Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Tunku Abdul Rahman di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)
Almarhum Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj ibni Almarhum Sultan Abdul Hamid Halim Shah (Jawi: تونكو عبد الرحمن ڤوترا الحاج ابن سلطان عبد الحميد حاليم شاه; 8 Februari 1903 – 6 Desember 1990) adalah negarawan asal Malaysia yang merupakan Perdana Menteri Malaysia pertama sekaligus Bapak Kemerdekaan atau Bapak Malaysia (bahasa Melayu: Bapa Kemerdekaan dan Bapa Malaysia). Sebelum menjadi perdana menteri, ia merupakan Ketua Menteri Federasi Malaya dari 1955 sampai 1957. Pemberian gelar "Tunku" pada umumnya digunakan untuk gelar kehormatan Melayu pada keturunan raja atau sultan.[2][3] Ia merupakan adik dari Sultan Kedah ke-27, Sultan Badlishah.
Pada 1963, ia menggabungkan Federasi Malaya, Koloni Mahkota Borneo Utara (sekarang bernama Sabah), Sarawak, dan Singapura menjadi negara bagian di Malaysia. Namun, ketegangan atas ras Melayu dan Tionghoa mengakibatkan Singapura didepak pada 1965. Kinerjanya yang kurang memuaskan selama kerusuhan ras di Kuala Lumpur pada 1969 menyebabkan dirinya mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada 1970.
Kehidupan peribadi
Dilahirkan di Istana Tiga Tingkat, Alor Setar, Kedah yang lebih dikenal sebagai Istana Pelamin, Tunku merupakan anak lelaki yang ketujuh dan anak yang kedua puluh pada Sultan Abdul Hamid Halim Shah, Sultan Kedah yang ke-24. Ibunya Cik Menyelara, seorang istri Sultan Abdul Hamid Halim Shah yang tidak berdarah gahara, adalah anak perempuan Luang Naraborirak (Kleb), seorang pejabat daerah Thailand. Kelahiran Tunku disambut secara biasa saja karena dia bukan bakal pengganti Sultan Kedah. Pengganti Sultan kedah, Sultan Badlishah bin Sultan Abdul Hamid, telah berumur 30 tahun ketika itu.
Saat kecil, Tunku disebut Awang karena rupa parasnya yang tidak sesegak adik-beradiknya yang lain. Ia bebas bermain di luar istana dan pernah membentuk tim sepak bola di desanya. Tunku biasa mengendap burung dan melastik, serta bermain lumpur sehingga ia menderita penyakit puru di kakinya.
Pendidikan
Tunku mulai pendidikannya pada 1909 di sebuah sekolah dasar Melayu di Jalan Baru, Alor Setar. Biasa ber bahasa Siam di rumah, ia belajar bahasa Melayu di sekolah itu. Seorang guru pula datang ke rumahnya untuk mengajar bahasa Inggris. Tunku kemudian pindah ke sebuah sekolah pemerintah bahasa Inggris yang kini disebut Kolej Sultan Abdul Hamid. Di sini, dia belajar di sekolah pada waktu siang dan membaca Al-Quran pada waktu petang.
Tunku Abdul Rahman Pernah Menjadi Ketua Malaysia dalam konfrontasi Indonesia Malaysia
Terbentuknya Malaysia merupakan salah satu pencapaian terbesarnya. Pada 1961, ia berpidato di Asosiasi Koresponden Asing Asia Tenggara di Singapura dengan mengusulkan sebuah federasi dari negara-negara bagian, seperti Federasi Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Usulan ini berhasil diwujudkan setelah seluruh negara bagian (kecuali Brunei) secara resmi digabungkan pada 16 September 1963.
Akan tetapi, faktor rasial diperparah dengan masuknya Singapura yang meningkatkan proporsi Tionghoa menjadi lebih dari 40%. UMNO dan Asosiasi Tionghoa Malaysia (MCA) merasa ragu akan kemungkinan Lee Kuan Yew dari Partai Tindakan Rakyat (PAP yang berideologi sosialis dan radikal) lebih populer di kalangan pemilih, sehingga Partai Perikatan membentuk partai untuk menantang kedudukan Lee disana, walaupun sebelumnya sepakat tidak akan melakukannya. Lee mencalonkan diri sebagai kandidat PAP di Malaya pada pemilihan 1964 dan memenangkan satu kursi di parlemen Dewan Rakyat
Hal ini memicu Tunku untuk menuntut agar Singapura dikeluarkan secara permanen dari Federasi Malaysia. Perintah ini mengarah pada Perjanjian Kemerdekaan Singapura 1965 yang mencapai kemerdekaan Singapura dari Malaysia dalam satu langkah itu. Pada hari yang sama, 7 Agustus 1965, Tunku mengumumkan dalam Parlemen Malaysia di Kuala Lumpur bahwa mereka harus memberikan pilihan atas resolusi agar Singapura dikeluarkan dari federasi dan memisahkan diri, serta menjadikan Singapura sebagai negara yang merdeka pada 9 Agustus 1965.
Pada pemilihan umum 1969, perolehan kursi mayoritas dari Partai Perikatan atau Aliansi mulai berkurang. Demonstrasi setelah pemilu memicu kerusuhan rasial 13 Mei di Kuala Lumpur. Beberapa pemimpin UMNO yang dipimpin oleh Abdul Razak Hussein mengkritik kepemimpinan Tunku selama peristiwa ini dan membentuk komite darurat, yaitu Majelis Gerakan Negara dengan tujuan mengambil alih kekuasaan dan menyatakan keadaan darurat.
Kekuasaannya sebagai perdana menteri semakin terguncang, hingga akhirnya pada 22 September 1970 ia terpaksa mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Malaysia, kemudian menyerahkan jabatannya kepada Abdul Razak Hussein.
Kontribusi
Islam
Setelah mengesahkan Islam sebagai salah satu agama di Federasi Malaya pada 1960, Tunku mendirikan Organisasi Kesejahteraan Islam (PERKIM), sebuah organisasi untuk membantu mualaf Muslim menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sebagai seorang Muslim. Ia menjabat sebagai Presiden PERKIM hingga setahun sebelum wafatnya. Pada 1961, Malaysia menjadi tuan rumah pertama Kompetisi Membaca Al-Qur'an Internasional, sebuah kompetisi yang dikembangkan dari pemikiran Abdul Rahman ketika ia menyelenggarakan kompetisi tingkat negara bagian pertama di Kedah pada 1951.
Malaysia adalah salah satu pendiri Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor pusatnya berada di Jeddah, Arab Saudi dan didirikan bertepatan pada penyelenggaraan Konferensi Bangsa-Bangsa Islam di Kuala Lumpur pada 1969. Tunku menjabat sekretaris jenderal pertamanya sejak tahun 1970.
Pada kesempatan ulang tahunnya yang ke-80, ia menyatakan pada surat kabar The Star edisi 9 Februari 1983 bahwa "negara ini (Malaysia) memiliki populasi multi-ras dengan berbagai keyakinan. Malaysia harus terus menjadi negara sekuler dengan Islam sebagai agama resmi".[4]
^Cheah, Boon Kheng (2002). "The Tunku as "Founding Father of the Nation"". Malaysia: The Making of a Nation. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 109–110. ISBN9812301542.
^Ooi, J. 2007. Merdeka... 50 years of Islamic State?. Available from: Jeff Ooi (19 Juli 2007). "Merdeka... 50 years of Islamic State?". Jeffooi.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Juni 2011. Diakses tanggal 10 Juni 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan).