeologi Santubong. Kawasan pesisir Sarawak berada di bawah pengaruh Kekaisaran Brunei pada abad ke-16. Pada 1839, James Brooke, seorang penjelajah Inggris, mula-mula datang ke Sarawak. Sarawak kemudian diperintah oleh keluarga Brooke antara 1841 dan 1946. Pada Perang Dunia II, wilayah tersebut diduduki oleh Jepang selama tiga tahun. Setelah perang, Rajah Putih terakhir, Charles Vyner Brooke, menyerahkan Sarawak kepada Inggris, dan pada 1946 wilayah tersebut menjadi Koloni Mahkota Inggris. Pada 22 Juli 1963, Sarawak meraih kemerdekaan dari Inggris. Setelah itu, wilayah tersebut menjadi salah satu anggota pendiri Federasi Malaysia, yang didirikan pada 16 September 1963. Namun, federasi tersebut ditentang oleh Indonesia, dan hal tersebut berujung pada konfrontasi Indonesia–Malaysia selama tiga tahun. Dari 1960 sampai 1990, Sarawak mengalami pemberontakan komunis.
Para pemukim pertama yang mengunjungi Mulut Barat Gua-Gua Niah (berjarak 110 kilometer (68 mi) dari barat daya Miri)[1] 40,000 tahun yang lalu saat Borneo terhubung dengan daratan utama Asia Tenggara. Lanskap di sekitar Gua-Gua Niah lebih kering dan lebih terekspos ketimbang sekarang. Pada zaman prasejarah, Gua-Gua Niah dikelilingi oleh kombinasi hutan tertutpup dengan semak, taman, rawa dan sungai. Para pemukim dapat bertahan hidup di hutan hujan melalui berburu, memancing, dan meramu moluska dan tumbuhan-tumbuhan pangan.[2] Ini dibuktikan dari penemuan tengkorak manusia modern, yang dijuluki "Tengkorak Dalam", di sebuah kedalaman yang digali oleh Tom Harrisson pada 1958;[1][3] penemuan tersebut juga merupakan tengkorak manusia modern tertua di Asia Tenggara.[4] Tengkorak tersebut diyakini berasal dari seorang gadis remaja berusia 16 sampai 17 tahun.[2] Situs-situs penguburan Mesolitikum dan Neolitikum juga ditemukan.[5] Wilayah di sekitaran Gua-Gua Niah telah dijadikan Taman Nasional Niah.[6]
Situs arkeologi lainnya ditemukan di wilayah tengah dan selatan Sarawak. Ekskavasi lainnya yang dilakukan oleh Tom Harrisson pada 1949 mengangkat serangkaian keramik Tiongkok di Santubong (dekat Kuching) yang berasal dari zaman dinasti Tang dan Song pada abad ke-8 sampai ke-13 Masehi. Diyakini, Santubong telah menjadi pelabuhan penting di Sarawak pada masa tersebut, namun kepentingannya menurun pada masa Dinasti Yuan, dan pelabuhan tersebut gulung tikar pada zaman Dinasti Ming.[7] Situs arkeologi lainnya di Sarawak berada di distrik Kapit, Song, Serian, dan Bau.[8]
Kekaisaran Brunei
Pada abad ke-16, wilayah Kuching[9] yang dikenal oleh para kartografer Portugis sebagai Cerava, menjadi salah satu dari lima pelabuhan besar di pulau Borneo.[10] Wilayah tersebut berada di bawah pengaruh Kekaisaran Brunei dan pemerintahannya sendiri berada di bawah pimpinan Sultan Tengah.[11] Pada awal abad ke-19, Sarawak menjadi teritorial yang kurang terperintah di bawah kekuasaan Kesultanan Brunei. Kekaisaran Brunei hanya memerintah di sepanjang kawasan pesisir Sarawak yang dipegang oleh para pemimpin Melayu semi-independen. Sehingga, wilayah dalam Sarawak utamanya didominasi suku-suku yang terdiri dari suku Iban, Kayan, dan Kenyah yang agresif dalam ekspansi teritorial mereka.[12] Setelah penemuan tambang entimon di kawasan Kuching, Pangeran Indera Mahkota (perwakilan Sultan Brunei) mulai mengembangkan wilayah tersebut antara 1824 dan 1830. Saat produksi antimon meningkat, Kesultanan Brunei meraih pajak tinggi dari Sarawak; hal ini berujung kepada ketegangan dan pertikaian saudara.[13] Pada 1839, Sultan Omar Ali Saifuddin II (1827–1852), Sultan Brunei, memerintahkan Pangeran Muda Hashim (paman Sultan Brunei) untuk mengembalikan keadaan. Peristiwa tersebut terjadi saat James Brooke (penjelajah Inggris) datang ke Sarawak, dan Pangeran Muda Hashim meminta bantuan dalam hak materi, namun Brooke menolaknya.[14] Namun, ia sepakat untuk permintaan tersebut pada kunjungan berikutnya ke Sarawak pada 1841. Pangeran Muda Hashim menandatangani sebuah traktat pada 1841 yang menyerahkan Sarawak kepada Brooke. Pada 24 September 1841,[15] Pangeran Muda Hashim memberikan gelar gubernur kepada James Brooke. Pelantikan tersebut kemudian dikonfirmasikan oleh Sultan Brunei pada Juli 1842. Pada Oktober 1843, James Brooke memutuskan untuk mengambil satu langkah tambahan dan mengangkat Pangeran Muda Hashim dalam Dewan Brunei Court sesiao dengan nasihat Hashim kepada Brooke. Dewan Brunei tak senang dengan pelantikan Hashim dan memerintahkan pemilihannya yang berujung dengan kematiannya pada 1845. Akibatnya, James Brooke membombardir ibu kota Brunei. Sultan Brunei memutuskan untuk mengirim sebuah surat permintaan maaf kepada Ratu Viktoria dan mengakui posisi James Brooke di Sarawak dan hak-hak pertambangannya tanpa membayar upeti kepada Dewan Brunei.[16] Pada 1846, Brooke secara efektif menjadi Rajah Sarawak dan mendirikan Dinasti Rajah Putih Sarawak setelah kematian Pangeran Muda Hashim.[17][18]
Brooke memerintah wilayah tersebut dan meluaskannya ke wilayah utara sampai ia meninggal pada 1868. Ia digantikan oleh keponakannya Charles Anthoni Johnson Brooke, yang digantikan oleh putranya, Charles Vyner Brooke, pada kondisi Charles harus memerintah atas saran dari saudara Vyner Brooke Bertram Brooke.[19] James dan Charles Brooke menandatangani traktat-traktat dengan Brunei sebagai sebuah strategi untuk meluaskan perbatasan-perbatasan wilayah Sarawak. Pada 1861, wilayah Bintulu diserahkan kepada James Brooke. Pada 1883, Sarawak meluas sampai Sungai Baram (dekat Miri). Limbang diakuisisi pada 1885 dan kemudian dimasukkan dalam wilayah Sarawak pada 1890. Perluasan Sarawak selesai pada 1905 saat Lawas diserahkan kepada pemerintah Brooke.[20][21] Sarawak dibagi dalam lima divisi, berdasarkan pada perbatasan wilayah dari wilayah yang diakuisisi oleh keluarga Brookes sepanjang tahun. Setiap divisi dikepalai oleh seorang Residen.[22] Sarawak diakui sebagai sebuah negara independen oleh Amerika Serikat pada 1850 dan Britania Raya pada 1864. Negara tersebut mengeluarkan mata uang pertamanya sebagai dolar Sarawak pada 1858.[23] Namun, dalam konteks Malaysia, Brooke dipandang sebagai penjajah.[24]
Dinasti Brooke memerintah Sarawak selama seratus tahun sebagai "Rajah Putih".[25] Dinasti tersebut mengadopsi kebijakan paternalisme untuk melindungi kepentingan penduduk asli dan seluruh kesejahteraan mereka. Pemerintah Brooke mendirikan sebuah Dewan Tinggi yang terdiri dari para pemimpin Melayu yang menasihati Rajah pada seluruh aspek pemerintahan.[26] Pertemuan Dewan Umum pertama diadakan di Bintulu pada 1867. Dewan Tinggi adalah majelis legislatif negara tertua di Malaysia.[27] Sementara itu, suku Iban dan suku-suku Dayak lainnya dinaungi sebagai militia.[28] Dinasti Brooke juga mengadakan imigrasi pedagang Tionghoa untuk pengembangan ekonomi, khususnya sektor pertambangan dan pertanian.[26]Kapitalis Barat ditolak untuk memasuki negara tersebut sementara misionaris Kristen ditoleransi.[26]Pembajakan, perbudakan, dan pemburuan kepala juga dilarang.[29]Borneo Company Limited dibentuk pada 1856. Perusahaan tersebut terlibat dalam sebagian besar bisnis di Sarawak seperti perdagangan, perbankan, pertanian, eksplorasi mineral, dan pengembangan.[30]
