Lazimnya ikan asap dihasilkan dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Proses pengasapan itu sendiri merupakan kombinasi dari pemanasan, penggaraman, dan peresapan zat-zat kimia yang berasal dari asap, yaitu senyawa aldehida, fenol dan asam-asam organik yang bertujuan untuk membunuh bakteri, merusak aktivitas enzim, mengurangi kadar air daging ikan dan meresapkan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap. Selain itu, pengasapan juga dapat memberi aroma dan rasa lezat yang khas pada daging ikan.
Bergantung pada teknik, bahan-bahan pengawet yang ditambahkan, serta lamanya waktu pengasapan, dikenal beberapa jenis ikan asap hasil dari proses pengasapan tradisional yang berkembang di pelbagai daerah di Indonesia. Di antaranya adalah ikan salai dari Sumatra dan Kalimantan, ikan panggang dari pesisir utara Jawa, ikan kayu dari Sulawesi bagian selatan, ikan fufu dari Sulawesi Utara, ikan asar dari Ambon, dan lain-lain.
Manfaat pengasapan
Kegiatan pengasapan memberikan beberapa keuntungan, antara lain:[1]
memberikan efek pengawetan kepada daging ikan
mempengaruhi citarasa ikan
memanfaatkan hasil tangkap yang berlebih ketika musim tangkapan berlimpah
memungkinkan ikan untuk disimpan hingga musim paceklik
meningkatkan ketersediaan protein bagi masyarakat sepanjang tahun
membuat ikan lebih mudah dikemas, diangkut dan dipasarkan,
biayanya relatif murah
kelengkapan peralatannya relatif sederhana.
Mekanisme pengasapan
Asap mengandung berbagai senyawa kimia penting, yang menentukan sifat organoleptik dan keawetan produk pengasapan. Selama proses pirolisa dalam pembakaran kayu, akan terbentuk pelbagai macam senyawa yang akan terakumulasi dalam asap yang dihasilkan. Di antaranya adalah senyawa-senyawa golongan fenol, karbonil (terutama keton dan aldehida), pelbagai asam organik, alkohol, ester, furan, lakton, hidrokarbon alifatik dan hidrokarbon polisiklik aromatis.[2] Fenol adalah senyawa yang berperan untuk mengurangi kerusakan produk akibat aktivitas bakteri, bersifat antioksidan dan sekaligus berfungsi sebagai pemberi citarasa khas produk pengasapan.[3][4] Akan tetapi asap juga mengandung beberapa zat kimia lainnya yang bersifat karsinogenik.[5]
Tahapan pertama dalam pengasapan adalah pemanasan, yang bertujuan untuk mengeringkan atau menurunkan kadar air dalam daging ikan hingga ke tingkat tertentu yang diinginkan. Pemanasan, atau pengeringan ini dilakukan dengan intensitas asap yang rendah dan pada suhu yang tidak terlalu tinggi, sekitar 60 °C yang berangsur-angsur dinaikkan hingga sekitar 80 °C selama setengah hingga satu jam; diikuti dengan pengeringan pada suhu 60 °C hingga tiga jam berikutnya. Pengeringan pada suhu yang relatif rendah, dan intensitas asap rendah, ini bertujuan untuk membuang kandungan air sambil menjaga agar pori-pori di permukaan daging tetap terbuka, sehingga air leluasa menguap ke luar daging. Setelah itu baru dilakukan pengasapan dengan asap pekat pada suhu antara 60-80 °C, selama sekitar 10 menit, untuk membentuk lapisan luar yang cukup keras dan mengkilap. Ikan kemudian dikeringkan lebih lanjut tanpa asap dengan suhu lk. 60 °C selama 15-16 jam, atau hingga kadar air yang diinginkan tercapai.[6]
Untuk meningkatkan keawetan dan menambah citarasa, adakalanya ikan digarami atau dibumbui terlebih dulu sebelum dikeringkan dalam pemanas. Demikian pula, ke dalam garam atau bumbu itu adakalanya ditambahkan bahan pewarna makanan tertentu, sehingga warna akhir ikan asap lebih menarik. Pemberian garam, bumbu atau pewarna ini dilakukan setelah ikan dicuci bersih dan sebelum dimasukkan ke dalam tungku pengasap.
Ikan salai
Ikan salai adalah ikan basah yang masih segar lalu dikeringkan dengan proses penyalaian (pengasapan) yang dilakukan selama kurang lebih dua hari. Proses ini membuat ikan lebih tahan lama dalam penyimpanan, memperbaiki rasa ikan menjadi lebih nikmat dan tidak mengurangi protein yang terkandung dalam daging ikan. Proses pembuatan ikan salai tradisional tidak menggunakan bahan pengawet dan pewarna.[6]
Ikan salai berbeda dengan ikan asap biasa, yang hanya diasapi selama beberapa jam sehingga dagingnya belum mengering betul.[7] Ikan salai biasanya terbuat dari jenis ikan air tawar, yang kemudian diasapi setelah sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu.
Catatan kaki
^Adebowale, B.A., L.N. Dongo, C.O. Jayeola, & S.B. Orisajo. (2008). "Comparative quality assesment of fish (Clarias gariepinus) smoked with cocoa pod husk and three other different smoking material". Journal of Food Technology6:5-8. (abstrak)
^Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis Horwood, New York pp: 165:205.
^Whittle K.J. & P. Howgate. (2000). Glossary of Fish Technology Terms. Prepared under contract to the Fisheries Industries Division of the Food and Agriculture Organization of the United Nations
^Venugopal, V. (2006). Seafood Processing. Boca Raton: CRC, Taylor and Francis Group.
^Ezike, C.O. (2018). "Hydrocarbons (Pahs) in Hardwood and Softwood - Smoked Fish". Journal of Animal Science. 2 (1): 1012.