Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud (3 September 1928 – 3 September 2002), yang lebih dikenal sebagai A.M. Azahari, adalah seorang politikus Brunei yang beralih menjadi pemberontak.
Lahir sebagai blasteran Arab-Melayu di Labuan, ia dididik di Jawa dan kemudian bertarung melawan Belanda di sana. Ia menjadi pemimpin Partai Rakyat Brunei yang berupaya untuk mengurangi kekuasaan Sultan Omar Ali Saifuddin III demi sebuah monarki konstitusional saat Pemberontakan Brunei pada 1962.
Partai Azahari memenangkan seluruh 16 kursi terpilih dalam dewan legislatif beranggotakan 33 orang dan sebagai politikus sayap kiri, Azahari sangat menentang gagasan Sultan agar Brunei menjadi anggota dalam Federasi Malaysia, bersama dengan Borneo Utara Britania (yang kemudian berganti nama menjadi Sabah), Sarawak dan Singapura.
Gagasan Kalimantan Utara awalnya diusulkan oleh Azahari, yang memiliki hubungan dengan gerakan nasionalis Sukarno, bersama dengan Ahmad Zaidi Adruce, di Jawa pada 1940an. Gagasan tersebut mendukung dan mencanangkan penyatuan seluruh teritorial Borneo yang berada di bawah kekuasaan Inggris membentuk sebuah negara Kalimantan Utara sayap kiri independen.
Azahari secara pribadi mendorong kemerdekaan Brunei dan bergabung dengan Borneo Utara Britania dan Sarawak untuk membentuk federasi dengan Sultan Brunei sebagai monarki konstitusional.
Namun, Partai Rakyat Brunei sepakat untuk bergabung dengan Malaysia dalam kondisi tiga teritorial Borneo utara yang disatukan dengan Sultan mereka sendiri, dan sangat menolak dominasi oleh Malaya, Singapura, para administrator Melayu atau para pedagang Tionghoa.[1]
Proposal Kalimantan Utara dipandang sebagai alternatif pasca-dekolonisasi oleh oposisi lokal yang menentang rencana Malaysia. Oposisi lokal di seluruh teritorial Borneo utamanya berdasarkan pada perbedaan budaya, sejarah, politik dan ekonomi antara negara-negara Borneo dan Malaya, serta penolakan untuk menjadi subyek di bawah dominasi politik semenanjung.
Pada masa Pemberontakan Brunei, Azahari berada di Manila dan berupaya untuk menghindari penangkapan oleh pasukan Inggris dan Persemakmuran yang membantu meredam pemberontakan tersebut. Ia pernah terlibat dalam pemberontakan Limbang.
Hidup di pengasingan dan kematian
Setelah ia kalah, Azahari kabur ke Jakarta dimana ia mendapat suaka dari Presiden Sukarno pada 1963 dan tinggal dalam pengasingan di Kalimantan. A. M. Azahari kemudian meninggal pada 2002 di Bogor, Indonesia. Ia berusia 75 tahun.
Ia meninggalkan seorang istri dan lebih dari 10 anak. Azahari merupakan penyuara kuat melawan proposal yang dibuat oleh Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman Putra untuk menggabungkan Malaya, Sabah, Sarawak dan Brunei dalam rangka membentuk Malaysia.
Selin itu, Azahari, yang memimpin PRB dari masa pembentukannya pada 1956 sampai saat partai tersebut bubar pada 1962, mengusulkan pembentukan sebuah negara persatuan yang terdiri dari Brunei, Sarawak dan Borneo Utara.
Referensi
|
---|
Umum | |
---|
Perpustakaan nasional | |
---|