James Brooke awalnya tinggal di sebuah rumah Melayu yang dibangun di Kuching. Pada 1857, para penambang emas Tionghoa Hakka dari Bau, di bawah kepemimpinan Liu Shan Bang, menghancurkan tempat tinggal Brooke. James Brooke melarikan diri dan membentuk pasukan yang lebih besar bersama dengan Charles Brooke[31] dan para pendukung Malayo-Ibannya.[26] Beberapa hari kemudian, tentara Brooke berhasil memotong rute pelarian para pemberontak Tionghoa, yang dihabisi setelah dua bulan pertikaian.[32] Keluarga Brooke kemudian membangun sebuah rumah pemerintahan baru di pinggiran Sungai Sarawak, Kuching yang sekarang dikenal sebagai Astana.[33][34] Sebuah faksi anti-Brooke di Pemerintahan Brunei menyerah pada 1860 di Mukah. Pemberontakan terkenal lainnya yang berhasil ditumpas oleh keluarga Brooke meliputi orang-orang yang dipimpin oleh seorang kepala suku Iban Rentap (1853–1863), dan seorang pemimpin Melayu bernama Syarif Masahor (1860–1862).[26] Akibatnya, serangkaian benteng dibangun di sekitaran Kuching untuk melindungi kekuasaan Rajah. Benteng-benteng tersebut meliputi Benteng Margherita, yang diselesaikan pada 1879.[34] Pada 1891, Charles Anthoni Brooke mendirikan Museum Sarawak, museum tertua di Borneo.[34][35] Pada 1899, Charles Anthoni Brooke menjinakkan peperangan antar-suku di Marudi. Pada 1910, sumur minyak pertama dibor di Sarawak. Galangan dok Brooke dibuka pada 1912. Anthony Brooke lahir pada tahun yang sama dan menjadi Rajah Muda pada 1939.[36]
Pada 1941, pada perayaan keseratus pemerintahan Brooke di Sarawak, konstitusi baru diperkenalkan untuk membatasi kekuasaan Rajah dan memperbolehkan orang Sarawak unbtuk memainkan peran yang lebih besar dalam memfungsikan pemerintah.[37] Namun, konstitusi tersebut mengandung iregularitas, termasuk sebuah perjanjian rahasia yang dibuat antara Charles Vyner Brooke dan para pejabat pemerintah Inggris, dimana Vyner Brooke menyerahkan Sarawak sebagai Koloni Mahkota Britania dalam mengembalikan kompensasi keuangan kepadanya dan keluarganya.[25][38]
Pemerintahan Brooke, di bawah kepemimpinan Charles Vyner Brooke, mendirikan beberapa bandar udara di Kuching, Oya, Mukah, Bintulu, dan Miri untuk persiapan dalam peristiwa perang. Pada 1941, Inggris menarik pasukan pertahannnya dari Sarawak dan kembali ke Singapura. Karena Sarawak menjadi tidak terjaga, rezim Brooke memutuskan untuk mengadopsi kebijakan bumi hangus dimana instalasi-instalasi minyak di Miri akan dihancurkan dan pangkalan udara Kuching dipertahankan selama mungkin sebelum kemudian dihancurkan. Sementara itu, pasukan Jepang memutuskan untuk menyerbu Borneo Britania untuk mempertahankan sisi timur mereka dalam Kampanye Malaya dan untuk memfasilitasi invasi mereka ke Sumatra dan Jawa Barat. Sebuah pasukan invasi Jepang yang dipimpin oleh Kiyotake Kawaguchi mendarat di Miri pada 16 Desember 1941 (dalapan hari dalam Kampanye Malaya) dan menaklukan Kuching pada 24 Desember 1941. Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Letnan Kolonel C.M. Lane memutuskan untuk retret ke Singkawang di Borneo Belanda yang berbatasan dengan Sarawak. Setelah sepuluh minggu bertempur di Borneo Belanda, pasukan Sekutu menyerah pada 1 April 1942.[39] Saat Jepang menginvasi Sarawak, Charles Vyner Brooke telah pergi ke Sydney (Australia) sementara para perwiranya ditangkap oleh Jepang dan dimasukkan ke kamp Batu Lintang.[40]
Sarawak masih menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang selama tiga tahun delapan bulan. Sarawak, bersama dengan Borneo Utara dan Brunei, membentuk sebuah unit administratif tunggal yang bernama Kita Boruneo (Borneo Utara)[41] di bawah Angkatan Darat ke-37 Jepang yang bermarkas besar di Kuching. Sarawak terbagi dalam tiga provinsi, yakni: Kuching-shu, Sibu-shu, dan Miri-shu, yang masing-masing berada di bawah kepemimpinan Gubernur Provinsial Jepang mereka masing-masing. Pada dasarnya, Jepang masih memakai mesin administratif pra-perang dan memangku Jepang untuk posisi pemerintahan. Pemerintahan dalam negeri Sarawak terdiri dari kepala desa dan polisi penduduk asli, di bawah pimpinan Jepang. Meskipun orang Melayu biasanya bersikap baik terhadap Jepang, suku-suku asli lainnya seperti Iban, Kayan, Kenyah, Kelabit dan Lun Bawang memandang buruk mereka karena kebijakan-kebijakan seperti buruh paksa, pemaksaan mengirimkan kebutuhan makanan, dan penyiataan senjata api. Jepang tidak menyediakan kekuatan besar dalam melumpuhkan penduduk Tionghoa karena Tionghoa di negara bagian tersebut umumnya apolitis. Namun, sejumlah besar Tionghoa berpindah dari kawasan pedesaan ke wilayah yang kurang terakses untuk menghindari kontak dengan Jepang.[42]
Pasukan Sekutu kemudian membentuk Unit Khusus Z untuk menyabotase operasi-operasi Jepang di Asia Tenggara. Bermula pada Maret 1945, para komandan Sekutu diterjunkan ke hutan-hutan Borneo dan mendirikan beberapa markas di Sarawak di bawah sebuah operasi yang bernama kode "Semut". Ratusan orang asli dilatih untuk meluncurkan pemberontakan melawan Jepang. Intelijensi yang dikumpulkan dari operasi tersebut membantu pasukan Sekutu (yang dikepalai oleh Australia) untuk menaklukan kembali Borneo pada Mei 1945 melalui Operasi Oboe Six.[43] Hal ini berujung pada menyerahnya Jepang kepada pasukan Australia pada 10 September 1945 di Labuan,[44][45] disusul oleh upacara penyerahan resmi di Kuching di atas Corvette Australia HMAS Kapunda pada hari berikutnya.[46] Sarawak kemudian ditempatkan di bawah Pemerintahan Militer Inggris sampai April 1946.[47]
Setelah perang, pemerintah Brooke tidak berniat membangun kembali Sarawak. Charles Vyner Brooke juga tak mengkehendaki pengambilalihan kekuasaannya kepada pewaris tahtanya, Anthony Brooke (keponakannya, putra tunggal Bertram Brooke) karena perbedaan tajam antara mereka.[12] Di samping itu, istri Vyner Brook, Sylvia Brett, juga berusaha untuk mendiskreditkan Anthony Brooke sesambil berupaya agar putrinya sendiri mendapatkan tahta tersebut. Sehingga, Vyner Brooke memutuskan untuk menyerahkan kedaulatan Sarawak kepada Mahkota Inggris.[38] Undang-Undang Penyerahan dibuat di Dewan Negri (sekarang Majelis Legislatif Negara Bagian Sarawak) dan debat berlangsung selama tiga hari. Undang-Undang tersebut disahkan pada 17 Mei 1946 dengan suara mayoritas (19 lawan 16 suara). Para pendukung undang-undang tersebut kebanyakan adalah para pejabat Eropa, sementara orang-orang Melayu menentang undang-undang tersebut. Hal ini menyebabkan ratusan PNS Melayu mengundurkan diri sebagai bentuk protes, merebakkan gerakan anti-penyerahan dan pembunuhan gubernur kolonial kedua Sarawak Sir Duncan Stewart oleh Rosli Dhobi.[48]
