Dampak pandemi Covid-19 terhadap media sosial
Dampak pandemi COVID-19 di media sosial (bahasa Inggris: Impact of the COVID-19 pandemic on social media) khususnya selama diberlakukan penutupan kawasan atau wilayah tertentu dan penerapan pembatasan sosial di banyak negara pada tahun 2020, penduduk dunia beralih ke media sosial sebagai tempat untuk tetap bisa saling berinteraksi. Berbagai platform media sosial mengalami kenaikan pengguna selama terjadinya pandemi COVID-19. Karena adanya larangan dan pembatasan aktifitas di luar rumah, masyarakat kemudian beralih ke media sosial supaya tetap bisa berkomunikasi dengan orang lain atau bahkan bisa menghabiskan waktu menikmati hiburan berupa musik, berita, film, games dan sebagainya.[1] Pandemi COVID-19 turut memengaruhi meningkatnya penggunaan media sosial oleh penduduk dunia, para selebriti, pemimpin-pemimpin negara di dunia, dan para profesional. Layanan jejaring sosial juga digunakan untuk menyebarkan informasi terkait pandemi, hingga mencari konten humor melalui Internet meme.[2][3] Akan tetapi, pemberlakuan pembatasan sosial telah memaksa banyak orang melakukan perubahan gaya hidup bagi yang akhirnya memengaruhi kesehatan mental.[1] Banyak layanan konseling daring (online) menggunakan media sosial untuk menghubungkan para konselor dengan mereka yang membutuhkan layanan konseling.[4] Beberapa pengguna media sosial, seperti akses langsung ke konten melalui platform seperti Twitter dan YouTube, rentan terhadap berita dan informasi hoax yang diragukan kebenarannya.[5] Informasi-informasi hoax sangat bisa memengaruhi perilaku seseorang, membatasi kohesi kelompok dan oleh karena itu efektivitas tindakan pemerintah terhadap virus.[5] Untuk menjangkau banyak orang, platform media sosial juga digunakan oleh pemerintah, para politikus, dan organisasi kesehatan tingkat nasional dan global untuk berbagi informasi dengan cepat. Peningkatan penggunaanAplikasi layanan pesan dan panggilan videoBeberapa platform media sosial melaporkan adanya peningkatan penggunaan yang tinggi pada platform mereka sejak diberlakukannya pembatasan sosial, terutama untuk bisa berkomunasi dengan keluarga dan teman di tempat lain. Sebagai contoh, departemen analitik Facebook melaporkan terjadi peningkatan penggunaan layanan pesan Facebook lebih dari 50 persen, paling tidak pada akhir bulan Maret 2020.[1] Aplikasi WhatsApp juga mengalami peningkatan pengguna hinga 40 persen.[1] Aplikasi panggilan video ZOOM, salah satu aplikasi yang mengalami lonjakan pengguna yang paling nyata ketika mulai terjadinya pandemi COVID-19.[6] Unduhan secara global untuk aplikasi TikTok mengalami kenaikan 5% pada bulan Maret 2020 dibandingkan bulan Februari 2020.[7] Peningkatan keterlibatan layanan konseling secara daringTiongkok menjadi salah satu negara yang mengalami dampak paling buruk pandemi COVID-19, dan menerima lonjakan permintaan layanan konseling daring. Terjadi lonjakan masalah kesehatan mental di Tiongkok karena adanya perubahan gaya hidup dan banyak warga tidak mudah untuk beradaptasi dengan situasi baru tersebut. Sehingga, staf-staf medis meluncurkan program pendidikan kesehatan mental secara daring dengan menggunakan media sosial seperti WeChat, Weibo, dan juga TikTok.[8] Pemerintah provinsi Alberta di Kanada, telah meluncurkan dana sebanyak $ 53 juta sebagai rencana tanggapan terhadap kesehatan mental selama pandemi COVID-19.[9] Kemudian pemerintah provinsi Ontario di Kanada juga telah menyediakan dana darurat sekitar $ 12 juta untuk meningkatkan dukungan layanan konseling dalam mengatasi kesehatan mental.[10] Pengaruh COVID-19 pada kesehatan mentalBerdasarkan penelitian psikologi yang ekstensif membuktikan bahwa seseorang yang menjalin komunikasi dengan orang lain dapat mengembangkan rasa untuk memiliki dan kesejahteraan sosial, sehingga meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi risiko gangguan kecemasan dan depresi.[11] Akan tetapi, penggunaan media sosial yang dilakukan terus-menerus dan berlebihan juga terbukti berkorelasi dengan peningkatan rasa depresi dan kecemasan.[12][13] Meningkatnya rasa cemas dan ketakutan merupakan dampak dari mengikuti peraturan pembatasan sosial, sehingga muncul rasa kesepian dan merasa terisolasi dari orang lain dan bisa menjadi sangat membebani bagi sebagian orang.[14] Dampak negatif pandemi COVID-19 pada banyak orang dewasa terkait kesehatan mental dan kesejahteraan mereka, seperti mengalami insomnia atau kesulitan tidur (36%), kurang nafsu makan (32%), peningkatan konsumsi alkohol atau sejenisnya (12%).[15][16] Digunakan sebagai hiburanBerbagai konten meme Internet terkait pandemi ini banyak beredar di media sosial, seperti di Instagram, Twitter dan Facebook.[17][18][19] Sebuah grup Facebook bernama "Zoom Memes for Self Quaranteens" telah dibuat menjadi ruang komunikasi anak muda (terutama Generasi Z) untuk berbagi konten meme yang mereka buat tentang pandemi, dan memiliki lebih dari 500.000 anggota pada April 2020.[20] Tujuan pembentukan grup ini adalah sebagai hiburan bagi ratusan ribu pelajar yang harus terpaksa beralih ke sekolah daring, guna membantu mereka menghabiskan waktu ekstra dan membantu mengatasi situasi pandemi ini.[21] Menyebarkan informasiPenyedia layanan berita, organisasi, dan masyarakat umum menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan informasi penting yang valid dan juga bahkan informasi yang salah tentang pandemi COVID-19.[22][23] Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention (CDC)), WHO, jurnal kesehatan, dan berbagai organisasi kesehatan lainnya telah menjalin kemitraan kerja dengan plaform Facebook, Google Scholar, TikTok, dan Twitter dalam menyebarkan dan memperbaharui informasi COVID-19.[24] Dalam sebuah laporan tanggal 8 April 2020, terdapat peningkatan percakapan di media sosial hingga 1.000% terkait status COVID-19 di kalangan tenaga medis kesehatan dan peningkatan pembicaraan hingga 2.500% di antara masyarakat umum berdasarkan studi dari tanggal 1 Januari hingga 19 Maret 2020.[25] Referensi
|