Insiden 13 Mei

Untuk kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, lihat Kerusuhan Mei 1998. Untuk kerusuhan yang terjadi di Singapura pada tahun 1964, lihat Kerusuhan rasial Singapura 1964 — peristiwa yang bertepatan dengan hari raya Maulid Nabi Muhammad yang sedang berlangsung di seluruh Malaysia.

Insiden 13 Mei adalah istilah untuk kerusuhan rasial antara etnis Tionghoa dan orang Melayu yang terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 13 Mei 1969. yang telah merenggut nyawa sebanyak 184 orang. Insiden ini juga adalah kemuncak permasalahan perpaduan di Malaysia dan mempunyai kaitan yang rapat dengan "Pilihan Raya Umum 10 Mei 1969" merupakan satu titik hitam dalam sejarah negara Malaysia.

Penyebab kerusuhan

Pada pemilihan umum 10 Mei 1969, koalisi Aliansi yang memerintah diketuai oleh United Malays National Organization (UMNO) mengalami kekalahan terbesar sejak 1955 walaupunpun masih tetap memenangkan Pemilu. Partai terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat suara dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan melalui jalur yang telah ditetapkan di Kuala Lumpur. Namun, pawai menjadi berisik, kasar, dan menyimpang dari jalurnya dan mengarah ke distrik Melayu Kampong Bahru, mengolok penduduknya dengan spanduk berbaur rasis bertulis "Malai Si" yang dalam bahasa Tionghoa berarti "Mampus Melayu".

Meskipun Partai Gerakan langsung mengeluarkan permintaan maaf keesokan harinya, UMNO mengumumkan pawai tandingan mulai dari Menteri Besar Selangor Dato' Harun Idris di Jalan Raja Muda untuk merayakan kemenangan mereka. Dilaporkan, masyarakat yang berkumpul diberi tahu bahwa suku Melayu yang menuju ke prosesi telah diserang dan dipenggal kepalanya oleh suku Tionghoa di Setapak, beberapa mil di utara [1] Diarsipkan 2003-05-25 di Wayback Machine. Para pengunjuk rasa (Orang Melayu) yang marah mulai berkumpul, termasuk organisasi-organisasi yang membela nasib orang melayu di negara itu seperti Gang Parang Terbang (Bugis), Gang Parang Panjang, Gang Sungai Manik, Gang Selendang Merah (Pesilat) dan ratusan orang Melayu lainnya datang dari berbagai partai, mulai bersatu di bawah satu atap, kemudian dengan cepat mengadakan pembalasan dengan membunuh dua pengendara sepeda motor beretnis Tionghoa yang sedang lewat, dan kerusuhan pun meledak.

Ketika kerusuhan berlangsung, pengeras suara di masjid-masjid pun digunakan untuk provokasi mendorong para perusuh untuk terus melanjutkan aksi mereka hingga terjadi pertumpahan darah, demi mempertahankan muruah dan kedaulatan orang melayu yang telah dihina dan diinjak-injak.

Perusuh kemudian mulai beraksi di ibu kota Kuala Lumpur dan wilayah sekitar negeri Selangor, dengan pengecualian gangguan kecil di Melaka tempat lain di negara tersebut tetap tenteram. Keadaan darurat nasional dan jam malam diumumkan pada 16 Mei tetapi jam malam dikurangi di beberapa bagian di negara tersebut pada 18 Mei dan dihilangkan dalam waktu seminggu di pusat Kuala Lumpur.

Menurut data polisi, 184 orang meninggal dan 356 terluka, 753 kasus pembakaran dicatat dan 211 kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Beberapa memperkirakan jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang sebagai akibat dari kerusuhan.

Isu ras dalam Pemilu 1969

Isu-isu golongan dan ras yang menyentuh emosi dan sentimen menjadi tema utama sepanjang kampanye Pemilu 1969 yang mengakibatkan meningkatnya semangat masyarakat Melayu dan Tionghoa di Malaysia. Selama kampanye Pemilu 1969, para calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan istimewa orang Melayu (Bumiputera) dan hak kerakyatan warga non-Melayu. Hal ini menimbulkan sentimen rasial dan kecurigaan.

Partai Perikatan (UMNO-MCA-MIC) telah mengalami kekalahan yang telak dalam Pemilu 1969. Jumlah kursi yang dimenangkannya dalam Dewan Rakyat (Parlemen) telah menurun dari 89 kursi pada tahun 1964 menjadi 66 kursi pada tahun 1969. Partai Perikatan telah hilang kebanyakan dua pertiga dalam Dewan Rakyat. Partai Gerakan, DAP dan PPP menang 25 buah kursi dalam Dewan Rakyat sementara PAS menang 12 kursi.

Pawai kemenangan oposisi

Menyusul kemenangan mereka dalam pemilu 10 Mei 1969, pihak oposisi mengadakan pawai besar untuk merayakannya. Dr. Tan Chee Khoon dari Partai Gerakan yang menang besar di kawasan Batu, Selangor, meminta izin dari polisi untuk mengadakan pawai kemenangan partainya di Selangor. Pawai ini menyebabkan kemacetan di jalan-jalan di sekitar Kuala Lumpur. Pawai kemudian bergerak ke Jalan Campbell dan Jalan Hale dan menuju ke Kampung Baru. Sementara itu di Kampung Baru, yang penghuninya lebih dari 30.000 orang Melayu yang menjadi kubu UMNO, masyarakat merasa terancam dengan kemenangan pihak oposisi. Di daerah ini pula terletak rumah Menteri Besar Selangor saat itu, Dato' Harun Idris.

Konon dalam pawainya itu kaum Tionghoa membawa-bawa sapu di kendaraan mereka sebagai lambang kemenangan mereka yang berhasil menyapu bersih kursi sambil meneriakkan slogan. Ada yang menafsirkan bahwa sapu tersebut menunjukkan rencana mereka untuk menyapu ('menyingkirkan') orang-orang Melayu ke laut. Ada yang mencaci dan meludah dari atas lori ke arah orang Melayu di tepi-tepi jalan.

Perarakan kematian

Di Jinjang, Kepong, seorang Tionghoa yang meninggal akibat sakit tua diarak sepanjang jalan dengan izin polisi. Namun perarakan kematian bertukar menjadi perarakan kemenangan pemilu dengan menghina Melayu.

Pada hari Selasa 13 Mei, Yeoh Tech Chye selaku Presiden Gerakan memohon maaf atas tindakan anggota-anggotanya yang melampaui batas selama pawai. Yeoh sendiri menang besar di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Tapi permohonan maaf dianggap sudah terlambat.

Pawai balasan

Pada 13 Mei 1969 UMNO mengadakan konvoi balasan yang memicu kerusuhan rasial. Ini terutama disebabkan karena tingginya emosi dan kurangnya kawalan dari kedua pihak.

Orang-orang Melayu berkumpul di rumah Menteri Besar Selangor di Jalan Raja Muda Abdul Aziz di Kampung Baru, Kuala Lumpur. Dato' Harun Idris selaku Menteri Besar Selangor ketika itu mencoba menenangkan keadaan. Namun mereka yang datang berkumpul membawa senjata pedang dan parang panjang dan hanya menunggu lampu hijau dari Dato' Harun Idris untuk mengamuk.

Sementara mereka berkumpul beredarlah cerita-cerita tentang kebiadaban anggota-anggota partai Gerakan dan DAP. Pk. 3.00 sore datang berita tentang pembunuhan orang Melayu di Setapak, hanya dua kilometer dari rumah Menteri Besar Selangor.

Pukul 4.00 sore dua pengemudi sepeda motor Tionghoa yang melalui Jalan Kampung Baru dipancung. Sebuah van yang membawa rokok dibakar dan pengemudinya dibunuh. Pemuda-pemuda Tionghoa yang konon berasal dari Polisi Kerajaan Malaysia dan organisasi-organisasi liar mengambil tindakan balasan. Mereka membunuh orang-orang Melayu di sekitar Kuala Lumpur. Rupa-rupanya orang-orang Tionghoa ini pun bersenjata lengkap dengan pelbagai senjata besi, tombak dan trisula.

Kerusuhan besar pun tidak terelakkan lagi. Perintah darurat dikeluarkan. Tak seorangpun diizinkan keluar dari rumah. Pasukan polisi berpatroli di sekitar Kuala Lumpur. Tentara dari Resimen Ranger sebelumnya telah dikerahkan untuk menjaga keselamatan sekitar Kuala Lumpur.

Resimen Renjer (Ranger)

Pasukan FRU dikeluarkan dari Kampung Baru dan anggota Resimen Ranger mengambil alih keadaan. Malangnya pasukan ini terdiri dari Melayu, Iban, Tionghoa, India dan lain-lain turut menembaki orang-orang Melayu dan menyebabkan orang-orang Melayu semakin meradang. Ketua Resimen Ranger konon adalah seorang Tionghoa.

Pemuda-pemuda Melayu yang mempertahankan Kampung Baru dan yang lain-lain mengamuk merasakan diri mereka terkepung antara orang-orang Tionghoa dan pasukan Ranger Ranger. Beberapa das turut ditujukan ke arah rumah Menteri Besar Selangor.

Pasukan Melayu

Akhirnya Resimen Ranger ditarik dan digantikan dengan Pasukan Melayu. Beberapa bangunan rumah kedai di sekitar Kampung Baru, Jalan Tuanku Abdul Rahman masih terus terbakar. Pentadbiran diambil-alih oleh Askar Melayu. Beberapa anggota pasukan Melayu turut masuk ke toko-toko emas Tionghoa dan merampoki harta benda di sana. Ada yang mengatakan bahwa pasukan-pasukan itu berpakaian preman.

Banyak orang Tionghoa yang dibunuh dan mayatnya dilemparkan ke gudang-gudang bijih timah. Konon ada rekaman televisi yang menunjukkan bahwa beberapa pemuda Tionghoa ditangkap, dibariskan berjajar di sisi gudang lalu dibunuh. Namun hingga sekarang tak ada bukti mengenai rekaman ini.

Bioskop Odeon

Pemuda-pemuda Tionghoa dari organisasi-organisasi gelap (Chinese Triad) bertindak mengepung bioskop Odeon, di Jalan Tuanku Abdul Rahman, Kuala Lumpur. Beberapa iklan disiarkan di layar bioskop itu menyuruh penonton keturunan Tionghoa untuk meninggalkan bioskop. Iklan tersebut ditulis dalam bahasa Tionghoa. Penonton Melayu di bioskop tersebut banyak yang mati, termasuk dua tentara Melayu yang tinggal di Sungai Ramal, Kajang.

Seorang polisi bernama Rahim yang tinggal di Kuala Lumpur yang turut menonton film di Odeon terkena bacokan di kepalanya dan berpura-pura mati. Ia masih hidup hingga sekarang. Akibat tindakan ini, orang-orang Melayu melakukan tindakan balas dendam. Konon kepala seorang Tionghoa yang dibunuh diletakkan di atas pagar.

Tersebar kabar angin bahwa tentara Sabil dari Sungai Manik akan datang ke Kampung Baru tetapi terhalang di jalan. Begitu juga dengan tentara selempang merah dari Muar dan Batu Pahat dicegat oleh polisi di Kantor Polisi Kajang dan Cheras.

Ada 4 kiai di sekitar Kampung Baru yang mengedarkan air jampi dan penangkal senjata dengan harga yang agak mahal. Sebenarnya mereka mengambil kesempatan dari keadaan darurat tersebut. Yang pasti adalah hanya tentara Melayu saja yang menyelamatkan orang Melayu di Kampung Baru ketika itu.

Untungnya kerusuhan antar golongan ini tidak terjadi di Kelantan, Terengganu dan Pahang. Di Perak, Kedah, Pulau Pinang serta Perlis pun tidak terjadi kerusuhan apapun. Demikian pula di Negeri Johor dan Negeri Sembilan. Cuma di Melaka terjadi sedikit kerusuhan. Di Betong Polisi Kerajaan Malaysia melepaskan tembakan.

Di mana Tunku?

Pada tanggal 13 Mei 1969 itu Tunku Abdul Rahman baru saja kembali dari Alor Star untuk merayakan kemenangannya di sana. Pada pukul 18.45, Encik Mansor selaku Kepala Polisi Lalu-lintas Kuala Lumpur menyampaikan berita kerusuhan dan pembunuhan itu kepada Tunku Abdul Rahman. Keadaan darurat diberlakukan pada pukul 19.00 malam itu.

Sebagian orang menyalahkan Dato' Harun Idris atas tragedi 13 Mei itu. Namun oleh orang Melayu, Dato' Harun Idris dianggap penyelamat orang Melayu.

Jumlah korban dan reaksi Singapura

Angka resmi menunjukkan 196 mati, 439 cedera, 39 hilang dan 9.143 ditahan, 211 kendaraan musnah. Tapi spekulasi mengatakan 700 orang mati terbunuh.

Insiden 13 Mei ini memicu kemarahan di negara tetangga Singapura. Orang-orang Tionghoa Singapura yang merasa tidak senang atas apa yang terjadi terhadap orang-orang Tionghoa Malaysia di Malaysia, mulai melakukan kerusuhan terhadap orang-orang Melayu Singapura di Kampong Glam dan daerah Pecinan (Chinatown). Barikade-barikade jalan dipasang oleh militer untuk mencegah kekerasan lebih jauh. Namun korban yang jatuh tidak setinggi yang di Malaysia.

Akibat kerusuhan

Segera setelah kerusuhan terjadi, pemerintah memberlakukan Undang-undang Darurat dan membekukan parlemen (yang baru terbentuk kembali pada 1971). Pers juga dibekukan dan Dewan Operasi Nasional dibentuk. Kerusuhan ini menyebabkan Mahathir Mohamad, tokoh nasionalis Melayu saat itu, dipecat dari UMNO. Namun kejadian ini pun mendorongnya untuk menulis karya pentingnya The Malay Dilemma, (Dilema Melayu). Dalam buku ini ia mengusulkan pemecahan terhadap ketegangan rasial di Malaysia.

Dalam perebutan kekuasaan yang menyusul di lingkungan UMNO, Tunku Abdul Rahman digulingkan. Pemerintahan yang baru didominasi oleh kelompok "ultra-Melayu" yang dengan segera bertindak untuk menenangkan masyarakat Melayu dengan Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia (NEP) yang mengandung kebijakan-kebijakan yang melindungi kaum bumiputra (Melayu). Banyak undang-undang pers Malaysia yang keras yang berusaha untuk mengendalikan ketegangan rasial, juga berasal dari masa ini.

Jumlah korban

Tragedi 13 Mei ini menyebabkan banyak jiwa yang tidak berdosa jadi korban dan harta benda musnah. Untuk menangani keadaan itu pemerintahan mengumumkan undang-undang darurat ke seluruh negara dan Parlemen dibubarkan. Sebuah badan pemerintah yang diketuai oleh Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak dibentuk pada 16 Mei 1969 dan dikenal sebagai Majlis Gerakan Negara atau MAGERAN.

Keadaan akhirnya dapat dikendalikan dan beberapa keputusan telah diambil untuk mencari jalan penyelesaian termasuk pembentukan beberapa badan seperti Majlis Perundingan Negara, Dasar Ekonomi Baru dan Rukunegara.

Tindakan pengamanan

Pada malam 16 Mei 1969 negara dinyatakan berada dalam keadaan darurat. Mageran (Majelis Gerakan Negara) dibentuk di bawah pengawasan Tun Abdul Razak. Parlemen dibubarkan.

Peristiwa 13 Mei 1969 menyebabkan Tunku Abdul Rahman dipersalahkan oleh orang Melayu dan Malaysia secara keseluruhannya. Setelah kejadian itu, Tunku meletakkan jabatannya pada tahun 1970. Buku "Dilema Melayu" ("Malay Dilemma") oleh Tun Dr. Mahathir dilarang beredar. Dikatakan bahwa pasangan Tun Dr. Mahathir dan Anwar Ibrahim menjelek-jelekkan Tunku Abdul Rahman.

Keadaan akhirnya dapat dikuasai dan beberapa keputusan telah diambil bagi mencari jalan penyelesaian, termasuk di antaranya pembentukan sejumlah lembaga seperti Majlis Perundingan Negara, Dasar Ekonomi Baru dan Rukun Negara telah diciptakan.

Rujukan politik

Insiden ini sering kali diangkat pada tahun-tahun diadakannya pemilihan umum untuk menyiratkan akibat-akibat yang tidak dikehendaki kepada kelompok-kelompok etnis lainnya bila mereka tidak memilih partai yang berkuasa United Malays National Organization. Namun, kaerna banyak orang yang mengalami langsung insiden ini kini telah digantikan oleh warga yang hidup pada masa pasca-1969, pernyataan-pertanyaan ini tidak banyak memberikan keuntungan.

Pada 2004, pada Sidang Umum UMNO, Badruddin Amiruldin, (wakil ketua baru yang permanen) mengacung-acungkan buku tentang insiden 13 Mei itu dalam sebuah pidatonya dan mengatakan, "Ras lain tidak berhak mempertanyakan hak-hak istimewa kita, agama, dan pemimpin kita." Ia juga menyatakan bahwa melakukan hal itu sama saja dengan "mengganggu sarang lebah."

Hari berikutnya, Dr. Pirdaus Ismail (pimpinan teras Pemuda Umno) mengatakan, "Badruddin tidak mengucapkan hal itu kepada seluruh orang Tionghoa di negara ini. Mereka yang berpihak kepada kita, yang memegang pehamaman yang sama seperti kita, bukanlah target kita. Dalam mempertahankan hak-hak Melayu, kita mengarahkan suara kita kepada mereka yang mempertanyakannya."

Wakil Menteri Keamanan Dalam negeri, Noh Omar, menolak pernyataan-pernyataan tersebut dan menyebutnya sebagai pelajaran dalam sejarah. Katanya, Badruddin semata-mata hanya mengingatkan generasi muda tentang noda yang terdapat dalam sejarah bangsa. [2]

Kesimpulan

Ternyata keputusan Tunku Abdul Rahman dengan mengeluarkan Singapura dari Malaysia tidak menyelesaikan masalah ras. Peristiwa 13 Mei 1969 merupakan puncak kemarahan lama orang Melayu karena mereka miskin di tanah air mereka sendiri.

Pada tahun 1969 pemilu diadakan kembali dan partai yang berkuasa memenangi 2/3 dari semua kursi. Barisan Nasional dibentuk. Wilayah Federal Kuala Lumpur dibentuk untuk mengurangkan jumlah pemilih Tionghoa dalam Dewan Undangan Negeri Selangor. Beberapa tokoh politik yang dianggap berbahaya telah ditahan melalui Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA). Batas-batas dalam pemilu yang lebih bijaksana dan seimbang dilaksanakan. Sistem demokrasi, pemilu dan pembagian kue ekonomi nasional ditafsirkan kembali dan dibagi secara lebih adil.

Lihat pula

Pranala luar