Anthony Brooke menentang penyerahan teritorial Rajah kepada Mahkota Inggris. Sehingga, ia ikut dalam kelompok anti-penyerahan di Sarawak, khususnya setelah pembunuhan Sir Duncan Stewart.[49] Anthony Brooke melanjutkan klaim kedaulatan sebagai Rajah Sarawak bahkan setelah Sarawak menjadi sebuah koloni Mahkota Inggris pada 1 Juli 1946.[38] Karena itu, ia diusir dari Sarawak oleh pemerintah kolonial[26] dan baru diperbolehkan kembali pada 17 tahun berikutnya untuk kunjungan nostalgia, saat Sarawak menjadi bagian dari Malaysia.[50] Pada 1950, seluruh gerakan anti-penyerahan di Sarawak diredam oleh pemerintah kolonial.[12] Pada 1951, Anthony mencairkan kembali seluruh klaim-klaimnya terhadap tahta Sarawak setelah ia menggunakan tuntutan hukum terakhirnya di Dewan Penasihat.[50]
Pada 27 Mei 1961, Tunku Abdul Rahman, perdana menteri Federasi Malaya, mengumumkan sebuah rencana untuk membentuk federasi yang lebih besar bersama dengan Singapura, Sarawak, Sabah dan Brunei, yang disebut Malaysia. Rencana tersebut menyebabkan para pemimpin lokal di Sarawak waspada terhadap niat Tunku dalam pandangan perbedaan besar dalam pengembangan sosioekonomi di negara-negara Borneo. Hal tersebut menjadi kekhawatiran besar yang tanpa lembaga politik yang kuat, negara-negara Borneo akan menjadi subyek kolonisasi Malaya. Sehingga, berbagai partai politik di Sarawak didirikan untuk melindungi kepentingan komunitas yang mereka wakili. Pada 17 Januari 1962, Komisi Cobbold dibentuk untuk menggerakan dukungan Sarawak dan Sabah terhadap federasi tersebut. Antara Februari dan April 1962, komisi tersebut mendatangkan lebih dari 4,000 orang dan meraih 2,200 memoranda dari berbagai kelompok. Komisi tersebut dilaporkan membagi dukungan terhadap penduduk Borneo. Namun, Tunku menyatakan bahwa jumlah dukungannya sejumlah 80 persen untuk federasi tersebut.[51][52] Sarawak membuat sebuah perjanjian 18 poin untuk mengamankan kepentingannya di federasi tersebut. Pada 26 September 1962, Dewan Negri Sarawak mengesahkan sebuah resolusi yang mendukung federasi tersebut dengan sebuah kondisi yang kepentingam orang Sarawak tidak akan kompromikan. Pada 23 Oktober 1962, lima partai politik di Sarawak membentuk sebuah front persatuan yang mendukung pembentukan Malaysia.[53] Sarawak resmi meraih kemerdekaan pada 22 Juli 1963,[54][55][56] dan kemudian membentuk federasi Malaysia dengan Malaya, Borneo Utara Britania, dan Singapura pada 16 September 1963.[57][58]
Federasi Malaysia mengadapi penentangan dari Filipina, Indonesia, Partai Rakyat Brunei, dan Organisasi Komunis Clandestine (OKC). Filipina dan Indonesia mengklaim bahwa Inggris akan "me-neokolonialisme-kan" negara-negara Borneo melalui federasi tersebut.[59] Sementara itu, A. M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei, mengadakan Pemberontakan Brunei pada Desember 1962 dalam rangka menolak federasi Malaysia.[60] Azahari mengambil wilayah Limbang dan Bekenu sebelum dikalahkan oleh pasukan militer Inggris yang dikirim dari Singapura. Mengklaim bahwa pemberontakan Brunei adalah bukti penentangan solid terhadap federasi Malaysia, Presiden Indonesia Sukarno memerintahkan sebuah konfrontasi militer dengan Malaysia, mengirim para sukarelawan bersenjata dan kemudian pasukan militer ke Sarawak. Sarawak menjadi flashpoint pada masa konfrontasi Indonesia–Malaysia antara 1962 dan 1966.[61][62] Konfrontasi semacam itu meraih dukungan kecil dari orang-orang Sarawak kecuali untuk OKC. Ribuan anggota OKC datang ke Kalimantan dan dilatih oleh Partai Komunis Indonesia. Pada masa konfrontasi tersebut, sekitar 10,000 sampai 150,000 pasukan Inggris ditempatkan di Sarawak, bersama dengan pasukan Australia dan Selandia Baru. Saat Suharto menggantikan Sukarno sebagai presiden Indonesia, negosiasi dimulai kembali antara Malaysia dan Indonesia yang berujung pada akhir konfrontasi pada 11 Agustus 1966. Pada 1967, sebuah perjanjian baru ditandatangani yang meminta siapapun yang berharap untuk melintasi perbatasan Sarawak–Kalimantan untuk melakukan pengecekan di pos kontrol perbatasan.[59]
Setelah pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada 1949, ideologi Maoisme mulai memprenetrasi sekolah-sekolah Tionghoa di Sarawak. Kelompok komunis pertama di Sarawak dibentuk pada 1951, yang bermula di SMP Chung Hua (Kuching). Kelompok tersebut digantikan oleh Liga Pembebasan Sarawak (LPS) pada 1954 (juga dikenal sebagai OKS oleh sumber-sumber pemerintah). Aktivitasnya menyebar dari sekolah ke serikat dagang dan petani. Aktivitias OKS umumnya terkonsentrasi di wilayah selatan dan tengah Sarawak. Kelompok tersebut juga berhasil mempenetrasikan sebuah partai politik bernama Partai Persatuan Rakyat Sarawak (PPRS). OKS berusaha untuk mewujudkan sebuah negara komunis di Sarawak melalui jalur konstitusional namun pada masa konfrontasi, kelompok tersebut melakukan perjuangan bersenjata melawan pemerintah.[12] Weng Min Chyuan dan Bong Kee Chok adalah dua pemimpin terkenal OKS. Setelah itu, pemerintah Sarawak mulai mendirikan Desa-Desa Baru di sepanjang jalan Kuching–Serian untuk menghindari masyarakat dari bantuan komunis. OKS secara resmi membentuk Partai Komunis Kalimantan Utara (PKKU) pada 1970. Pada 1973, Bong menyerah kepada ketua menteri Abdul Rahman Ya'kub; hal tersebut secara signifikan mengurangi kekuatan partai komunis. Namun, Weng, yang memimpin OKS dari Tiongkok sejak pertengahan 1960an, menyerukan perjuangan bersenjata melawan pemerintah, yang setelah 1974 berlanjut di Delta Rajang. Pada 1989, Partai Komunis Malaya (PKM) menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Malaysia. Hal ini menyebabkan PKKU membuka kembali negosiasi dengan pemerintah Sarawak, yang berujung pada perjanjian damai pada 17 Oktober 1990. Perdamaian direstorasi di Sarawak setelah kelompok akhir beranggotakan 50 gerilyawankomunis menurunkan senjata mereka.[63][64]
^"Niah Cave". humanorigins.si.edu. Smithsonian National Museum of Natural History. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 November 2013. Diakses tanggal 23 March 2015.
^"Archeology". Sarawak Muzium Department. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 October 2015. Diakses tanggal 28 December 2015.
^Broek, Jan O.M. (1962). "Place Names in 16th and 17th Century Borneo". Imago Mundi. 16 (1): 134. doi:10.1080/03085696208592208. JSTOR1150309. Carena (for Carena), deep in the bight, refers to Sarawak, the Kuching area, where there is clear archaeological evidence of an ancient trade center just inland from Santubong.
