Pink slime adalah produk sampingan dari produksi daging sapi yang digunakan sebagai bahan aditif dalam produk-produk olahan daging sapi. Pink slime terbuat dari daging-daging yang menempel pada lemak yang ikut terbuang pada saat pemotongan daging.[1] Pada tahun 2012, kantor berita ABC News membuat liputan mengenai produk daging ini. Liputan tersebut menuai kontroversi dengan beberapa produsen daging sapi di Amerika Serikat menganggap bahwa ABC menampilkan citra buruk bagi produk mereka sementara sebagian masyarakat menolak pencampuran pink slime ke dalam produk daging yang mereka konsumsi.[2]
Nama
Istilah pink slime (bahasa Inggris untuk "lumpur/bubur merah muda") dicetuskan oleh mikrobiolog Amerika Serikat, Gerald Zirnstein. Zirnstein pada tahun 2002 bekerja sebagai ilmuwan di Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) dan menangani penelitian pemerintah AS mengenai aktivitas produksi daging sapi giling. Zirnstein menggunakan istilah tersebut untuk menyebut bahan aditif dari daging-daging sisa yang kemudian dimasukkan ke produk daging giling. Ia awalnya menggunakan istilah ini hanya dalam komunikasi surat elektronik di lingkungan internalnya. Zirnstein menggunakan istilah tersebut salah satunya karena ia merasa jijik terhadap bahan dasar pembuatan pink slime yang juga saat itu tengah diajukan izinnya kepada USDA agar dapat digunakan dalam pembuatan makanan hewan dan minyak goreng. Surat elektronik tersebut kemudian diketahui oleh publik melalui sebuah permintaan FOIA oleh The New York Times pada tahun 2009 dan nama pink slime pun digunakan oleh media-media.[3] Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan daging untuk menyebut pink slime seperti lean finely textured beef (LFTB, "daging sapi halus rendah lemak"), finely textured beef ("daging sapi halus"), atau boneless lean beef trimmings.[4][5][6] Istilah pink slime dianggap sebagai sebutan peyoratif.[7]
Pembuatan
Daging-daging yang digunakan untuk membuat pink slime atau LFTB berasal dari daging-daging sisa yang ikut terpotong bersama dengan lemak saat pemotongan bagian-bagian daging sapi. Sisa lemak dan daging tersebut dipanaskan dan diputar untuk memisahkan daging dari lemak. Setelah daging terpisah, daging disemprot menggunakan gas amonium hidroksida untuk dibersihkan. Daging kemudian dipres dan dibekukan sebelum digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk daging sapi seperti daging giling untuk menurunkan kadar lemak. Kanada dan Uni Eropa melarang penggunaan pink slime yang diproduksi menggunakan amonia dalam produk daging sapi. Sementara itu, USDA telah membolehkan LFTB untuk disebut sebagai daging giling.[8][9][10]
Kontroversi
Penggunaan pink slime dalam produk-produk olahan daging sapi menuai kontroversi. Pada April 2011, dalam acara televisinya, koki Jamie Oliver memperagakan pembuatan pink slime menurut dirinya. Oliver menggunakan sebuah mesin cuci untuk memisahkan daging-daging sisa dari lemaknya lalu merendamnya dengan amonia dan air.[11] ABC News menanyangkan serangkaian liputan mengenai pink slime pada Maret 2012. Reporter ABC News, Jim Avila, meliput mengenai aktivitas produksi daging dari perusahaan Beef Products Inc. (BPI) yang berpusat di Dakota Selatan. Di dalam liputannya, diceritakan bahwa BPI menambahkan daging-daging sisa untuk menurunkan persentase lemak dalam produk-produk dagingnya. Liputan tersebut juga menyebutkan bahwa 70% dari daging giling yang dijual di pasar-pasar swalayan di Amerika Serikat mengandung pink slime. Setelah liputan khusus yang ditayangkan oleh ABC News tersebut, beberapa perusahaan makanan cepat saji memutus kontrak mereka dengan BPI. Muncul pula berbagai reaksi seperti dari organisasi perlindungan konsumen dan blogger makanan yang menolak penggunaan pink slime. USDA mengizinkan kantin sekolah-sekolah di Amerika Serikat untuk menghentikan penggunaan pink slime di dalam makanan yang mereka sajikan setelah sebuah petisi tentang itu muncul. Reaksi penolakan tetap ada meskipun American Meat Institute dan USDA kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa produk-produk yang mengandung pink slime aman untuk dikonsumsi.[12][3][13]
BPI kemudian menuntut ABC ke pengadilan pada Juni 2012 atas tuduhan pencemaran nama baik. Proses persidangan dibuka pada awal Juni 2017. BPI menyebutkan bahwa ABC tidak menggunakan istilah yang sesuai dalam liputannya yaitu lean finely textured beef serta akibat dari liputan ABC tersebut, laba perusahaan BPI menurun dan BPI harus menghentikan kegiatan produksi di tiga pabriknya. Pihak ABC menyatakan bahwa sebelum liputan itu tayang, istilah pink slime telah digunakan secara luas dan BPI juga telah mengalami kendala dalam bisnisnya. Pihak ABC juga mempertanyakan sifat BPI yang merahasiakan pink slime dalam aktivitas produksinya. Setelah persidangan selama kurang lebih tiga minggu, pada penghujung bulan yang sama, kedua pihak menyepakati penyelesaian kasus tersebut dengan ABC membayar AS$ 177 juta kepada BPI sebagai persyaratan. ABC tetap menilai bahwa liputan yang telah mereka tayangkan adalah benar. Profesor hukum dari University of Georgia, Sonja West, mengatakan bahwa kasus tersebut tidak dapat menjadi preseden namun tetap dapat memberi kesan mengancam terhadap media-media yang ingin memberitakan hal-hal yang dinilai sensitif.[2][14][15]