^ abcdAlastair, Morrison (1 January 1993). Fair Land Sarawak: Some Recollections of an Expatriate Official. SEAP Publications. hlm. 10, 14, 95, 118–120. ISBN978-0-87727-712-5. Diakses tanggal 29 October 2015. ... the great Iban, and Kayan-Kenyah migrations were taking place inland, destroying or absorbing many of the former much less organised occupants of the land.(page 10) ... Although nominal control of Sarawak coast continued, it came to exercised largely by semi-independent Malay chiefs, many of part Arab blood.(page 10) ... There has been serious differences between Rajah and his brother and nephew (page 14) ... The first Communist group to be formed in Sarawak ... (page 95) ... The first political party, the Sarawak United Peoples' Party (SUPP) ... (page 118) ... By 1962, there were six parties ... (page 119)
^B.A., Hussainmiya (2006). "The Brookes and the British North Borneo Company". Brunei - Revival of 1906 - A popular history(PDF). Bandar Seri Begawan: Brunei Press Sdn Bhd. hlm. 6. ISBN99917-32-15-2. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2 December 2016. Diakses tanggal 2 December 2016.
^"Chronology of Sarawak throughout the Brooke Era to Malaysia Day". The Borneo Post. 16 September 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 February 2015. Diakses tanggal 29 October 2015. 1861 Sarawak is extended to Kidurong Point. ... 1883 Sarawak extended to Baram River. ... 1885 Acquisition of the Limbang area, from Brunei. ... 1890 Limbang added to Sarawak. ... 1905 Acquisition of the Lawas Region, from Brunei.
^Lim, Kian Hock (16 September 2011). "A look at the civil administration of Sarawak". The Borneo Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 February 2015. Diakses tanggal 21 November 2015. It seems the idea of dividing the state into divisions by the Brooke government was not implemented purely for administrative expediency but rather the divisions mark the new areas ceded by the Brunei government to the White Rajahs. This explains why the original five divisions of the state were so disproportionate in size.
^ abFrans, Welman (2011). Borneo Trilogy Sarawak: Volume 1. Bangkok, Thailand: Booksmango. hlm. 177. ISBN978-616-245-082-2. Diakses tanggal 2 November 2015. The Brooke Dynasty ruled Sarawak for a hundred years and became famous as the "White Rajahs", accorded a status within the British Empire similar to that of the Indian Princes.
^ abcdefOoi, Keat Gin (2013). Post-war Borneo, 1945–50: Nationalism, Empire and State-Building. Routledge. hlm. 7, 93, 98. ISBN978-1-134-05803-7. Diakses tanggal 2 November 2015. Personal rule with heavy dose of parternalism was adopted by the first two Rajahs, who saw themselves as enlightened monarchs entrusted with a mandate to rule on behalf of indigenous peoples' and well being ... A Supreme Council comprising Malay Datus (non-royal chefs) advised rajah on all aspects of governance ... The entry of western capitalist enterprises were greatly restricted. Christian missionaries tolerated, and Chinese immigration promoted as catalyst of economic development (mining, commerce, agriculture).(page 7) ... This denial of entry to Anthony ... (page 93) ... The anti-cession movement was by the early 1950s effectively "strangled" a dead letter.(page 98)
^Lewis, Samuel Feuer (1 January 1989). Imperialism and the Anti-Imperialist Mind. Transaction Publishers. ISBN978-1-4128-2599-3. Diakses tanggal 2 November 2015. Brooke made it his life task to bring to these jungles "prosperity, education, and hygiene"; he suppressed piracy, slave-trade, and headhunting, and lived simply in a thatched bungalow.
^Sendou Ringgit, Danielle (5 April 2015). "The Bau Rebellion: What sparked it all?". The Borneo Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2016. Diakses tanggal 22 March 2016. The Rajah then came back days later with a bigger army and bigger guns aboard the Borneo Company steamer, the Sir James Brooke together with his nephew, Charles Brooke. Most of the Chinese miners were killed in Jugan, Siniawan where they had set up their defences while some managed to escape to Kalimantan.
^"石隆门华工起义 (The uprising of Bau Chinese labourers)" (dalam bahasa Chinese). 国际时报 [International Times (Sarawak)]. 13 September 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 January 2013. Diakses tanggal 22 March 2016.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abcSimon, Elegant (13 July 1986). "SARAWAK: A KINGDOM IN THE JUNGLE". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 November 2015. Diakses tanggal 2 November 2015. The Istana, the palace built by the Brookes on a bend in the Sarawak River, still looks coolly over the muddy waters into the bustle of Kuching, the trading town James Brooke made his capital. ... Today, the Istana is the State Governor's residence, ... To protect his kingdom, Brooke built a series of forts in and around Kuching. Fort Margherita, named after Ranee Margaret, the wife of Charles, the second Rajah, was built about a mile downriver from the Istana.
^Saiful, Bahari (23 June 2015). "Thrill is gone, state museum stuck in time — Public". The Borneo Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 October 2015. Diakses tanggal 2 November 2015. The Sarawak Museum, being Borneo's oldest museum, should look into allocating a curator to be present and interacting with visitors at all times, he lamented.
^"History of Sarawak". Brooke Trust. Archived from the original on 2016-11-29. Diakses tanggal 29 November 2016.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^Gin, Ooi Keat (1 January 2013). "Wartime Borneo, 1941–1945: a tale of two occupied territories". Borneo Research Bulletin. Diakses tanggal 3 November 2015. Occupied Borneo was administratively partitioned into two halves, namely Kita Boruneo (Northern Borneo) that coincided with pre-war British Borneo (Sarawak, Brunei, and North Borneo) was governed by the IJA, ...
^Ooi, Keat Gin. "Prelude to invasion: covert operations before the re-occupation of Northwest Borneo, 1944–45". Journal of the Australian War Memorial. Diakses tanggal 3 November 2015. However, as the situation developed, the SEMUT operations were divided into three distinct parties under individual commanders: SEMUT 1 under Major Tom Harrisson; SEMUT 2 led by Carter; and SEMUT 3 headed by Captain W.L.P. ("Bill") Sochon. The areas of operation were: SEMUT 1 the Trusan valley and its hinterland; SEMUT 2 the Baram valley and its hinterland; SEMUT 3 the entire Rejang valley. {22} Harrisson and members of SEMUT 1 parachuted into Bario in the Kelabit Highlands during the later part of March 1945. Initially, Harrisson established his base at Bario; then, in late May, shifted to Belawit in the Bawang valley (inside the former Dutch Borneo) upon the completion of an airstrip for light aircraft built entirely with native labour. In mid-April, Carter and his team (SEMUT 2) parachuted into Bario, by then securely an SRD base with full support of the Kelabit people. Shortly after their arrival, members of SEMUT 2 moved to the Baram valley and established themselves at Long Akah, the heartland of the Kenyahs. Carter also received assistance from the Kayans. Moving out from Carter's party in late May, Sochon led SEMUT 3 to Belaga in the Upper Rejang where he set up his base of operation. Kayans and Ibans supported and participated in SEMUT 3 operations.
^ ab"Anthony Brooke". The Daily Telegraph. 6 March 2011. Diakses tanggal 3 November 2015. ... when his legal challenge to the cession was finally dismissed by the Privy Council in 1951, he renounced once and for all his claim to the throne of Sarawak and sent a cable to Kuching appealing to the anti-cessionists to cease their agitation and accept His Majesty's Government. The anti-cessionists instead continued their resistance to colonial rule until 1963, when Sarawak was included in the newly independent federation of Malaysia. Two years later, Anthony Brooke was welcomed back by the new Sarawak Government for a nostalgic visit.
^ abIshikawa, Noboru (15 March 2010). Between Frontiers: Nation and Identity in a Southeast Asian Borderland. Ohio University Press. hlm. 86–88,140,169. ISBN978-0-89680-476-0. Diakses tanggal 9 November 2015. The word "Malay" is widely used in Sarawak because in 1841 James Brooke brought it with him from Singapore, where it had been vaguely applied to all the coast-dwelling seafaring Muslims of the Indonesia Archipelago, particularly those of Sumatra and the Malayan Peninsula.
^"Brunei Revolt breaks out – 8 December 1962". National Library Board (Singapore). Diakses tanggal 9 November 2015. The sultan of Brunei regarded the Malaysia project as "very attractive" and had indicated his interest in joining the federation. However, he was met with open opposition from within his country. The armed resistance challenging Brunei's entry into Malaysia that followed became a pretext for Indonesia to launch its policy of Konfrontasi (or Confrontation, 1963–1966) with Malaysia.